Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak usah mengenang - 19
...Sudahlah, lupakan. ...
...Walau aku tau kenangan bersamanya tak akan pernah bisa kamu musnahkan. ...
...Lagipula, mengenang hanya akan membuatmu terluka, 'kan? ...
***
Karena besok ada simulasi ujian, Angkasa mengusulkan agar mereka belajar bersama untuk persiapan.
Mereka sibuk dengan laptop masing-masing. Matanya menjelajah setiap deret angka yang tertera, juga rumus yang harus mereka hafal di luar kepala.
Rai hanya membaca lima kali saja, karena ia sudah berteman dekat dengan rumus Akuntansi, juga soal yang menjadi bahan latihannya. Makanya sekarang ia bisa rebahan dengan tenang di teras rumah Rey sebagai tempat belajar mereka.
"Lo udah hafal, Rai?" Tanya Angkasa yang merasa iri dengan posisi Rai sekarang.
"Udah."
Rey langsung menatap Rai yang sedang asyik memutar pulpen ditangannya "Belajar itu yang bener, jangan setengah-setengah." Ucapnya yang disetujui Angkasa.
"Orang aku emang udah hafal. Di sekolahku yang dulu 'kan sering di tes rumus setiap minggu, terus latihan soal juga sampe mabok angka. Ya jadi hasilnya gini, aku emang udah hafal semua."
"Sombong." Ucap Rey pelan.
Berbeda dengan Angkasa yang sangat antusias untuk diajarkan. Siapa tau otaknya langsung encer juga seperti Rai. "Ajarin dong, Rai!"
Rai mulai duduk dengan tegak, dan membenarkan rambutnya yang berantakan. "Boleh."
Angkasa tersenyum puas dan mendekat ke arah Rai.
"Yang kamu gak ngerti bagian mana?"
"Jurnal penyesuaian. Gue gak terlalu paham sama itu, rumusnya aja susah buat di hafal."
Rai mulai mengeluarkan catatannya, dan menunjukkan itu kepada Angkasa. Perlahan tapi pasti, Rai menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami. Walau sesekali Angkasa terus mempertanyakan hal yang sudah ia tanyakan sebelumnya, untuk sekedar memastikan jika dirinya tidak salah mengartikan.
Selagi mereka fokus berdua, Rey memperhatikan mereka-ah bukan, lebih tepatnya hanya Rai saja.
Ia memperhatikan bagaimana gadis berkacamata itu berbicara, dan mengangguk-anggukan kepala. Terlihat lucu dimatanya.
Apalagi poninya yang selalu tertata dengan sempurna itu bergoyang karena anggukan yang ia ciptakan.
Hingga tanpa sadar, Rey tersenyum kepada Rai. Walau senyuman itu tidak mendapat balasan karena Rai tidak melihatnya, Rey tetap mengembangkan senyumnya cukup lama.
"Udah ngerti?" Tanya Rai setelah selesai menjelaskan.
"Gue bakal coba pahami. Thanks udah mau ngajarin."
"Iya, sama-sama."
Rai melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Dan setelah tau jika ini sudah siang, Rai mulai pamit untuk pulang. Ada hal yang harus ia kerjakan, yaitu membereskan kamarnya yang mulai berantakan.
"Aku pulang sekarang, ya!" Ucap Rai sembari membereskan barangnya.
"Oke! Sampai ketemu lagi di sekolah." Balas Angkasa di tempatnya.
Sedangkan Rey hanya mengangguk ringan, karena ia sedang salah tingkah karena sudah tertangkap basah ketika memperhatikan Rai oleh Angkasa barusan.
Ketika Rai sudah benar-benar keluar, Angkasa menatap Rey cukup dalam.
Rey sendiri merasa tidak nyaman. Makanya ia berusaha mengalihkan pandangan.
"Lo suka sama Rai?"
Sialnya pertanyaan itu membuat Rey tak bisa lari dari tatapan yang masih menatapnya dalam.
Karena tak kunjung menerima jawaban, Angkasa menghela napas panjang. Ia jadi ingat ucapan Rey ketika bercerita tentang diri Rey yang tidak pantas menerima cinta dari seseorang, dengan alasan umurnya tak akan panjang.
"Lo masih hidup. Dan masih berhak untuk menerima cinta dari seseorang, atau memberikan cinta kepada seseorang. Gak usah kaku, anggap hidup lo ini masih panjang, biar lo bisa menikmati hidup dengan maksimal." Ucap Angkasa yang membuat Rey menundukkan kepala.
Rey sebenarnya memikirkan perasaan Rai. Bagaimana jika mereka nanti dekat, Rey tiba-tiba dipanggil Tuhan? Rey hanya tidak ingin Rai merasa kehilangan, yang membuat hatinya berantakan.
"Gue pengen pulang dengan tenang. Dengan kata lain, gue gak mau ada orang yang merasa kehilangan atas perginya gue nanti."
Angkasa mengerti, sangat mengerti. Tapi tidak seperti ini caranya. Yang Rey lakukan sekarang hanya menyakiti dirinya sendiri, karena membatasi diri.
"Rey, hidup itu cuman sekali. Masa iya mau lo pake cuman buat membatasi diri?"
Angkasa menepuk pundak Rey berulang kali. "Lakuin apapun yang lo mau dengan raga ini, sebelum akhirnya raga ini benar-benar mati."
Semoga kalimat yang Angkasa berikan bisa membuka pemikiran Rey lebih lebar. Jika penyakitnya bukanlah suatu penghalang agar ia bisa hidup sesuai dengan yang Rey inginkan.
***
Ada pepatah mengatakan, rumahku adalah surgaku. Tapi tidak menurut Angkasa. Ia tak memiliki rumah untuk ia singgahi dan menenangkan diri. Mungkin kalau ada, pusara Ibulah tempatnya.
Angkasa tau jika raga Ibunya sudah tidak bisa menemaninya lagi disini. Tapi di dalam hatinya, sang Ibu selalu ada dan akan hidup selamanya.
Sekarang Angkasa sedang mengunjungi Ibunya untuk sekedar bercerita dan mengirimkan do'a. Itulah hal yang selalu ia lakukan setiap minggu.
Nisan yang sudah usang itu ia usap dengan penuh kelembutan, sebagaimana Ibunya dulu mengusap kepalanya. Ia berharap Ibunya bisa merasa tenang setelah diusap olehnya.
"Nanti kalau Ibu udah gak ada, kamu jangan membenci ayahmu, ya? Apalagi sampai membenci keluarga barumu. Karena mau gimanapun juga, mereka yang bakal nemenin kamu setiap harinya."
Kalimat Ibu menggema di pikirannya, membuat Angkasa menggelengkan kepala, pertanda jika ia tak mampu untuk melakukannya.
Ia tak bisa untuk tidak membenci mereka.
Hati Angkasa seperti dicabik-cabik ketika melihat Ibunya menangis sendirian kala itu.
"Bu. Ibu udah baikkan, 'kan?" Tanyanya lirih.
Angkasa menghembuskan napasnya dalam, menahan tangis yang sebentar lagi akan keluar. Tapi itu tidak boleh terjadi, karena hal itu hanya akan menyakiti Ibunya nanti.
"Bu, rumah kita gak seindah dulu lagi. Ada orang asing yang tinggal di dalamnya, yang gak pernah Angkasa suka."
Angkasa menengadah, berusaha agar air matanya tidak jatuh ke bawah.
Angkasa sebenarnya benci mengenang, apalagi sampai membuat air matanya keluar seperti sekarang.
Sembari mengusap air matanya, Angkasa terkekeh pelan. "Maaf, Bu. Angkasa malah nangis."
Angkasa mulai mendudukkan dirinya dengan nyaman di samping pusara. Dan sekarang, sesi cerita akan ia lakukan sampai dirinya merasa bosan.
Dari dulu, ia memang suka bercerita dengan sang Ibu. Perihal apapun itu, hal tidak penting sekalipun.
Dan tradisi itu tak pernah ia tinggalkan walau sang Ibu sudah tidak ada di sampingnya. Ia percaya jika Ibunya pasti mendengarnya.
***
^^^24-Mei-2025^^^