Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 3,part 2
Pandangannya menelisik keberbagai arah. Sekitar berjarak tiga meter dari posisinya kini, makhluk kecil tertidur pulas dalam bedongan, suara gesekan kayu pada ayunan terdengar sebagai nyanyian pengantar tidur. Reka tersenyum semu, merasakan kehangatan yang perlahan memadamkan sisa amarahnya.
"Kenapa dia dibiarkan tidur pagi?" sekian lama, akhirnya Reka memilih angkat suara.
Erna tak segera menjawab, fokus meneteskan betadine pada luka Reka kemudian mengambil kain kasa.
"Anak bayi kalo malem gak tidur, wajar sekarang dia tertidur begitu pulas!"terang Erna, sementara tangannya sibuk membalut luka.
" Usiamu sudah dewasa, hanya beda satu tahun dengan mbak. Tapi, tadi marah udah kaya anak umur lima tahun. Kamu itu laki-laki, jangan mikir mau bangun keluarga bahagia dengan tempramen yang seperti itu."
"Coba mbak posisiin diri mbak kalau jadi aku?" Reka mendengus, seraya menarik tangannya yang sudah selesai diobati. Menurutnya, satupun dikeluarga ini tak ada yang mengerti bagaimana perasaannya.
"Lalu sekarang, keputusan mana yang menurutmu baik?" Alih-alih menanggapi, Erna malah bertanya balik. Ia berdiri dan memindahkan lipatan baju yang sudah dilicin rapi dari sofa panjang yang kini mereka duduki kedalam lemari. Tak ada jawaban, bahkan sampai ketika dirinya kembali duduk disofa.
"Hanya ada dua jalan yang bisa kamu pilih sekarang. Semuanya rumit, tapi kami semua berharap kamu dapat memilih yang terbaik!"
Reka diam saja, matanya berkaca-kaca saat sesuatu terasa menyelinap dan menusuk hatinya.
"Reka, inilah kehidupan. Semua orang pernah berada pada situasi yang sulit. Kamu percaya kan, bahwa semua orang pernah mengalami situasi itu?" kata Erna prihatin. Ia memandang adiknya dengan tatapan sendu, turut merasakan kesulitan yang dihadapinya saat ini.
"Tapi sepertinya tidak ada yang semalang nasibku, mbak!"ujarnya rapuh. Ada perih yang ia sembunyikan lewat senyumnya yang semu.
"Apa menurut mbak juga aku harus menikah dengan kak Anja?
Kalau aku sampai menikah dengannya, bagaimana perasaan Silvi?
Apa permainan nasib itu begitu menyenangkan?
mbak, katakan... bagaimana bisa tuhan membuat lelucon yang begitu buruk ini kepadaku?" Runtutan pertanyaan itu bahkan terdengar sebagai belati yang beberapa kali menikam ulu hati.Bibirnya gemetar didesak rasa sakit, kemudian bahunya berguncang menahan tangis yang memaksa keluar.
" Sudah, tak apa-apa menangis. Menangis saja biar hatimu nyaman, menangislah sampai hatimu tenang!" ujar Erna memberikan bahunya sebagai sandaran. Reka menyenderkan kepalanya pada bahu sang kakak dan mulai menangis pelan. Ia benar-benar menangis tanpa tahu malu, mengekspresikan semua rasa sakitnya tanpa khawatir lagi seseorang akan menertawakannya.
"Reka, kami semua sudah berbincang. Kemarin, kami pergi ke kediaman rumah Anja untuk berdiskusi tentang masalahmu ini," cerita Erna setelah dirasa Reka mulai cukup tenang. Jeda panjang kemudian mengambil alih suasana. Untuk sejenak, Erna menoleh kebelakang memastikan pada putrinya apa ada pergerakan, namun akhirnya dia bisa menghela napas lega karena bayi itu nampak tak terganggu sama sekali.
Reka bangkit kemudian memandang kakaknya dengan ekspresi serius "apa disana juga ada Silvi?" tanyanya kemudian.
" tentu saja,!"
"Apa kemarin mbak melihat dia baik-baik saja?"
Erna tersenyum kemudian menghela nafas," Tidak ada yang baik-baik saja untuk sekarang. Mata Silvi masih terlihat bengkak, namun... dengan apa yang telah terjadi, mbak rasa itu hal yang wajar."
"aku sudah menduga aku telah menyakitinya!"keluhnya dengan nada kecewa, sementara matanya memandang kosong kedepan.
"Semuanya akan baik-baik saja, Reka. Semua orang pernah patah hati, dan Mbak yakin cepat atau lambat sakit itu akan pudar seiring berjalannya waktu."
"Lalu, dua pilihan yang mbak katakan itukah yang menjadi kesimpulannya?"
semangat kak author 😍