Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Tubuhku masih diam membeku setelah mendengar perkataan Ratu yang di luar nalar. Kenapa dia bisa berkata demikian padahal ibu dan kakaknya adalah keluarganya.
"Kamu tidak perlu repot-repot untuk membuat ancaman, Mas. Aku justru senang melihat ibu dan kakakku hidupnya hancur jika hutang mereka tidak kamu bayar kan."
"Ratu ucapan kamu--"
"Aku pergi dulu Mas. Aku enggak ada waktu lagi untuk bicara dengan manusia kotor sepertimu." Ratu langsung membalikan badan dan melangkah pergi meninggalkan diriku yang masih diam membeku setelah mendengar kata-kata yang cukup sadis.
Entah kenapa kakiku terasa begitu lemas setelah punggung Ratu menghilang dibalik tembok. Apa benar wanita yang aku ajak bicara itu Ratu? Tapi kenapa? Kenapa dia bisa berubah secepat itu, sebenarnya apa yang terjadi dengan Ratu?
...****************...
Sidang pun kembali dilaksanakan setelah beristirahat selama setengah jam. Aku dan Ratu kembali duduk di kursi masing-masing. Ruangan terasa begitu hening, hanya suara ketukan palu hakim yang membuat dadaku semakin berdebar.
Selama persidangan, Ratu terus memojokkanku dengan kata-katanya. Ia mengungkapkan semua penderitaannya selama menjadi istriku, dari harus mengurus rumah sendirian, mengasuh Clara dan Mira tanpa bantuan, hingga perlakuanku yang kasar dan sering meremehkannya.
“Yang Mulia,” suara Ratu terdengar lantang, “saya sudah menahan semua ini hampir dua tahun. Tapi batas kesabaran saya sudah habis. Bahkan, suami saya tega berselingkuh dengan wanita lain. Dan saya punya bukti.”
Ia menyerahkan beberapa lembar foto kepada hakim, juga tangkapan layar percakapan di ponsel. Aku bisa merasakan semua mata yang hadir di ruang sidang menatap tajam ke arahku.
Hakim menerima bukti itu dengan wajah serius. “Apakah benar ini Anda, Saudara Erlangga?”
Aku terdiam. Lidahku kelu, tidak mampu menyangkal. Bukti-bukti itu terlalu jelas, bahkan ada fotoku bersama Megan di restoran, juga riwayat transaksi rekening yang menunjukkan pembelian barang-barang mewah.
Dadaku sesak. Aku mencoba bicara, “Yang Mulia… itu tidak seperti yang terlihat. Saya hanya…” tapi suaraku tercekat.
Hakim menatapku dingin. “Saudara tidak perlu berbelit. Fakta sudah jelas. Perselingkuhan adalah salah satu alasan sah untuk perceraian.”
Aku tidak berkutik, hanya bisa menunduk. Rasanya seluruh harga diriku runtuh di hadapan semua orang.
Hakim menatap kami berdua dengan sorot tajam. “Baik, setelah melalui mediasi singkat, ternyata pihak istri tetap pada pendiriannya untuk bercerai. Apakah masih ada hal yang ingin disampaikan oleh pihak suami sebelum sidang dilanjutkan?”
Aku segera berdiri, mencoba menahan rasa gugup. “Yang Mulia… saya mohon, jangan kabulkan perceraian ini. Saya masih sayang pada Ratu. Saya janji akan memperbaiki kesalahan saya. Saya akan berusaha membangun kembali rumah tangga ini.”
Hakim menoleh pada Ratu. “Bagaimana dengan Saudari Ratu? Apakah masih tetap pada keputusan?”
Ratu berdiri, suaranya bergetar tapi penuh keyakinan. “Saya tetap ingin bercerai, Yang Mulia. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi. Saya sudah terlalu lelah menjadi istri sekaligus pembantu di rumah tangga ini."
Suasana ruang sidang terasa semakin berat. Setelah mendengar semua keterangan, melihat bukti-bukti, dan mempertimbangkan pernyataan kedua belah pihak, hakim akhirnya mengetuk palu.
“Dengan ini, Pengadilan Agama memutuskan untuk mengabulkan gugatan cerai dari Saudari Ratu. Terhitung mulai hari ini, Saudara Erlangga dan Saudari Ratu resmi bercerai.”
Suara palu itu seakan menghantam dadaku begitu keras. Kepalaku tertunduk, seolah seluruh dunia runtuh dalam sekejap. Ratu tetap duduk tegak dengan wajah tenang, meski matanya berkaca-kaca.
Aku ingin bersuara, ingin menolak lagi, tapi lidahku kelu. Semua sudah selesai. Perjuangan, penolakan, bahkan ancaman yang kulontarkan—tak ada artinya lagi.
Hakim menutup berkas, sidang pun berakhir. Para hadirin mulai beranjak dari kursi mereka, sementara aku masih terpaku, tidak percaya semua ini benar-benar terjadi.
Ratu berdiri, merapikan jilbabnya, lalu berjalan keluar tanpa sedikit pun menoleh padaku.
Sedangkan diriku masih duduk di ruang sidang dengan wajah kaku setelah Ratu keluar. Jujur saja, aku sedikit tidak terima dengan putusan hakim tadi. Bagaimana mungkin seorang laki-laki sepertiku bisa diceraikan oleh istrinya? Bukankah seharusnya akulah yang memutuskan jalan rumah tangga ini?
Aku merasa harga diriku diinjak-injak. Ratu benar-benar berani mempermalukan aku di depan hakim dan orang-orang. Rasanya dadaku sesak, bukan karena kehilangan, tapi karena egoku dipatahkan.
“Tidak masuk akal… bagaimana bisa aku yang diceraikan?” gumamku sambil mengepalkan tangan.
Dalam hati aku masih menginginkan Ratu, tapi bukan karena cinta—melainkan karena gengsiku tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia memilih pergi dan meninggalkanku dengan begitu berani.
Tanganku mengepal kuat, begitu kencang hingga urat-urat di pergelangan terlihat menegang. Emosiku benar-benar ingin meledak. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ratu tidak boleh menjadi wanita angkuh dan sombong seperti ini.
Aku melangkah cepat, berusaha mengejar sosoknya yang hendak keluar dari gedung pengadilan. “Ratu! Kita belum selesai bicara!” suaraku menggema, membuat beberapa orang menoleh.
Ia berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan dingin yang menusuk. Tatapan itu semakin membakar egoku.
“Sudah jelas, Mas. Aku tidak mau kembali. Jangan paksa aku lagi,” ucapnya tenang tapi tegas.
Dadaku bergemuruh, hatiku berontak. “Kamu pikir aku bisa terima begitu saja? Aku ini suamimu! Kamu tidak bisa seenaknya menyingkirkan aku seperti ini.”
Ratu menggeleng perlahan. “ kita sudah bukan suami istri. Sudahlah, jangan buat semuanya makin memalukan.”
Aku merasakan wajahku panas, antara marah dan terhina. Tidak—aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku harus membuatnya mengerti, bahwa aku masih berhak atas dirinya.
Aku semakin tidak bisa mengendalikan emosiku. Langkahku semakin cepat menghampiri Ratu, lalu kutahan lengannya dengan kasar.
“Ratu! Kamu pikir bisa seenaknya meninggalkan aku? Jangan sombong!” suaraku meninggi, membuat orang-orang di sekitar mulai berhenti dan memperhatikan.
Ratu mencoba melepaskan diri. “Lepaskan aku, Mas! Jangan bikin keributan di sini!” ucapnya keras, kali ini suaranya juga ikut meninggi.
Aku menatapnya tajam, rahangku mengeras. “Aku tidak akan biarkan kamu hancurkan harga diriku! Kamu tetap istriku, Ratu!”
“Tidak! Aku sudah bukan istrimu lagi. Hakim sudah memutuskan, Mas!” balasnya dengan suara bergetar namun penuh ketegasan.
Keributan semakin menarik perhatian. Beberapa orang mulai berbisik-bisik, ada pula yang tampak hendak melerai.
“Mas, tolong jangan bikin malu dirimu sendiri,” kata Ratu lirih, berusaha menarik lengannya.
Tapi genggamanku tak kunjung kulepas. “Aku tidak akan biarkan kamu pergi begitu saja! Kamu pikir aku bisa terima diceraikan seperti ini?!” Di saat aku ingin menarik tubuhnya agar lebih dekat denganku. Tiba-tiba tubuhku di dorong oleh seseorang membuat keseimbanganku goyah dan hampir jatuh.
"Jangan bersikap kasar dengan wanita?" ujarnya seseorang membuat mata ini membulat. "Kamu dan Ratu sudah bukan suami istri, jadi jangan sentuh dirinya," lanjutnya lagi tapi diri ini masih diam membisu.
Kenapa dia bisa ada di sini?