Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 3 - Dilamar
Darius tersenyum.
Bukan senyum haru, bukan senyum lega ataupun yang menyimpan kekhawatiran perihal kondisi kandungan yang dia belum ketahui jawabannya. Akan tetapi sebuah senyum aneh—penuh kemenangan.
“Aku tahu,” katanya dengan tatapan mata yang seolah mengartikan segalanya.
Mataku mengerjap-ngerjap, merasa bingung. Mulutku sedikit bergetar. “Apa, Mas?”
Dia terkekeh kecil, ekspresinya berubah total. Tak ada lagi tatapan teduh yang membuatku iba ingin mengasihaninya—dia justru tertawa senang, tawaan itu keluar dengan ekspresi yang membuat perutku terasa mual.
“Jadi, kamu benar-benar ... menggugurkannya, ya?”
Aku terhenyak beberapa saat, merasakan ketakutan yang berbeda. Lebih dari aku yang telah berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku. Tetapi karena aku menyadari sesuatu yang lebih besar.
Laki-laki ini ... laki-laki yang seharusnya berduka karena tunangannya sudah tiada—juga tidak terlihat hancur karena kemungkinan bahwa anaknya ikut meninggal.
“Syukurlah kalau kamu memang benar-benar menggugurkannya.”
Dia terlihat senang.
Seolah dia telah menunggu momen ini. Seolah, dalam benaknya—aku telah berhasil membersihkan ‘aib’ itu dari dalam hidupnya.
Tanganku turun dari pegangan brankar, mencengkram kuat rok yang kupakai—menahan getar yang membuat napasku terasa kian menipis. Dadaku kembang kempis, merasakan ruangan yang tampak kian mengecil, aku kekurangan pasokan oksigen.
“A-aku ... tidak ... aku.” Napasku tersendat-sendat, rasanya sulit sekali bicara normal. Suaraku terdengar rapuh.
Dia menyeringai, tangannya yang penuh dengan perban itu menyentuhku, di detik yang sama aku sedikit terkesiap. Sentuhannya itu laksana ancaman, tatapan matanya bagai teror yang mengintai setiap gerak-gerik tubuhku.
“Tidak apa-apa, Soraya. Aku mengerti. Itu keputusan yang sulit. Tapi kita sudah sepakat sebelumya, kan?”
Kali ini aku benar-benar diam. Membeku. Mulutku terkunci rapat, sementara napasku mulai tak beraturan. Aku tak bisa lepas dari tatapannya itu, tatapan yang semula membuatku iba—kini justru malah menenggelamkanku ke dalam rahasia yang tak mungkin aku tahu.
Darius mengelus-elus pergelangan tanganku, masih dengan senyum yang sama. “Kita bisa memulai semuanya dari awal, Soraya. Kita bisa menjalani kehidupan baru ... tanpa masa lalu yang akan membuat kita sama-sama tersakiti. Kamu mau kan memulainya lagi dari awal?”
Dari awal? Aku termangu, mengamatinya lebih lekat.
Dia ingin melanjutkan hidup seperti tidak pernah terjadi sesuatu—seperti semuanya kembali normal hanya karena bayi itu ... tidak ada?
Buru-buru aku menepis tangannya dari tubuhku. Aku tak sanggup lagi. Aku ingin muntah membayangkan hal yang seharusnya tak aku ketahui.
“Maaf, sepertinya aku harus pergi. Aku lupa aku punya janji untuk menemui seseorang.” Aku membenarkan tas selempangku yang melorot pada bahu.
“Kapan-kapan aku akan ke sini lagi. Aku—”
“Menemui siapa?” Darius menahan tanganku, tak membiarkanku pergi begitu saja.
Mataku berkedip-kedip pelan. “Te-temanku.”
Sebelah alisnya terangkat naik. “Teman ... yang mana? Jangan bilang kalau—”
“Permisi!”
Kami serempak menoleh ke arah pintu. Beberapa suster masuk ke dalam ruangan. Mereka membawa sesuatu di atas nampan, mungkin akan melakukan pemeriksaan.
Aku langsung mengambil kesempatan ini untuk pergi, dengan cepat mengambil tas dan bergerak mundur. Aku lebih dulu memutus kontak mata—meski tahu bahwa dia sudah memberi kode padaku untuk jangan pergi.
Pikiranku hanya satu. Cepat keluar dari sana sebelum aku kembali dicecar banyak pertanyaan yang tak mungkin tahu apa jawabannya.
Aku tidak tahu apa yang lebih buruk—kebenaran dibalik kandungan yang dimaksud Darius tadi atau aku yang masih belum tahu apa-apa tentang hubungan mereka dan tetap dipaksa untuk menjalani peran ini.
“Aku harus membicarakan ini kepada Ayah dan Ibu,” gumamku seraya mempercepat langkah.
Kakiku berlari kecil saat melewati lorong rumah sakit, jantungku terasa sedang bertalu-talu di dalam sana. Aku berjalan tanpa memperdulikan tatapan keheranan para perawat atau orang-orang yang sedang berlalu lalang—melihatku yang berjalan tergesa-gesa keluar.
Udara dingin langsung menerpa wajahku saat akhirnya aku keluar dari rumah sakit, bergegas aku merogoh ke dalam tas. Mencari ponsel untuk memesan taxi online.
***
Hampir setengah jam berlalu, akhirnya setelah melewati jalanan padat merayap, aku tiba di rumah. Hujan telah reda, menyisakan genangan, tapi awan mendung masih setia membentang pada kaki-kaki langit.
Saat akan melangkah memasuki halaman rumah, aku mendadak tertegun. Kakiku tak lagi melangkah, terpaku dengan mata yang memicing—melihat mobil putih mengkilap yang tak asing dalam ingatanku.
Dadaku kembali berdegup kencang. Buru-buru menggerakkan tungkai kaki, dalam pikiran sudah banyak potongan asumsi buruk tentang apa yang sedang terjadi.
Tepat di ambang pintu yang terbuka, aku melihatnya. Dia duduk di sofa, dihadapannya ada ibu dan ayah. Mereka tampak berbincang serius, sebelum akhirnya aku memecah obrolan mereka dengan menunjukkan diri.
Mereka kompak menoleh padaku.
Jantungku berhenti sejenak.
Arjuna—kekasihku yang amat kucintai itu beranjak dari posisi duduk, lantas berjalan menghampiriku. Ekspresinya tampak lega. “Nerissa, kamu dari mana saja? Aku sudah menunggu kamu.”
“Aku ... baru dari luar,” jawabku sedikit terbata-bata.
Aku bisa merasakan desir darahku mengalir cepat. Ini tidak benar—bukan waktu yang tepat untuk Arjuna tahu tentang semuanya.
Sebelum menariknya menjauh dari teras rumah, aku sempat melakukan kontak mata dengan ibu juga ayah. Mereka menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku tafsirkan.
“Hei, sayang. Ada apa? Kenapa harus terburu-buru?”
Aku tak menjawabnya, melepas pegangan tangan ketika sampai di pintu mobil.
“Apa kamu marah karena aku datang tiba-tiba tanpa mengabari dulu?”
Aku tetap diam. Masih sedikit syok. Dilihat dari ekspresi dan respon Arjuna, nampaknya ibu dan ayah belum menceritakan apapun padanya.
Arjuna menggenggam tanganku dengan lembut, dia menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu— saat dia mengutarakan cinta, tatapan yang tak pernah kudapatkan dari pria manapun.
Kulihat dia mengambil napas, terlihat agak gugup, sorot matanya tak dia alihkan meski sebentar. “Aku ingin membuat kejutan.”
Tatapannya semakin berbinar. “Aku ingin bicara dengan orang tuamu sebelum—”
“Tunggu!” Aku menyela ucapannya, aku merasa tahu kemana arah pembicaraan ini.
Panik merayap di sekujur tubuh, menyadari bahwa dia ternyata tak bohong jika ingin melamarku. Seharusnya aku bahagia sebab ini momen yang aku tunggu sejak dulu, tapi aku sadar bahwa aku punya tanggung jawab lain yang bagi mereka itu lebih penting.
“Ayo kita keluar sebentar. Kita bicara di tempat lain,” ajakku sambil membuka pintu mobil.
“Eh? Tapi, aku—”
Aku menoleh sebelum mendaratkan bokong di kursi. “Kita harus bicara di luar.”
Tatapan matanya berubah pasrah, tangannya mengusap-usap rambutnya. Terlihat bingung. Aku tahu ada hal yang ingin dia sampaikan, tapi aku menahannya.
“Kamu tidak mau masuk?” tanyaku sambil melirik-lirik padanya.
Arjuna terlihat kebingungan, dia maju mundur. Berakhir berdiri di dekat jendela mobil, kaca mobilnya diturunkan.
“Biarkan aku bicara sebentar, ini darurat.”
“Seberapa darurat?”
“Sangat darurat.”
Aku mengangguk pasrah. Membiarkannya bicara.
Terdengar jelas saat dia berulang kali mengambil napas, dalam sekejap wajahnya terlihat pucat. “Aku ... mungkin tidak bisa jadi laki-laki romantis seperti drama yang sering kamu tonton. Tapi...”
Arjuna menggantungkan ucapan, tangannya turun untuk merogoh sesuatu di dalam celana. Aku menutup mata beberapa detik, menahan napas, aku tak bisa menghindar lagi ketika tahu yang dia keluarkan ternyata sebuah kotak cincin.
Perlahan Arjuna membuka kotak itu, sebuah cincin yang dihiasi permata tampak berkilau. Tangannya gemetaran, dia gugup sekali, aku terharu tapi di sisi lain aku sedih.
“... karena situasinya sangat darurat dan aku tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan segalanya, jadi dengan kesederhanaan ini ... maukah kamu menikah denganku, Nerissa?”
***