Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zane dan Mico
Lapangan basket sore itu masih saja riuh rendah, terutama oleh suara celetukan dan tawa cewek-cewek yang sibuk melambai-lambai serta berusaha menarik perhatian dua cowok tampan yang sedang berada di tengah lapangan. Seakan-akan mereka semua kehilangan kendali hanya karena keberadaan dua sosok yang kerap dijuluki cogan oleh anak-anak sekolah. Lesham, yang baru saja keluar dari ruang istirahat sambil membawa sebotol minuman dingin, hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Tatapan matanya memancarkan sinis yang sulit disembunyikan.
"Apa mereka tidak punya kegiatan lain selain menatap wajah laki-laki? Memalukan sekali…" gumamnya lirih, sembari menurunkan tubuhnya ke bangku kayu panjang di pinggir lapangan. Ia menyandarkan tubuh ke belakang, membuka botol minum, dan meneguk beberapa kali.
Sesekali Lesham melirik ke arah lapangan, melihat bagaimana para gadis itu berdesak-desakan hanya demi bisa lebih dekat. Namun, tak lama ia sudah kehilangan minat, lalu mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang ada di genggamannya. Jemarinya bergerak lincah, menggulir layar ke bawah, menyusuri postingan terbaru dari akun resmi sekolah.
“Ah, ternyata minggu depan akan ada acara pelantikan OSIS,” gumamnya datar, lalu mendesah singkat. “Aku sama sekali tidak tertarik dengan hal semacam itu.”
Ia pun kembali menggulirkan layar, mencari video lain yang lebih menarik, sampai tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya berhenti. Dari sudut matanya, ia menyadari keberadaan sepasang kaki yang perlahan mendekat ke arahnya. Refleks, Lesham mengangkat kepala, dan matanya langsung bertemu dengan sosok yang berdiri tepat di hadapannya.
Lesham sempat mengerutkan kening, tatapannya menunjukkan kebingungan yang tulus. “Kau siapa?” tanyanya, dengan wajah datar..
Pria di hadapannya hanya tersenyum tipis, senyum yang bagi sebagian orang bisa saja terlihat menawan, tetapi bagi Lesham terasa aneh dan penuh misteri. “Kau masih saja tidak mengenaliku, Lesham?” ujarnya dengan tenang, seolah ucapan itu adalah hal yang seharusnya jelas.
Lesham tidak langsung menjawab. Ia justru melirik ke arah samping, ke kerumunan cewek-cewek yang mendadak menghentikan aktivitasnya hanya untuk menatap ke arahnya, juga ke arah salah satu dari dua cogan tadi yang kini memperhatikan dengan sorot mata datar. Jantungnya berdetak tidak karuan, bukan karena kagum, melainkan karena perasaan janggal yang semakin kuat.
“Kenapa mereka menatapku seperti itu…?” gumamnya lirih dengan wajah sedikit melongo, seakan tidak percaya bahwa dirinya tiba-tiba menjadi pusat perhatian.
Belum sempat ia mengalihkan pandangan, pria itu tiba-tiba menundukkan tubuhnya, mendekat begitu cepat hingga jarak mereka terlalu sempit. Lesham spontan memundurkan tubuhnya, menahan diri agar tidak terlihat panik.
“Karena aku terkenal di sekolah ini,” ucap pria itu dengan senyum miringnya yang terkesan congkak. “Apa kau benar-benar tidak tahu?”
Lesham menatapnya dengan dingin, bola matanya menyipit. “Sombong sekali. Sayangnya aku tidak kenal kau, dan yang lebih penting, aku sama sekali tidak mengidolakan dirimu. Jadi, jangan merasa terlalu penting dulu,” balasnya sinis.
Pria itu perlahan menegakkan tubuhnya kembali. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana seragamnya, dan ia menghela napas panjang, seakan mencoba menahan sesuatu yang ingin ia katakan. “Rupanya ingatanmu masih belum pulih juga,” katanya dengan suara berat namun tetap tenang. “Perlukah aku mengingatkanmu lagi tentang siapa diriku agar kau tidak terus berpura-pura?” Ujung alisnya terangkat, menegaskan tantangan dalam ucapannya.
Suasana lapangan yang penuh keramaian justru terasa semakin sesak bagi Lesham. Ia tahu percakapan ini bisa menimbulkan masalah bila diteruskan di depan banyak orang. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari bangku, bersiap pergi. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, Lesham menoleh sekilas, tatapannya tajam menusuk lawan bicaranya.
“Aku mengenalmu, juga dia. Kau Mico, dan yang satu lagi Zane,” ucapnya dengan nada penuh ketegasan. “Bukannya aku tidak tahu siapa kalian, tapi aku tidak ingin berurusan lagi dengan manusia yang berhati busuk dan tak tahu perasaan.”
Tanpa memberi kesempatan bagi Mico untuk merespons, Lesham segera melangkah pergi, meninggalkan lapangan basket yang masih riuh namun kini seolah terpecah oleh ketegangan.
Mico hanya berdiri mematung, menatap punggung Lesham yang kian menjauh. Sebuah dengusan kecil lolos dari bibirnya, namun justru berubah menjadi senyum miring yang samar. “Kenapa dia bisa berubah secepat itu…?” gumamnya pelan, entah bertanya pada dirinya sendiri atau pada bayangan masa lalu yang tiba-tiba hadir di kepalanya.
Begitu berhasil keluar dari lapangan indoor basket yang masih dipenuhi keributan, Lesham langsung menundukkan tubuhnya sedikit, menghela napas panjang sambil menempelkan telapak tangan di dadanya. Degup jantungnya masih terasa begitu cepat, seperti baru saja berlari maraton.
“Astaga… kenapa aku bisa sebegitu takutnya dengan semua lirikan mata mereka tadi? Tatapan itu… seolah-olah bisa menelanku hidup-hidup, bahkan seperti ingin membunuhku,” bisiknya lirih, sementara wajahnya berubah masam dan sedikit cengo. Ia menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghapus rasa cemas yang masih tertinggal.
Namun, tepat saat ia membalikkan tubuh, Lesham terlonjak kaget karena tanpa ia sadari, seseorang sudah berdiri diam di belakangnya. Jantungnya serasa berhenti satu detik saking terkejutnya.
“Hei!! Kau hampir membuatku mati kaget!” serunya refleks dengan suara setengah meninggi, berusaha menutupi rasa kaget dengan wajah yang dipaksakan tetap kuat.
Alia, yang ternyata menjadi sosok di belakangnya, justru menatap wajah Lesham dengan ekspresi tak tertahan. Melihat bagaimana wajah Lesham yang biasanya tenang dan cuek tiba-tiba berubah panik, Alia sontak meledak dalam tawa yang terbahak-bahak.
“Kau… menertawakanku?” tanya Lesham dengan wajah datar, namun telinganya tampak sedikit memerah.
Alia masih memegangi perutnya sambil tertawa, air matanya nyaris keluar. “Kau tidak sadar, ya? Wajahmu tadi itu benar-benar lucu sekali! Astaga, aku sampai sakit perut. Aduh, rasanya seperti keram,” ucapnya di sela-sela tawanya, sambil terhuyung sedikit.
Lesham hanya menghela napas, lalu tanpa banyak bicara ia langsung meraih pergelangan tangan Alia dan menariknya menjauh dari lorong dekat lapangan itu. Alia sempat kebingungan, tetapi ia tidak melawan, hanya mengikutinya dengan langkah cepat. Dari cara Lesham menarik, ia bisa merasakan ada sesuatu yang penting.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di lantai dua perpustakaan sekolah. Ruangan itu, seperti biasa, sepi dan sunyi. Hanya suara langkah mereka yang terdengar, sebab hampir tidak ada siswa lain yang betah berlama-lama di tempat itu.
“Kenapa kau tiba-tiba menyeretku ke sini?” tanya Alia, masih memegangi lengannya yang tadi ditarik, wajahnya penuh kebingungan.
Lesham menatapnya dengan serius, lalu menarik kursi dan duduk menghadapnya. “Aku ingin bertanya sesuatu,” ucapnya datar, namun sorot matanya menyiratkan kegelisahan. “Siapa sebenarnya Mico? Belakangan ini dia selalu saja mendekatiku, seolah-olah ada sesuatu yang dia tahu tentang diriku, tapi aku sama sekali tidak mengerti.”
Alia terdiam sejenak, lalu bersandar di kursinya dengan sikap tenang. “Bukankah selama ini kau memang selalu dekat dengannya? Kau selalu menyukai Zane, itu semua orang tahu. Tapi di sisi lain, kau juga tetap sering terlihat bersama Mico,” ucapnya sambil mengerutkan alis, seolah tidak habis pikir dengan pertanyaan Lesham.
Lesham langsung membelalakkan mata, wajahnya menunjukkan keterkejutan. “Aku… selalu dekat dengannya?” tanyanya pelan, seperti sulit menerima pernyataan itu.
Alia hanya menanggapi dengan senyuman tipis yang penuh arti. “Aku yakin Mico tidak akan pernah benar-benar menyerah untuk tetap ada di dekatmu. Bagaimanapun juga, dulu kau memang dekat dengannya. Hanya saja, sekarang kau terlihat menjauh dan bertindak seperti tidak mengenalnya.”
Lesham menunduk sesaat, lalu menatap Evelyn dengan wajah bingung. Suaranya melembut, hampir berbisik. “Jadi… bisa dikatakan aku sahabatnya?”
Alia kembali mengerutkan dahinya, kali ini ekspresi bingungnya lebih dalam. “Hm, bagaimana ya… bisa dikatakan begitu, tapi di sisi lain… bisa juga tidak,” jawabnya dengan jujur.
Lesham menegakkan tubuhnya, lalu menghembuskan napas berat. Tatapannya kosong, dan ia bersandar ke kursinya dengan punggung yang terdorong ke belakang. “Kau ini berbelit-belit sekali. Aku ingin tahu lebih jelas. Katakan padaku semuanya tentang dia,” ucapnya datar namun tegas.
Alia akhirnya menautkan jemarinya di atas meja, lalu berbicara dengan nada lebih serius. “Baiklah. Akan aku ceritakan. Zane dan Mico sebenarnya adalah saudara sepupu. Mereka tidak terlalu dekat seperti yang terlihat sekarang. Justru dulu mereka sempat saling menjauh karena perang perusahaan orang tua mereka. Perseteruan itu membuat perusahaan keluarga Mico hampir bangkrut. Untungnya, beberapa perusahaan kecil menyelamatkan mereka lewat pembagian saham, jadi perusahaannya tidak benar-benar runtuh. Sejak saat itu, hubungan mereka retak.”
Lesham mendengarkan tanpa berkedip, berusaha menyerap semua informasi baru itu.
“Lalu, datanglah kau, Lesham,” lanjut Alia, tatapannya lurus. “Semua orang tahu kau selalu mengejar cinta Zane, meski kenyataannya Zane sudah menjalin hubungan dengan Alia. Mico, yang tahu betapa kerasnya hidupmu di sekolah karena bullying, memilih untuk mendekatimu. Dia ingin menenangkan hidupmu.”
Lesham terdiam, seolah ada bagian hatinya yang merasa asing dengan kisah itu.
“Kalau begitu… kenapa sekarang mereka tampak begitu dekat? Bukannya dulu kau bilang mereka tidak akur?” tanyanya lagi, nada suaranya kali ini dipenuhi rasa penasaran yang lebih kuat.
Alia mengangkat bahunya ringan. “Kau pikir mereka menjauh karena dirimu? Tidak, Lesham. Mereka terpisah karena perintah orang tua mereka. Itu semua hanya urusan keluarga yang akhirnya menyeret nama mereka. Namun, sepertinya mereka berdua memutuskan untuk melawan aturan itu. Di sekolah, mereka terlihat akrab, meski aku tidak tahu bagaimana sebenarnya hubungan mereka di luar sekolah.”
Lesham terdiam lama, matanya menerawang kosong, lalu berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. “Jadi… Zane dan Mico ternyata sepupu. Mereka pernah tidak akur karena konflik keluarga. Lalu, apa hubungannya denganku? Kalau mereka tidak suka padaku, kenapa sekarang mereka justru selalu muncul di hadapanku? Kenapa mereka terus memaksa agar aku mengingat mereka?”
Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Lesham, disertai ekspresi wajah penuh kebingungan. Ia berjalan mondar-mandir, menatap lantai seolah mencari jawaban yang belum juga ditemukan.