Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Hari Pertama Tanpamu & Setelah Kelulusan, Sebelum Kehilangan Lain
Wina tak lagi melihat Ale, tak lagi mendengar bisiknya. Tapi cinta yang pernah tinggal, tidak pernah benar-benar pergi. Ini adalah hari pertama Wina melangkah... bukan untuk melupakan, melainkan untuk membawa kenangan itu bersamanya, ke mana pun hidup akan menuntun.
Langit pagi ini cerah.
Tidak ada kabut, tidak ada suara aneh, tidak ada bayangan yang berdiri di ujung taman.
Tidak ada kamu.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak dari asrama ke gedung fakultas. Pohon-pohon bergoyang pelan diterpa angin pagi. Beberapa mahasiswa mulai kembali dari liburan. Suasana kampus terasa hidup lagi.
Tapi ada ruang kosong di sebelahku… tempatmu biasa berjalan diam-diam tanpa suara.
Hari ini, untuk pertama kalinya, aku benar-benar sendirian. Dan anehnya, tidak menakutkan.
Aku tidak lagi menunggu bayanganmu muncul di bawah angsana. Tidak menoleh ke belakang setiap kali angin bertiup. Tidak lagi berharap ada suara di balik catatan yang kutulis malam-malam.
Tapi aku juga tidak melupakanmu.
Aku tidak menghapus jejakmu.
Aku membiarkan kamu tetap tinggal,
di halaman paling dalam dari hatiku.
Siang itu, aku berdiri di taman belakang kampus, tempat terakhir kita berbicara. Aku duduk di bangku kayu yang kini sudah sedikit lapuk. Di tanganku, sebuah jurnal baru—bersampul putih polos. Di halaman pertama, kutulis:
> Hari pertama tanpamu.
Tapi entah kenapa… aku tetap tidak merasa sendiri.
Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Hening. Tapi penuh.
Kau tidak lagi hadir dalam wujud atau suara.
Tapi aku tahu…
kau ada dalam keberanianku untuk hidup.
Dan dengan langkah ringan, aku meninggalkan bangku itu.
Tak menoleh.
Tak menunggu.
Karena kini, aku tahu satu hal:
Beberapa cinta tidak diciptakan untuk bertahan selamanya…
Tapi untuk mengubah kita, selamanya.
🌸🌸🌸
Hari itu, langit cerah seperti senyuman para ibu yang datang membawa bunga ke gedung rektorat.
Aku resmi lulus.
Namaku, Wina Agustina, S.H., dipanggil di podium dengan iringan tepuk tangan dan sorakan kecil dari sudut ruangan—suara khas Nayla, tentu saja, yang tak pernah bisa menahan semangatnya.
Kami berpelukan di luar aula setelah wisuda, toga masih menggantung miring, dan kuncir rambutku sudah longgar karena terlalu banyak tertawa dan menangis.
“Gila! Kita lulus, Win! Kita beneran lulus!” seru Nayla sambil mengibaskan map ijazah ke udara.
Aku tertawa. “Iya. Kayaknya baru kemarin kita nyasar ke ruang filsafat gara-gara disuruh Zara.”
Nayla mendadak memelukku erat. “Aku bakal kangen kamu banget.”
Aku terdiam.
Hari ini bukan hanya hari kelulusan, tapi juga hari terakhir kami bersama sebelum Nayla terbang ke Korea Selatan, mengikuti keluarganya yang pindah karena bisnis ayahnya berkembang pesat di sana.
“Aku nggak siap ninggalin semuanya,” kata Nayla pelan. “Tapi Umi dan Abiku udah nentuin. Kami semua harus kumpul. Kakakku juga udah duluan kerja di Seoul. Jadi... ya, beginilah.”
Aku menggenggam tangannya. “Kamu bakal baik-baik aja. Kamu orang yang kuat. Lagian... kamu tahu bahasa Korea lebih banyak daripada aku ngerti istilah hukum.”
Nayla tertawa sambil menangis. “Kamu juga harus bahagia, ya, Win. Jangan terlalu lama nyimpen semuanya sendiri.”
Aku mengangguk, pelan.
“Setidaknya kita pernah saling tolong nyelametin hidup,” gumamku.
Dia mengusap air matanya sendiri. “Kalau kamu nanti punya anak, jangan kasih nama Zara ya.”
Aku tertawa keras, membuat beberapa alumni menoleh. “Demi Ale... nggak akan.”
Beberapa hari setelah Nayla pergi, rumahku kembali ramai.
Umi masak besar untuk menyambutku pulang. Abiku menyiapkan playlist nasyid kesukaannya dan menyetel lagu keras-keras seolah rumah ini butuh soundtrack kemenangan. Kakakku masih sibuk main ponsel, dan adik bungsuku, Hilya, tidur di pangkuanku sambil memeluk map ijazahku.
> Aku kembali ke tempat segalanya dimulai. Tapi aku tahu, diriku bukan lagi Wina yang dulu.
Aku telah mencintai seseorang yang hanya bisa kulihat sendiri.
Aku telah kehilangan... dan memilih untuk hidup.
Dan sekarang, aku berdiri di antara dua dunia:
kenangan yang masih menghuni dada, dan masa depan yang belum membuka jendela.
Aku tahu, ini bukan akhir.
Mungkin bukan juga awal.
Tapi satu hal pasti...
> Di mana pun aku berjalan, ada jejak seseorang yang dulu menuntunku dalam diam.
Dan aku akan meneruskan langkah itu…
dengan caraku sendiri.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup