Xaviera wanita berusia 25 tahun, seorang anak dan cucu dari keluarga konglomerat. Namun kehidupan sehari-harinya yang berkilau bagaikan berlian berbanding terbalik dengan kisah asmaranya.
Perjodohan silih berganti datang, Setiap pria tidak ada yang benar-benar tulus mencintainya. Menjadi selingkuhan bahkan istri kedua bukanlah keinginannya, melainkan suatu kesialan yang harus di hadapi. Sebuah sumpah dari mantan kekasihnya di masa lalu, membuatnya terjerat dalam siksaan.
Suatu hari, pertemuan dengan mantan kekasihnya, Rumie membuatnya mati-matian mengejarnya kembali demi ucapan permintaan maaf dan berharap kesialan itu hilang dalam hidupnya.
Akankah Xaviera bisa mendapatkan maaf yang tulus dari Rumie?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Dalam kecelakaan yang terjadi 3 bulan lalu, empat orang tewas dan satu orang selamat dan berhasil keluar dari masa kritis setelah satu minggu mengalami koma.
Juno calon pengantin pria yang seharusnya menikah dengan Xaviera tewas dalam kecelakaan maut tersebut. Saat perjalanan ke gereja bersama kakak dan adiknya.
Seorang sopir truk juga melewati masa kritis selama dua hari hingga akhirnya meninggal dunia. Sedangkan, Rumie mengalami luka berat di kepala serta patah tulang kaki.
Rumie di bawa ke rumah sakit dalam kondisi tidak sadarkan diri. Pihak rumah sakit, telah mencoba menghubungi alamat rumah sesuai kartu identitas Rumie. Namun, tidak ada satu orang pun yang datang dari pihak keluarga Rumie. Padahal, saat itu Rumie segera butuh penanganan operasi.
Ayah Juno yang saat itu berada di rumah sakit, untuk mengurus kematian ketiga anaknya. Lalu di pertemukan dengan Rumie anak laki-laki seusia putranya dalam kondisi sekarat dan membutuhkan operasi segera.
“Aku akan membiayai biaya rumah sakitnya, berikan perawatan yang terbaik untuk anak itu,” ucap Ayahnya Juno pada dokter.
Dokter pun segera menindaklanjuti perawatan Rumie.
Setelah acara pemakaman ketiga anaknya, Ayahnya Juno yang berada di samping Rumie. Menunggu detik demi detik perkembangan yang terjadi pada Rumie.
“Kau mau apakan, anak itu?” tanya istrinya, bernama Rezty.
“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang aku inginkan darinya. Tetapi, kehilangan ketiga anak kita, dengan melihatnya sesaat, membuatku terhibur dari kesedihan,” jawab Ayahnya Juno, yang bernama Andreas.
Rezty memeluk suaminya, keduanya menatap Rumie dari luar jendela ICU.
Satu minggu setelah kecelakaan, Rumie bangun dari koma. Berita ini menjadi kabar bahagia Andreas dan Rezty, mereka segera datang ke rumah sakit.
“Ada yang harus saya katakan,” ucap dokter yang menangani Rumie.
Kedua orangtua Juno masuk keruangan dan mendengarkan penjelasan dari dokter tentang keadaan Rumie saat ini.
Berita buruk lainnya datang beriringan. Akibat kecelakaan, Rumie mengalami benturan keras di bagian kepala yang menyebabkan cedera otak yang serius dan mengakibatkan amnesia. Kondisi ini membuat Rumie kehilangan ingatan tentang masa lalunya dan identitasnya sendiri.
“Apa ingatannya akan kembali?” tanya Andreas.
“Belum bisa dipastikan, beberapa terapi bisa membuatnya mengingat perlahan. Namun, tidak bisa dengan paksaan,” jawab dokter.
Andreas dan Rezty saling menatap, bingung dengan situasi ini. Niatnya, sebelumnya membiayai perawatan Rumie sebagai ucapan permintaan maaf, karena mobil putranya menghantam kendaraan Rumie saat peristiwa itu terjadi.
Andreas keluar dari ruang dokter, kemudian mengikuti perawat yang membawa Rumie dengan brankar menuju ruang inap pemulihan.
Rumie menatap Andreas dengan tatapan penasaran.
“Anda siapa?” tanya Rumie.
Andreas mendekat dan tersenyum, kemudian menyentuh kedua tangan Rumie.
“Aku … aku … aku papamu,” ucap Andreas dengan nada gemetar, karena menyembunyikan kebohongan.
Rumie diam, menarik tangannya. Seolah menyadari kesalahan dari pria paruh baya yang berdiri di depannya.
Rezty membuka pintu ruangan, tersenyum melihat Rumie.
“Sa…yang,”
Belum sempat Rezty mengatakan hal lain, Andreas segera menarik tangan istrinya,
“Dia, mamamu.”
Seketika, kalimat itu membuat Rezty terkejut menatap suaminya dengan tajam.
“Apa yang kau katakan?!” gertak Rezty lirih, mencubit lengan suaminya.
“Diam, dan ikuti saja,” jawab Andreas lirih, kemudian menarik tangan istrinya mendekat ke arah Rumie.
“Kau tidak ingat, dia mamamu,” ucap Andreas.
“Mama?” Rumie bertanya dengan perasaan aneh.
Rezty kemudian tersenyum, dan memeluk Rumie, “Kau sudah bangun?”
Untuk pertama kalinya Rumie, merasakan kehangatan pelukan yang disebut dengan ‘mama’. Tidak ada penolakan, Rumie menerima kehangatan itu.
Dokter datang dengan seorang perawat untuk memeriksa kondisi Rumie. Andreas dan Rezty segera keluar dari ruangan.
“Kau gila? Mengatakan dia anak kita?” Rezty mengernyit, mencari tahu apa yang diinginkan suaminya saat ini.
“Apa salahnya? Dia tidak memiliki keluarga dan kita kehilangan anak,” ucap Andreas, menarik tangan istrinya untuk berbicara di tempat lain.
“Bagaimana kalau dia tahu suatu saat nanti?” Rezty menatap suaminya dengan perasaan khawatir.
Andreas menatap istrinya dalam, “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Rezty memukul dada suaminya kesal, “Kau gila! Aku mau pulang.” Rezty pergi meninggalkan Andreas. Dia memilih pulang ke rumah menenangkan pikirannya.
Begitu dokter keluar dari ruangan, Andreas kembali masuk ke dalam mengunjungi Rumie.
“Kamu ingin apa? Makanan apa yang kamu sukai?” tanya Andreas mendekat.
“Aku … aku tidak ingin apapun,” jawab Rumie, matanya menatap setiap sudut ruangan. Ruang inap VVIP yang luas, terasa asing baginya.
“Kau tidak nyaman disini, atau mau pindah ke rumah sakit lain?” ujar Andreas.
Rumie menggeleng, kemudian matanya tertuju ke arah pintu, “Dimana mama?”
Andreas tersenyum, merasa senang ketika Rumie percaya dengan ucapannya.
“Mamamu pulang, dia terlihat lelah,” jawab Andreas, mengusap lembut kepala Rumie.
“Papa juga akan pulang, kau istirahat saja dan cepat pulih. Jadi, bisa segera pulang ke rumah,” imbuh Andreas.
Rumie mengangguk, kemudian berbaring kembali ke ranjang tempat tidur.
Andreas keluar dari ruangan dan meninggalkan rumah sakit. Dia memikirkan cara, bagaimana agar identitas Rumie tidak ketahuan. Rumie baginya, saat ini adalah satu-satunya anak yang dimilikinya. Meskipun, harus menyembunyikan kebohongan di baliknya.
Andreas kemudian meminta pengacara pribadinya untuk mengurus surat adopsi Rumie dengan hati-hati, tanpa ketahuan oleh siapapun.
Tiba dirumah, Rezty menatap wajah suaminya dengan tajam. Perasaannya sebagai seorang istri dan ibu berada di titik kekecewaan.
“Meskipun anak-anak kita telah tiada, seharusnya kau tidak menjadikan orang lain semudah itu untuk menjadi bagian dari keluarga kita!” Rezty mengeluarkan amarahnya yang sempat ditahan saat berada di rumah sakit.
“Lalu apa yang kau inginkan? Melihat semua orang tahu, kita sudah tidak memiliki keturunan lagi. Bagaimana dengan nasib perusahaan?” Andreas menghindari pertengkaran dengan berjalan ke arah ruang kerjanya, sedangkan Rezty mengikuti langkah suaminya dari belakang.
“Tapi tidak dengan dia, kita tidak tahu asal-usulnya!”
Andreas berbalik badan, “Aku akan mempertaruhkan keberuntungan terakhirku, aku perlu pewaris. Dia hilang ingatan, aku bisa membuatnya menjadi seperti apa yang kita inginkan!”
Rezty tersenyum dingin, suaminya masih memikirkan harta daripada perasaannya yang nantinya berusaha menjadi ibu untuk anak yang tidak ia dilahirkan.
“Setelah dia pulih, aku akan membawanya ke Amerika. Kita bisa memulai beristirahat disana untuk beberapa tahun.” Andreas menyentuh kedua pundak istrinya, memberikan tatapan yang lembut.
“Meninggalkan semua ini?”
“Tidak, kita akan kembali. Aku ingin, kamu juga tidak banyak bersedih dengan mengingat kematian Juno, Indira dan Aries.” Andreas memeluk istrinya, dia ingin istrinya sejenak melupakan peristiwa kecelakaan yang terjadi kepada ketiga anaknya. Karena sejak, kematian ketiga anaknya, Andreas tau istrinya selalu mengalami mimpi buruk.
Akhirnya, Rezty pun menuruti keinginan Andreas.
Setelah dua minggu Rumie keluar dari rumah sakit, keduanya segera mengurus identitas baru untuk Rumie. Membawanya pergi ke Amerika dengan kehidupan baru.
Disisi lain, saat ini Xaviera tengah mendapatkan telepon dari Ibunya yang menyuruhnya segera pergi ke bandara.
“Jika kamu tidak juga pergi ke Jerman, jangan harap kamu bisa kembali lagi kerumah!” tegas ibunya.
Xaviera keluar dari rumah Rumie. Kemudian, kembali masuk kedalam mobil, dan bergegas pergi ke bandara. Tujuannya saat ini adalah, Berlin.
Dua orang yang berpisah dan memulai kehidupan baru masing-masing, akankah mereka dapat bertemu kembali?