TAHAP REVISI🙏
***
Berawal dari kata 'tidak suka' hubungan mereka kian dekat karena sebuah pertengkaran. Batu yang keras, akhirnya luluh oleh air yang tenang.
Seperti itulah Gia dan Riza, dua remaja yang menaiki tangga bersama dari tidak suka, menjadi suka, lalu ke nyaman, dan berakhir dengan saling menyayangi.
***
Sedikit kisah, dari jutaan kisah lain yang mungkin akan membuat kalian tak bisa melupakannya.
@dwisuci.mn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Decy.27126, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Seorang gadis berpashmina hitam tengah mendongak dengan tangan menelisik dan mata yang tak berhenti meneliti, juga bibirnya yang sesekali berdecak karena tidak juga menemukan apa yang ia cari.
Dia Gia, gadis yang punya hobi baca tingkat akut itu tengah berada di toko buku dekat kampusnya. Setelah selesai dengan dua mata kuliahnya tadi, ia memutuskan mampir ke toko buku untuk membeli beberapa buku materi dan juga novel yang menurutnya menarik.
Kesibukannya sebagai seorang mahasiswa baru ditempuhnya selama dua Minggu ini, dan selama dua Minggu itu juga dia akan keluar dari kos-kosannya hanya untuk berangkat kuliah dan untuk berbelanja bahan makanan saja.
Selebihnya? Dia akan menghabiskan waktu untuk membaca buku bercover hitam yang dia beri nama 'My Partner's Diary'. Buku milik Riza yang selalu membuatnya hanyut dalam lamunan itu menjadi buku favoritnya saat ini. Setidaknya, hanya itu yang bersamanya, anggap saja buku itu mewakili si pemilik yang sedang jauh entah di mana.
Gia memutuskan untuk menyudahi memilih bukunya, dia langsung menuju kasir untuk membayar apa yang dia ambil tadi.
Keluar dari toko buku, Gia memutuskan untuk mampir ke taman kota, sekedar untuk mengistirahatkan otak dari padatnya kegiatan sehari-hari.
Duduk di salah satu kursi taman, tangannya membuka buku yang baru saja ia beli, lalu mulai membacanya dengan tenang, mengabaikan keramaian taman yang dikunjunginya itu.
“Gia!” panggil seseorang yang suaranya sedikit familiar di telinga Gia.
Gia mendongak, ada Renata di sana. Dia, sendirian sepertinya.
“Hai, Re.” Gia tersenyum ramah.
Renata duduk di samping Gia yang sudah menutup bukunya.
“Lagi ngapain di sini?”
“Cuma numpang duduk aja, sih, bosen juga di kamar doang,” jawab Gia seadanya.
“Hmmm, bosen, kan? Kemarin diajakin keluar nggak mau, katanya sibuk. Sekarang, sendiri, kan? Untung aku lewat, ada yang nemenin, kan, jadinya!” cecar Renata.
Gia terkekeh kecil, “Iya, deh, iya. Kan, sekarang juga lagi bareng.”
“Gi, pindah, yuk! Jangan di sini, panas, nih,” ajak Renata menatap Gia penuh harap.
“Tapi ke mana?” tanya Gia bingung.
“Ada kedai es krim di seberang jalan sana, ayo, kita ke sana aja.”
Keduanya langsung berjalan menuju kedai es krim yang dimaksud Rena tadi. Gia salah, dia pikir Rena sendirian, ternyata, tidak. Di sana, di kedai es krim ternyata sudah ada Ilman—kakak Renata—yang sudah duduk dengan anteng.
Tentu dia kesal, mood-nya yang sudah membaik tadi mendadak tak enak lagi saat melihat senyum tengil dari kakak temannya itu.
“Sampe juga, ke mana aja, sih?” tanya Ilman mempersilahkan Gia dan Rena untuk duduk.
“Ya sabar kali, di pikir jalan dari sana ke sini cuma butuh sedetik apa!” cetus Rena menatap malas pada kakaknya.
“Hmmm, hai, Gia,” sapa Ilman.
Senyum tipis Gia berikan untuk menjawab sapaan kakak tingkatnya itu.
“Mau pesan nggak, Gi?” tanya Rena melihatkan menu pada Gia.
“Samain aja sama kamu,” jawab Gia tanpa melihat menu itu dan fokus pada HPnya.
“Oke.” Rena beranjak untuk memesankan pesanan mereka.
“Dari mana, Gi?” tanya Ilman.
“Toko buku,” jawab Gia singkat.
“Ouh, suka baca buku, ya?”
“Suka.”
“Kenapa?”
Gia menatap kakak tingkatnya itu, dia mengernyit. “Kenapa apanya?”
Ilman tertawa kecil. “Maksudku, kenapa bisa suka baca buku? Biasanya, anak muda jaman sekarang lebih milih buat baca apa pun di HP mereka. Kaget aja, ternyata, masih ada yang suka baca buku.”
Gia tersenyum tipis, dia meletakkan ponselnya, dan berpangku tangan di meja. “Begini, ya, Kak Ilman.”
“Tau, kan? Buku itu, jendela dunia. Kalo kita nggak punya jendela, kita engap, nggak ada angin masuk. Gitu juga sama HP, ada yang dibaca, tapi, ya ... tergantung penggunaan.”
“Kalo aku pribadi, lebih suka sama buku daripada bebanin mataku buat natap HP lama-lama.” Gia terkekeh kecil.
“Oh, ya, menarik.”
“Hah, apa?” tanya Gia bingung.
Ilman menggeleng. “Nggak apa-apa.”
“Ngobrolin apaan?” sambar Renata yang datang dengan tiga cup medium ice cream di nampan.
“Bukan apa-apa,” jawab Gia sekenangan.
“Red velvet, suka?” Rena menunjukkan ice cream untuk Gia.
Gia tersenyum, pikirannya berkelana sampai ke masa yang sudah terlampau itu. “Red velvet? Why not?”
***
Bersambung.
See u next chapter..🖤
(Jangan lupa cerita masa SMA Gia sama Riza itu lamunan flashback Gia, dan yang di atas itu 👆. Gia lagi nggak nge-flashback ya).😊
spnjang crita karakter gia msh konsisten msh terbaik dan kalau bs gia seharusnya dpt lbh baik lg dr karakter riza😁 dan riza sprti tdk ada lawannya buat dapetin gia kyk gmpang ajha buat riza
tp utk smwnya udh bagus karakternya kuat2👌
salken, kak....
Jd terkenang masa SMA ku😁😁