Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.
Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.
Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!
Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Bertemu Ular
Bulan-bulan berikutnya berlalu dalam pusaran aktivitas yang tiada henti. Musim semi pergi, musim panas datang. Aku tidak lagi hanya menjadi penguasa di atas kertas. Aku menjadi jantung yang memompa darah baru ke seluruh urat nadi County Hartwin.
Siang hari kuhabiskan di lapangan. Aku mengunjungi lokasi pembangunan lumbung-lumbung pangan raksasa, debu konstruksi menempel di gaun sederhanaku. Aku bernegosiasi langsung dengan para kepala guild pedagang, tatapan mata dinginku membuat para pria tua yang licik itu menelan ludah.
Aku bahkan mulai meninjau pelatihan pasukan penjaga Hartwin, memastikan mereka siap, meski mereka tidak tahu untuk apa. Mereka kurang... sangat kurang jika dibandingkan dengan pasukan Marquess, tapi ini sudah cukup. Tugas mereka adalah evakuasi. Sementara pertarungan langsung akan aku serahkan kepada pasukan Kavaleri Sihir Duke Raymond.
County Hartwin mulai berubah. Roda perekonomian yang tadinya berderit, kini berputar kencang. Para pekerja yang dulu putus asa kini memiliki tujuan. Dan di pusat semua itu, ada aku. "Mawar Besi keluarga Hartwin," begitu mereka mulai memanggilku dalam bisikan.
Seorang nona bangsawan yang lebih tajam dari pedang manapun. Mawar berduri yang tidak bisa dipetik.
Tentu saja, tidak semua orang senang. Aku bisa merasakan perlawanan itu, seperti arus bawah yang berbahaya. Sebuah pengiriman kayu langka untuk lumbung tiba-tiba Tersesat di jalan.
Sebuah rumor menyebar di antara para bangsawan bahwa aku telah membuat ayahku gila dan mengambil alih kekuasaan dengan cara licik. Aku tidak perlu bertanya siapa dalangnya. Sudah terlihat jelas dari metode dan jalur persebaran rumornya. Keluarga Vulpes. Rubah yang licik. Dan mungkin serigala yang terluka juga, Cedric.
Tapi aku sudah siap. Setiap kali mereka mencoba menyabotase satu jalur pasokan, aku sudah membuka dua jalur lainnya melalui koneksi rahasia Duke Raymond.
Setiap kali mereka menyebarkan rumor, aku menanggapinya dengan merilis laporan keuangan yang menunjukkan keuntungan keluarga Hartwin yang meroket, membungkam para kritikus dengan fakta yang tak terbantahkan.
Permainan mereka terlalu kecil. Catur mereka adalah catur anak-anak, sementara aku sedang memainkan permainan para penguasa. Lawanku bukan mereka, tapi Marquess Tyran dengan kekuasaannya yang mengakar.
Di tengah kesibukan itu, aku mengirimkan pesan rahasia kepada "Laksamana." Peringatan halus tentang aktivitas para pengintai dari Thalvaria di sekitar Pelabuhan Atika dan informasi diperbaharuinya kalender astronomi Akademi Trisula.
Dia membalasnya dengan singkat: "Patroli akan ditingkatkan. Terus awasi cakrawala."
Aku mengatakan prediksi akan datangnya gerhana bulan di Kekaisaran Thalvaria dan pelabuhan Atika sudah dipantau untuk medan tradisi invasi dan penaklukan. Bagusnya, Duke percaya padaku. Membuatku semakin bertekad untuk memuluskan rencana besar ini.
Aku membuka catatanku kembali. Memastikan bahwa tidak ada yang terlewat satupun.
Akhir Juli, Akademi Trisula, Pelabuhan Atika, Darius Orphan, Grand Duke Orkamor.
Aku harap pasukan yang disiapkan Duke Raymond cukup untuk melawan mereka sebelum Marquess Tyran datang. Dengan begitu semua pujian dan hadiah akan tercurah kepada kami.
Sore harinya, aku berada di ibu kota untuk menyelesaikan kesepakatan dagang baru, sebuah kesepakatan yang berhasil kurebut dari tangan Viscount Vulpes. Clarisse pasti sedang dimarahi dan dihukum oleh Viscount karena dituduh sudah membocorkan rencana mereka kepadaku.
Gadis yang malang, tapi aku tidak akan bersimpati. Seperti dia yang mengangkat bahu ketika aku dieksekusi secara tidak adil, aku juga tidak akan peduli pada apapun yang terjadi padanya. Untuk saat ini dan di masa depan.
Dalam perjalanan pulang, aku berniat mampir ke kedai teh Nyonya Mawar. Aku memasang tudung jubahku untuk menutupi wajahku dari gerimis yang mulai turun.
Saat itulah sebuah kereta kuda mewah tanpa lambang berhenti di dekatku. Pintu terbuka, dan Marquess Tyran melangkah keluar.
Jantungku seolah berhenti berdetak.
Dia tidak mengenakan seragam, hanya setelan gelap yang mahal yang memeluk bahunya yang lebar. Dia bergerak dengan langkah predator yang membuat semua orang di sekitarnya tampak seperti mangsa. Jalan kami bersilangan. Saat aku hendak melewatinya dengan cepat, dia tiba-tiba berhenti. "Bau ini..."
Dia tidak menatap wajahku yang tertutup tudung. Matanya yang merah menyipit, seolah sedang mencium aroma sesuatu di udara. Sebuah kebingungan melintas di wajahnya yang tampan dan terpahat sempurna.
Sebelum aku bisa bereaksi, dia sudah bergerak, menghalangi jalanku.
"Kau mau ke mana?" tanyanya, suaranya dalam dan dingin. Itu bukan pertanyaan. Itu adalah teguran. "Kenapa kau berada di distrik seperti ini sendirian dan tanpa pengawal?"
Aku membeku, bukan hanya karena terkejut, tapi karena rasa dejavu yang begitu kuat hingga membuatku mual.
Tanpa menunggu jawaban, dia melepas jubah luarnya yang berat, yang terbuat dari wol hitam terbaik, dan memasangnya ke bahuku.
Jubah itu terasa berat, hangat, dan membawa aroma khasnya: bau ozon setelah sambaran petir, kulit mahal, dan sesuatu yang dingin seperti logam. Aroma yang sama dari mimpi terburukku.
"Kalian," perintahnya pada dua pengawal berwajah kaku yang muncul dari bayang-bayang. "Antar dia kembali ke Istana Ular Putih. Pastikan dia tidak keluar lagi malam ini."
Apa yang dia katakan?
Istana Ular Putih?
Apa dia pikir aku adalah salah satu istrinya?
Bajingan gila!
Apa maksudnya ini?
Apa aku terlihat seperti salah satu dari koleksi ularnya yang hilang dari sangkar?
Napasku tertahan. Darah berdesir panas di pembuluh darahku, membakar setiap sel ketakutan yang sempat muncul. Tanganku, yang sempat gemetar, kini mengepal dengan pasti. Ketakutanku terbakar oleh amarah.
Dengan gerakan yang tajam dan menghina, aku melepaskan jubahnya dari bahuku. Jubah mewah itu jatuh tanpa suara ke genangan air kotor di antara kami.
Aku mengangkat kepalaku, membiarkan tudungku tersibak. Aku menatap lurus ke matanya yang merah dan membesar oleh rasa kejut.
"Saya rasa Anda salah orang, Yang Mulia Marquess," kataku, suaraku sedingin es. Aku melakukan sebuah penghormatan yang sempurna, setiap gerakan berusaha mengejek tindakannya yang tidak beretika. "Saya Elira Hartwin. Putri dari Count Hartwin."
Dia benar-benar terkejut. Aku bisa melihatnya di matanya yang merah. Ajudannya dengan cepat berbisik di telinganya, mungkin mengingatkannya siapa aku dan hubunganku dengan insiden Baron Latona.
Wajah Marquess mengeras. Kesalahan identitas seperti ini adalah sebuah penghinaan. Tapi di balik amarah yang tertahan karena harga dirinya terluka, ada sesuatu yang lain. Kebingungan yang mendalam dan hampir... predatoris. Dia tidak mundur.
Justru, dia melangkah lebih dekat, mengbaikan jubahnya yang kotor. Hujan gerimis membuat rambut hitamnya yang legam berkilau di bawah cahaya lentera.
"Nona Hartwin?" ulangnya, seolah sedang mencicipi nama itu, dan rasanya tidak cocok di lidahnya. Dia menggelengkan kepalanya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Itu aneh sekali... Tidak. Aku tidak mungkin salah."
Dia menatapku, matanya yang merah dengan pupil vertikal itu seolah menyala dalam cahaya senja yang remang-remang.
Tatapannya begitu tajam, seolah tidak hanya menembus pakaianku, tapi juga kulit dan tulangku, langsung ke dalam jiwaku.
"Indraku tidak pernah berbohong," katanya, suaranya turun menjadi desisan yang rendah dan berbahaya, membuat bulu kudukku merinding. "Jadi katakan padaku, Nona Rusa dari keluarga Hartwin..."
Dia berhenti sejenak, matanya memindai diriku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Aroma yang begitu tajam dan menusuk, seolah telah terpatri di sana sejak lama. Nona Hartwin... mengapa jiwamu berbau seperti Ularku?"