Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.
Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.
Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Ia tidak ikut kabur seperti yang lainnya. Tubuhnya berdiri tegak di tempat, dengan tatapan yang tajam dan tidak berkedip sedikit pun. Nafasnya terdengar berat, seperti amukan badai yang siap meledak kapan saja.
"Eh…" Enzo melongo, masih terkejut melihat gerombolan monster itu bubar begitu saja. Ia menyeringai kecil, tak menyangka teknik ancamannya yang asal-asalan ternyata dianggap serius oleh para monster tersebut.
"Ku kira kalian akan melawan…" gumamnya sambil menggeleng pelan. Namun, matanya segera tertuju pada monster besar yang masih berdiri kokoh di tempatnya. "Tapi sudahlah, untukmu yang berbadan besar, kuakui nyalimu. Sekarang mari kita bertarung dan lupakan rekanmu yang kabur seperti pecundang itu."
Wajah Enzo yang semula terkejut kini berubah penuh semangat. Dia menunjuk monster itu sambil tersenyum lebar, menghormati keberanian lawannya yang masih bertahan. Namun, sang monster hanya diam. Tatapannya tetap mengerikan, penuh intensitas, seperti mencoba mengintimidasi Enzo.
"Baiklah…" ujar Enzo dengan nada ceria.
"Sebagai momen spesial atas keberanianmu, aku akan melayani mu dengan sungguh-sungguh. Kali ini aku tidak akan langsung membunuhmu dengan satu tebasan atau apalah itu. Serang aku dengan semua yang kau punya!"
Tapi, alih-alih menyerang, sang monster kera berbadan besar tiba-tiba berbalik. Tanpa peringatan, ia mulai berlari kencang, menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu kabur meninggalkan nya.
Yang lebih konyol lagi, selama pelariannya, ia tidak hanya terkencing-kencing ketakutan. Ia juga sambil berak di tengah jalan, meninggalkan jejak memalukan di belakangnya. Rasa takut yang berlebihan rupanya membuat indranya benar-benar kacau.
"Ehhhhhhhhhh?!" Enzo tertegun, matanya terbelalak lebar, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Para monster yang awalnya berdiri gagah menghalangi jalannya kini malah berbalik kabur dengan wajah penuh ketakutan. Bukan karena mereka lemah, tetapi hari ini nasib buruk jelas berpihak pada mereka. Berhadapan dengan mantan raja iblis, mereka tak punya kesempatan.
Padahal, Enzo sama sekali tidak menggunakan energi kutukannya. Namun, kekuatan fisiknya sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan betapa berbahayanya dirinya. Meskipun kekuatannya belum sepenuhnya pulih, jejak kegemilangan seorang mantan raja iblis jelas tak bisa diremehkan.
Langkah demi langkah, ia terus maju, menyusuri lebih dalam ke jantung hutan kematian. Setiap inci tempat ini seperti menyembunyikan bahaya yang berbeda. Tidak hanya dari monster-monster buas, tetapi juga tumbuhan liar beracun dan roh-roh jahat yang bergentayangan tanpa henti.
Namun, semua itu sama sekali bukan tandingan. Dengan keterampilan dan ketenangan luar biasa, Enzo menghadapi mereka seperti angin yang melibas debu—cepat, bersih, tanpa sisa.
Tak ada rasa gentar, tak ada keraguan. Enzo tetap bergerak maju, meski ada satu hal yang sedikit menyulitkannya—rasa lelah. Hutan kematian ini benar-benar gila. Bukan hanya karena ancaman yang tiada henti, tetapi juga karena ukurannya yang terasa tidak masuk akal.
Hampir sepuluh jam ia menjelajahi tempat ini, dan tetap saja tidak ada tanda-tanda ujung. Pohon-pohon raksasa membentang sejauh mata memandang, sementara kabut yang turun semakin tebal, menutupi pemandangan dan menjadikan hutan ini seperti dunia yang tak berujung.
Merasa sudah cukup untuk hari ini, Enzo akhirnya memutuskan untuk kembali. Namun, ia tidak pulang dengan tangan kosong. Ia membawa beberapa monster buruan, sayur-sayuran raksasa yang hanya tumbuh dalam kegelapan hutan kematian, serta biji-bijiannya.
Selain itu, ia juga berhasil mengumpulkan biji-bijian lain seperti biji kopi, gandum, berbagai buah berkualitas tinggi, dan masih banyak lagi. Semua hasil buruannya itu ia masukkan ke dalam gumpalan asal hitam kecil, cara yang sama seperti saat ia menyimpan kedua pedangnya sebelumnya.
“Aku akan membuat kebun… Dengan begini, kehidupan baruku akan semakin menyenangkan,” ucap Enzo dengan senyum tipis. Nada suaranya terdengar penuh keyakinan, seolah semua itu adalah bagian kecil dari rencana besar yang menuntunnya menjadi sosok yang jauh lebih sederhana.
Sesampainya di rumah, Enzo duduk sejenak untuk mengistirahatkan tubuhnya. Setelah tenaganya pulih, ia kembali bangkit dan mulai bekerja. Kini, ia mencangkul tanah di belakang rumahnya, menggunakan dua pedang hitam andalannya. Salah satu pedang yang berukuran besar mempermudah pekerjaannya; dengan sekali ayunan, tanah yang keras pun terbalik, siap diolah menjadi lahan perkebunan.
Keringat mengalir deras dari peluhnya, menetes ke tanah yang ia garap. Namun, tak ada keluhan. Sebaliknya, sebuah senyum puas terukir di wajahnya. Dengan penuh semangat, ia mengelap keringatnya, merasa puas melihat kerja kerasnya membuahkan hasil.
Setelah selesai mencangkul, Enzo mulai memetakan lahan tersebut. Ia membagi tiap bagian dengan hati-hati, memastikan setiap jenis biji yang akan ditanam memiliki ruang tersendiri agar tumbuh sehat tanpa bercampur satu sama lain. Bagi Enzo, ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah langkah menuju kehidupan yang baru—lebih damai, lebih bermakna.
Suara pedangnya yang menghantam tanah berpadu dengan suara angin yang lembut, menciptakan harmoni alami. "Hidup sederhana seperti ini… tidak seburuk yang kupikirkan," gumamnya sambil melanjutkan pekerjaannya.
Kurang lebih empat jam lamanya, Enzo bekerja keras membangun kerajaan kebunnya. Akhirnya, ia berhenti sejenak dan menghela napas panjang, menatap puas hasil jerih payahnya.
Lahan yang telah ia olah kini tertata rapi enak di pandang, siap menyambut kehidupan baru. Sebuah senyuman kecil menghiasi wajahnya. Namun, pekerjaannya belum selesai. "Selanjutnya, pagar dan aliran air," pikirnya. Ia tahu, tanpa perlindungan dan sistem irigasi, tanaman-tanamannya bisa saja rusak oleh binatang liar atau kekeringan.
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Tanpa terasa, hari mulai beranjak senja, dan kegelapan perlahan-lahan mendekat. Malam segera tiba, tetapi Enzo memutuskan untuk menunda pekerjaan selanjutnya hingga esok hari. Kini, ia memfokuskan diri untuk mencari ranting-ranting pohon kering di sekitar hutan. Ranting-ranting itu akan ia gunakan untuk membuat api unggun dan sekaligus memasak hasil buruannya.
Saat malam tiba, suasana di sekitar rumah kayunya berubah menjadi lebih hidup. Api unggun menyala terang, memancarkan kehangatan di udara dingin malam itu. Aroma daging panggang memenuhi udara, mengingatkan Enzo pada masa-masa lalunya yang jauh berbeda dari sekarang. Ia duduk di depan api, menyantap makan malamnya dengan santai, menikmati setiap gigitan.
Pemandangan di sekitarnya begitu menakjubkan. Perkebunan luas yang baru ia bangun terlihat membaur sempurna dengan keindahan alam. Rumah kayu sederhananya berdiri anggun di tepi danau, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang memberikan suasana damai dan kesejukan. Cahaya bulan memantul di permukaan air danau, seperti cermin perak yang bersinar lembut, menambah suasana magis malam itu.
Di bawah langit malam yang bertabur bintang, Enzo membiarkan pikirannya melayang. Sesaat ia lupa bahwa dirinya adalah mantan raja iblis yang pernah mengguncang 3 alam.
“Raja iblis ya…” Enzo terkekeh kecil, memandang api unggun yang hampir padam. “Hehehe, aku jadi malu membayangkan masa laluku.” Ia berbicara pada dirinya sendiri, seakan-akan masih sulit percaya bahwa kehidupannya kini berubah drastis.
Dulu, ia adalah penguasa kegelapan yang ditakuti oleh segala makhluk, tetapi sekarang ia hanya seorang pria biasa yang bercocok tanam di pinggir danau. Ironi itu membuatnya tersenyum getir.
Namun, rasa lelah mulai menguasai tubuhnya. Setelah hari yang begitu panjang, kantuk datang menyerang tanpa bisa ia lawan. "Besok pagi," pikirnya, "aku akan menyelesaikan pagar dan aliran irigasi, lalu kembali menelusuri hutan kematian." Dengan rencana itu di kepala, Enzo memutuskan untuk tidur lebih awal, membiarkan malam berlalu dengan tenang.
Tetapi, malam itu ternyata berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tanpa ia sadari, monster-monster dari berbagai tingkatan datang silih berganti ke tempat tinggalnya.
Mereka mulai merusak lahan yang baru saja ia bangun dengan penuh kerja keras dan ketulusan. Biji tanaman yang baru ia tanam diinjak-injak tanpa ampun, sementara beberapa monster mencoba mendekati rumah kayunya, membuat suasana menjadi semakin kacau.
Enzo terbangun mendadak. Awalnya ia mengira suara itu hanyalah angin malam, tetapi getaran hebat yang mengguncang rumahnya membuatnya segera sadar bahwa ini bukan gangguan biasa. "Apa ini?" gumamnya, matanya langsung menyipit tajam.
Ia melangkah keluar, dan pemandangan di depannya membuatnya terkejut sekaligus marah. Sebanyak puluhan monster mengelilingi rumahnya. Beberapa sudah berada di kebun dan memporak-porandakan nya, menghancurkan tanah yang susah payah ia olah. Beberapa lainnya berdiri di dekat danau, menggeram liar seperti sedang menunggu giliran untuk menyerang.
"Sialan! Berani-beraninya kalian melakukan ini!" Enzo menggeram marah, suaranya menggema di malam yang sunyi. Amarahnya memuncak melihat para monster dengan seenaknya menghancurkan lahan dan rumah sederhana yang ia bangun penuh cinta.
Monster-monster itu, yang dari berbagai wujud dan ukuran, menyadari keberadaan Enzo. Mereka langsung menyerbu tanpa ampun, bergerak bersamaan seperti gelombang yang tak terhentikan. Enzo terpojok. Jika ia bertarung di sini, maka ladang dan rumahnya akan semakin rusak parah.
Dengan cepat, Enzo merancang strategi. Ia mulai memancing para monster menjauh, berjalan mundur perlahan sembari memprovokasi mereka. Namun, tak semua monster terpancing. Beberapa masih mencoba kembali ke kebunnya, dan itu membuat Enzo semakin frustrasi.
"Cih—Dasar makhluk menyebalkan," gumamnya kesal, matanya tajam menatap para makhluk itu. Ia bisa saja mengakhiri semuanya dalam sekejap dengan energi kutukannya, tapi ia menahan diri. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk berubah. Ia ingin hidup seperti makhluk biasa, tanpa bergantung pada kekuatan lamanya.
Menggunakan kekuatan fisik semata, Enzo bertarung habis-habisan. Ia melompat, memukul, dan melempar para monster satu per satu, memastikan mereka tidak mendekati rumahnya. Namun, jumlah mereka benar-benar tidak terkendali.
"Mereka tidak ada habisnya," desisnya, napasnya sedikit memburu.
Seekor kelabang raksasa menyerangnya dari belakang. Dengan refleks, Enzo menangkap tubuhnya yang besar itu, lalu melemparkan monster tersebut tinggi ke udara. Tubuh kelabang itu melayang, jatuh menghantam tanah dengan suara menggelegar. Tapi tidak berhenti di situ. Tiga puluh monster lainnya datang menyerbu, mencoba mengepung Enzo dari segala arah.
"Baiklah, kalau kalian mau bermain lebih lama lagi," ujar Enzo dingin, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia memukul tanah dengan tangannya, menciptakan gelombang kejut yang membuat para monster kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, tubuh mereka terlempar ke udara seperti daun kering diterpa angin.
Pertarungan terus berlangsung tanpa tanda-tanda berhenti. Enzo mulai bertanya-tanya, dari mana monster-monster ini berasal dan mengapa jumlah mereka seperti tak ada habisnya. Gelapnya hutan kematian seakan menjadi pintu yang terus memuntahkan ancaman baru.
"Ini yang ke-478! Rasakan itu!" teriak Enzo sambil melempar salah satu monster jauh ke arah pepohonan.
"Dan ini untuk yang ke-698! Hah, terima itu, monster sialan!" lanjutnya dengan nafas terengah-engah.
Namun, seiring waktu mendekati pagi, jumlah monster yang terus berdatangan mulai berkurang. Pertarungan yang berlangsung sepanjang malam telah meninggalkan jejak kehancuran di mana-mana. Tanah berlubang, pohon-pohon tumbang, dan darah monster berserakan di sekelilingnya. Meski begitu, ladang kebun dan rumah kayu sederhana milik Enzo berhasil selamat, meski membutuhkan perbaikan di sana-sini.
Akan tetapi, keadaan Enzo benar-benar memprihatinkan. Bukan karena luka atau babak belur, tetapi ekspresi wajahnya yang terlihat pucat dan matanya yang tampak kosong. Lingkaran hitam di sekeliling matanya menunjukkan betapa lelahnya ia setelah bertarung tanpa henti, mulai dari siang hingga malam.
Tubuhnya limbung, hampir jatuh ke tanah. Ia merasakan betapa kejamnya hutan kematian yang kini bukan lagi sekadar julukan belaka. Saat malam tiba, tempat ini menjadi neraka hidup.
"Aku butuh tidur... Aku butuh tiduuuuuur!" teriak Enzo, hampir seperti bisikan kematian.
Cahaya matahari pagi perlahan-lahan menembus celah dedaunan, menyinari wajah Enzo yang kelelahan. Sekalipun pemandangan itu sangat indah, bagi Enzo, rasa kantuk yang memanggilnya jauh lebih kuat.