“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Diantara rahasia dan bayangan malam
Senja turun perlahan di atas langit Samudra Jaya, membalut istana dengan cahaya jingga yang temaram. Dari kejauhan, suara genderang pelatihan prajurit mulai mereda, digantikan lantunan seruling lembut dari taman belakang tempat para dayang menyiapkan dupa untuk upacara malam. Namun di salah satu sudut istana, Panglima Aruna masih berdiri tegak di pelataran barak, memandangi pedang yang tertancap di tanah di hadapannya.
Embun senja mulai menetes di ujung rambutnya, tapi pikirannya tak jua tenang. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Putri Dyah kembali hadir di benaknya—senyum lembutnya, suara halusnya, dan tatapan yang selalu memberinya semangat di setiap peperangan. Ia mencoba menepis semua bayangan itu, tapi yang muncul justru suara hatinya sendiri.
“Cinta ini harus berhenti di sini, Aruna… demi kehormatanmu, dan demi keselamatannya.”
Namun kata-kata itu hanya menjadi angin yang lalu. Ia tahu, tidak mudah melawan perasaan yang tumbuh begitu dalam.
“Panglima…”
Suara lembut seorang prajurit memecah keheningan. Aruna menoleh, melihat Raden Raksa berjalan menghampiri dengan langkah tenang namun tajam. Di balik senyum tipisnya, ada sesuatu yang sulit ditebak.
“Gusti Raden,” Aruna memberi hormat cepat. “Ampun, hamba tidak menyadari kedatangan Paduka.”
Raksa menatap sekeliling, memastikan tak ada prajurit lain di dekat mereka. “Sudahlah, tidak perlu terlalu resmi. Aku datang bukan sebagai bangsawan, tapi sebagai seseorang yang ingin bicara.” Aruna mengangguk, sedikit tegang. Ia jarang sekali berbicara empat mata dengan Raden Raksa tanpa urusan resmi.
Raksa berdiri di hadapannya, lalu berkata datar, “Aku dengar, Putri Dyah akhir-akhir ini sering murung. Katanya, ia jarang keluar dari paviliunnya.”
Aruna menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan reaksi wajahnya. “Hamba tidak tahu pasti, Gusti. Tapi hamba perhatikan beliau memang lebih banyak berdiam diri.”
Raksa tersenyum samar, namun matanya menelisik. “Kau dekat dengan Putri Dyah, bukan? Ia sering mempercayakan urusan keselamatannya padamu.”
Aruna menarik napas pelan. “Itu sudah menjadi tugas hamba, Gusti.”
“Ya,” Raksa menatap tajam, “tugas.” Ia menekankan kata itu, lalu menambahkan dengan nada lebih rendah, “Hanya saja… kadang manusia lupa membedakan antara tugas dan perasaan.” Aruna terdiam. Udara di antara mereka mendadak terasa dingin dan berat.
“Paduka…”
“Tenang saja,” Raksa memotongnya. “Aku tidak menuduh. Aku hanya ingin mengingatkan—di istana ini, setiap langkah memiliki mata yang mengawasi. Setiap desahan bisa menjadi gosip yang menumbangkan kepala.” Ia menepuk bahu Aruna perlahan. “Jagalah jarakmu, Panglima. Dunia istana bukan tempat bagi hati yang jujur.”
Aruna menunduk dalam. “Hamba mengerti, Gusti.”
Raksa memandangi langit sejenak sebelum berbalik pergi. “Aku berharap kau memang mengerti,” katanya tanpa menoleh lagi. Langkahnya berbalik meninggalkan Aruna yang masih terpaku ditempatnya lalu tersenyum miring.
Malamnya, di paviliun timur, Putri Dyah duduk di dekat jendela. Lampu minyak berkelap-kelip, cahayanya menari di permukaan lantai kayu. Laras baru saja meletakkan nampan berisi air bunga dan bubuk dupa di meja kecil, namun pandangannya tak lepas dari wajah tuannya yang tampak murung.
“Gusti, sudah malam. Tidurlah, agar tidak jatuh sakit,” ujar Laras pelan.
Dyah menggeleng, pandangannya menerawang ke arah taman yang hanya diterangi cahaya bulan. “Tidurku tak akan membawa tenang, Laras. Setiap kali aku memejamkan mata, wajahnya selalu datang. Dan aku tak tahu apakah itu berkah atau kutukan.”
Laras mendekat, duduk di lantai di samping kursi tuannya. “Gusti, tadi hamba mendengar kabar—Raden Raksa berbicara dengan Panglima Aruna di pelataran barak.”
Dyah menoleh cepat, wajahnya menegang. “Tentang apa?”
“Hamba tidak tahu pasti, tapi dari bisikan prajurit, katanya Raden Raksa memperingatkan Panglima tentang sesuatu. Mungkin tentang Gusti.”
Putri Dyah terdiam lama. Tangannya menggenggam selendangnya kuat-kuat hingga buku jarinya memutih. “Berarti desas-desus itu sudah sampai ke telinganya.”
Laras menunduk. “Ampun, Gusti… hamba tidak bermaksud membuat Gusti khawatir.”
Dyah menghela napas panjang. “Tidak, Laras. Aku justru berterima kasih. Setidaknya aku tahu badai itu sudah datang.” Ia berdiri perlahan, menatap bayangan dirinya di jendela. “Jika aku memang harus menjadi korban takdir, biarlah begitu. Tapi aku tidak akan membiarkan Aruna terhukum karena hatiku.”
Laras menatap tuannya dengan cemas. “Apa maksud Gusti?”
Dyah menoleh, senyumnya getir namun matanya bulat dengan tekad. “Aku akan menemuinya… untuk terakhir kalinya.”
“Apakah Gusti yakin?”
“Iya laras, aku tidak ingin dia menderita karena aku. Biarlah rasa ini menyakitkan asalkan dia baik-baik saja,” air mata putri Dyah mengembun, Laras tak sampai hati melihatnya.
Di taman belakang, angin malam berembus membawa aroma melati. Aruna berdiri di bawah pohon kenanga, menatap bulan yang menggantung di langit. Ia mendengar langkah lembut di belakangnya, lalu suara yang sangat ia kenal.
“Panglima…”
Ia berbalik, dan di sana Putri Dyah berdiri dalam balutan kain sutra putih, wajahnya diterangi cahaya bulan. Ia tampak begitu rapuh, namun sekaligus memancarkan keteguhan yang sulit dijelaskan.
“Gusti… mengapa keluar malam-malam begini? Jika ada yang melihat—”
“Biar saja,” potong Dyah lembut. “Aku hanya ingin bicara. Sekali ini saja.”
Aruna menunduk, tak berani menatap langsung. “Jika tentang perasaan itu, sebaiknya Gusti lupakan. Hamba tidak pantas…”
“Tapi apakah hati bisa diperintah?” Dyah menatapnya dengan mata basah. “Kau pernah mengajariku arti keberanian di medan perang, Aruna. Tapi mengapa sekarang kau justru takut menghadapi hatimu sendiri?”
Aruna memejamkan mata. “Karena cinta seorang panglima pada putrinya adalah dosa bagi negeri ini.”
“Lalu apa salahnya jika cinta itu tulus?” suara Dyah bergetar. “Aku tidak meminta istana, tidak meminta tahta. Aku hanya ingin kau tahu… bahwa di balik setiap doa yang kupanjatkan, namamulah yang kusebut.” Aruna menatapnya dalam keheningan panjang. Di antara mereka, hanya suara jangkrik dan desir angin. Akhirnya ia berkata pelan, “Kalau begitu, izinkan aku menjadi penjagamu—bukan sebagai kekasih, tapi sebagai perisai. Jika suatu hari dunia berbalik melawanmu, biarlah aku yang menanggungnya.” Dyah menatapnya lama, lalu meneteskan air mata yang jatuh di punggung tangannya. “Kau selalu begitu, Aruna… selalu memilih melindungi, bahkan dari dirimu sendiri.” Malam itu, di bawah sinar bulan, dua hati yang terikat tak berani bersatu hanya bisa berdiri dalam diam.
Dan di balik kegelapan, seseorang mengintai dari kejauhan—Ken Suryawati, dengan senyum dingin di wajahnya.
“Cinta terlarang ini akan kubakar sebelum sempat berakar,” bisiknya pelan. “Demi takhta, demi anakku, dan demi darah yang seharusnya memerintah.” Lalu pergi meninggalkan taman dengan raut wajah penuh kemenangan.
Angin berembus kencang, meniup dedaunan melati hingga berjatuhan di antara langkah kaki Putri Dyah dan Aruna—seakan langit sendiri menangis atas cinta yang tak mungkin disatukan. Mereka bertatap mata dalam waktu yang cukup lama, hingga tak terasa air mata Putri Dyah menetes meratapi cintanya yang begitu menyesakkan.
“Jika...aku terlahir kembali, aku tak ingin menjadi darah bangsawan. Biarlah aku terlahir sebagai rakyat jelata asalkan cinta ini bisa kutemui tanpa rasa takut,” suara Putri Dyah bergetar, hampir tertelan oleh hembusan angin yang dingin. Matanya menatap jauh ke depan, seolah ingin menembus batas-batas takdir yang telah digariskan untuknya sejak lahir. “Aku lelah menjadi bayangan gelar dan garis keturunan, Aruna. Semua yang tampak indah di luar... ternyata hanyalah belenggu yang mengikat dari dalam.”
Ia terdiam sejenak, menunduk, lalu tersenyum getir. “Mereka menyebutku putri kerajaan, simbol kehormatan Samudra Jaya... tapi mengapa rasanya seperti hidup dalam kurungan emas? Aku tak boleh memilih, tak boleh mencinta, bahkan tak boleh menangis tanpa alasan yang dianggap pantas.” Satu tetes air mata jatuh di punggung tangannya, bening dan berat. Aruna yang berdiri di hadapannya hanya mampu memandang, dada bergetar oleh perasaan yang tak bisa diucapkan.
“Gusti...” suaranya pelan, nyaris berbisik. Tapi Putri Dyah belum berhenti bicara.
“Setiap kali ayahanda menyebut nama calon pendamping yang akan dijodohkan denganku, hatiku seperti retak sedikit demi sedikit,” lanjutnya dengan lirih. “Aku mencoba menerima, mencoba memahami bahwa ini semua demi kerajaan... tapi mengapa rasanya seperti mengkhianati diriku sendiri?”
Tangannya gemetar saat menahan isak. “Aku tidak ingin menjadi beban bagi siapa pun. Tapi bagaimana bisa aku mencintai seseorang yang bahkan belum kukenal, sementara hatiku... sudah tertambat pada seseorang yang berdiri di hadapanku saat ini?” Kata-kata itu membuat dada Aruna terasa sesak. Ia ingin membalas, ingin menenangkan, tapi lidahnya kelu. Ia tahu setiap kalimat yang keluar bisa menjadi dosa di mata istana, bisa menghancurkan segalanya. Namun, melihat Putri Dyah menunduk sambil menggenggam kain gaunnya erat-erat, perasaannya runtuh. Langkahnya pelan mendekat. Ia berhenti tepat di hadapan sang putri, menatap wajah yang kini basah oleh air mata. Dengan tangan bergetar, Aruna mengangkat perlahan ujung jarinya, menyeka lembut air mata yang jatuh di pipi halus itu.
“Jangan menangis, Gusti,” katanya dengan suara dalam dan penuh perasaan. “Setiap kali Gusti menangis, hati saya serasa ikut hancur. Saya tidak berdaya melihatnya seperti ini.” Putri Dyah menatapnya, matanya memerah namun tetap memancarkan kehangatan yang menyakitkan. “Bagaimana aku tidak menangis, Aruna? Dunia menuntutku untuk bahagia di atas penderitaanku sendiri. Dan engkau... engkau hanya bisa berdiri di sisi lain tembok yang tak bisa kutembus.”
Aruna menunduk, menahan napas. “Tembok itu pun menyakitiku, Gusti. Tapi jika saya berusaha merobohkannya, seluruh istana akan runtuh bersama kita. Dan saya tidak sanggup melihat Gusti menjadi korban dari cinta yang dilarang.” Angin kembali berembus kencang, membuat bunga melati berjatuhan di antara mereka. Beberapa helai menempel di rambut Putri Dyah, seolah turut menangisi nasib dua jiwa yang terikat tanpa restu.
“Kalau saja takdir memberi jalan lain...” bisik Putri Dyah. “Aku akan memilih berjalan di sampingmu, bukan di belakang bayanganmu.” Aruna menatap dalam, menahan gelora yang ingin meledak. Ia ingin memeluk, menenangkan, tapi tanggung jawab sebagai panglima menahan langkahnya. Ia hanya bisa menggenggam udara di antara mereka, berharap sentuhannya sampai ke hati sang putri.
“Gusti,” ujarnya akhirnya, suaranya serak. “Cinta yang Gusti miliki bukanlah kesalahan. Tapi biarlah cinta itu tetap suci, tak ternoda oleh dunia yang kejam ini. Jika harus memikul rasa sakit, biarlah saya yang menanggungnya.”
Putri Dyah memejamkan mata, air matanya kembali jatuh. “Kau selalu bicara begitu, Aruna... seolah hatimu bukan milikmu sendiri.”
“Sebab sejak pertama kali saya bersumpah untuk menjaga kerajaan,” jawab Aruna lirih, “saya tahu bahwa menjaga Gusti juga berarti menjaga jarak dari yang tak seharusnya saya genggam.”
Hati putri Dyah bergetar mendengar kata-kata Aruna lalu berbalik tapi baru dua langkah, dia berhenti lalu tiba-tiba berlari memeluk Aruna.
“Tidak....aku tidak bisa, ini menyesakkan.... Aruna....aku tidak bisa... Aku tidak mau, jujur aku tidak ingin perjodohan ini, aku tidak mau.....” Putri Dyah menangis sesegukan di pelukan Aruna, sementara Aruna tangannya pelan-pelan terangkat lalu memeluknya mendekapnya seakan-akan itu adalah pelukan terakhir mereka. Putri Dyah semakin mengeratkan pelukannya pada laki-laki itu. Perlahan-lahan pelukan itu terlepas lalu mereka saling tatapan hingga ciuman itu tanpa sadar terjadi cukup lama dan intens. Hingga akhirnya ciuman itu terlepas, Putri Dyah menunduk dengan nafas tersengal begitu juga dengan Aruna lalu mengangkat dagu sang Putri perlahan.
“Malam ini aku hanya ingin merasakan cinta ini sebagai manusia biasa bukan sebagai pengawal,” Putri dyah membelai lembut pipi dan rahang tegas Aruna, menatap intens manik mata laki-laki itu tegas dan tajam namun menenangkan.
“Dan biarkan juga aku merasakan cinta ini hanya untuk satu malam saja sebagai manusia biasa bukan sebagai seorang bangsawan,” mereka berpelukan sekali lagi sebelumnya akhirnya Putri Dyah berbalik ke keputren meninggalkan Panglila Aruna yang masih menatap punggung sang putri hingga menghilang di balik pagar lapangan. Aruna menatap langit yang mendung tanpa cahaya bintang dan bulan seakan semesta ikut merasakan kegundahan hatinya.
“Semua ini sudah berakhir Aruna, sadarlah... Kalian memang tidak ditakdirkan bersama....” rintik hujan mulai turun, dia menengadahkan tangannya menatap langit
“Apakah ini ungkapan sang dewata, tidak..... Jika di kehidupan ini aku tidak bisa bersamanya biarkan....biarkan dikehidupan selanjutnya kami tetap bersama,” perlahan dia meninggalkan lapangan latihan lalu pergi ke biliknya.
***
Geremis kecil membasahi tanah Samudra Jaya saat Raden Raksa menemui kedua tawanan asing yang mengakui dari kerajaan Mandalapura. Sang pangeran memandangi kedua tawanan itu sejenak lalu menanyakan maksud dan tujuan mereka berdua.
“Jadi...kalian kesini untuk memberikan surat balasan atas surat dari Prabu Harjaya minggu lalu?”
“Betul Gusti, kami dari Mandalapura,” jawab salah satu dari tawanan itu.
“Dan kalian pasti utusan yang membawa surat balasan dari Raja Suryabrata bukan?” tanya Raden Raksa datar tapi tatapan matanya cukup untuk membuat kedua utusan itu menelan ludah kasar, mereka saling pandang sebelum akhirnya mengangguk.
“Betul Gusti,”
“Kalau begitu berikan padaku,” kedua utusan itu lagi-lagi saling pandang lalu menatap Raden Raksa dengan ragu sebelum akhirnya menjawab.
“Beribu-ribu ampun Gusti Raden, kami diutus untuk menyampaikan langsung surat ini pada Prabu Harjaya tanpa perantara,” ucapan kedua utusan itu membuat Raden Raksa meradang, dia menahan emosi mengepalkan tangannya rahangnya mengeras tapi sedetik kemudian dia menetralkan emosinya.
“Oh.....jadi kalian tidak mau memberikan surat itu padaku, hhhmmm...baiklah....Jaya Rudra, lepaskan ikatan tangan mereka,” kata Raden Raksa membuat kedua anak buahnya dibelakang saling pandang karena pangeran mereka bersikap baik.
“Apakah Gusti yakin?” Tanya Sangkara.
“Kenapa tidak yakin lepaskan saja, Samudra Jaya selalu menghormati tamu dari kerajaan sahabat. Kalian akan kuperbolehkan beristirahat di ruang penjagaan dalam istana.” Raden Raksa hanya mengangkat tangannya santai, memberi tanda agar perintahnya segera dijalankan. Kedua utusan Mandalapura tampak lega—tanpa menyadari bahwa mereka sedang berjalan masuk ke dalam perangkap halus. Begitu mereka dibawa pergi oleh Sangkara dan Jaya Rudra, Raden Raksa berdiri sendirian di halaman barak. Hujan menetes di wajahnya, tapi senyumnya semakin lebar, getir namun penuh rencana.
“Surat itu... pasti tentang perjodohan Putri Dyah,” bisiknya pelan. “Dan kalau benar begitu, berarti ayahanda sedang berunding di balik bayanganku.” Ia menatap ke arah istana yang samar di balik tirai hujan. Matanya berkilat.
“Baiklah, Prabu Suryabrata,” ujarnya lirih, “kau pikir bisa menjerat Samudra Jaya dengan ikatan pernikahan? Aku akan pastikan surat itu sampai ke tangan ayahanda — setelah aku tahu seluruh isinya.” Senyum licik mengembang di bibirnya. Ia tahu persis langkah apa yang harus dilakukan. Ia akan memerintahkan Sangkara untuk mengorek keterangan dari kedua utusan itu malam ini juga—tanpa menyentuh tubuh mereka, cukup dengan tipu daya dan racikan ramuan penenang yang membuat lidah mereka ringan berbicara. Lalu, dengan mengetahui isi surat itu lebih dulu, Raden Raksa akan memanfaatkannya. Jika surat itu benar berisi usulan perjodohan Putri Dyah dengan putra mahkota Mandalapura, maka ia akan menggunakannya sebagai senjata politik—mungkin untuk menekan sang ayah, atau untuk memancing reaksi dari pihak lain di istana, termasuk Mahapatih Nirmala Wisesa. Raksa menyipitkan mata, suaranya lirih namun berbahaya.
“Kalau semua berjalan sesuai rencana,” katanya sambil berbalik, “aku akan tahu siapa kawan dan siapa lawan... sebelum mereka sempat menyadarinya.”
Ia melangkah meninggalkan halaman, jubahnya bergoyang tertiup angin malam. Di belakangnya, hujan masih turun deras, seolah langit sendiri tahu bahwa malam itu bukan hanya air yang mengalir di tanah Samudra Jaya—melainkan juga benih tipu daya dari seorang pangeran bernama Raden Raksa.
Kabar mengenai ada dua utusan dari Mandalapura datang sudah sampai ditelinga Raden Arya, dia pun pergi menemui kedua utusan tersebut, putra sulung Prabu Harjaya yang dikenal tenang dan bijak. Tanpa banyak menunda, ia segera melangkah menuju paviliun tempat kedua utusan itu ditempatkan sementara. Langkahnya tenang, tapi dalam dadanya tersimpan tanda tanya besar — surat apakah yang begitu dirahasiakan hingga adiknya, Raden Raksa, tidak diperkenankan membacanya. Begitu tiba, Raden Arya disambut dengan penuh hormat oleh dua utusan Mandalapura. Keduanya membungkuk rendah, memperlihatkan sopan santun khas negeri sahabat.
“Selamat datang di Samudra Jaya,” ujar Raden Arya dengan suara tenang, “aku mendengar kalian datang membawa surat balasan dari Sri Prabu Suryabrata.”
“Benar, Gusti,” jawab salah satu utusan itu. “Kami diutus langsung oleh Sri Prabu Mandalapura untuk menyampaikan balasan atas surat yang dikirimkan oleh Gusti Prabu Harjaya beberapa pekan lalu.”
Raden Arya mengangguk perlahan. “Bolehkah aku tahu isi surat itu? Aku putra pertama Prabu Harjaya. Jika hal ini penting bagi kerajaan, sebaiknya aku yang menerima kabar itu sebelum ayahanda membacanya.” Kedua utusan itu saling berpandangan, tampak ragu sejenak. Namun akhirnya yang lebih tua dari keduanya berkata dengan nada hati-hati, “Baik, Gusti. Karena Gusti adalah darah langsung dari Prabu Harjaya, kami rasa tidak mengapa kami menyampaikan isi pokok surat ini kepada Gusti terlebih dahulu.” Raden Arya memberi isyarat agar mereka berbicara. Utusan itu kemudian mengeluarkan gulungan surat dari dalam wadah peraknya, membukanya perlahan, lalu membaca sebagian isinya dengan suara rendah namun jelas.
“Surat ini berisi jawaban hormat dari Sri Prabu Suryabrata yang menyambut baik maksud Prabu Harjaya mengenai ikatan perjodohan antara Putri Dyah Anindya dan Putra Mahkota Mandalapura. Sri Prabu Suryabrata berkenan untuk menjalin hubungan kekeluargaan antara dua negeri besar demi memperkuat tali persahabatan dan menjaga keseimbangan di tanah timur.”
Raden Arya menghela napas pelan. Ada sorot lega di matanya — bagi Samudra Jaya, ini berarti langkah baik untuk memperkuat kedudukan kerajaan. Ia tersenyum tipis. “Sampaikan salam hormatku pada Sri Prabu Suryabrata atas balasan yang bijak ini. Dan terima kasih kalian telah datang jauh-jauh untuk menyampaikan berita penting ini.” Namun, tanpa mereka sadari, di balik tirai bambu yang membatasi paviliun itu, Sangkara — salah satu anak buah Raden Raksa yang dikenal licik dan pandai mencari muka — diam-diam tengah bersembunyi. Ia sejak tadi mengikuti langkah Raden Arya, mencuri dengar setiap patah kata yang keluar dari bibir kedua utusan itu. Saat mendengar isi surat yang sebenarnya, mata Sangkara menyipit. Ia tahu, ini akan menjadi kabar penting bagi tuannya, Raden Raksa.
Begitu Raden Arya keluar dari paviliun, Sangkara segera berlari kecil melalui lorong belakang menuju kediaman Raden Raksa. Ia melapor dengan napas tersengal namun penuh semangat.
“Gusti Raksa! Ampun Gusti, hamba membawa kabar penting!” Raden Raksa yang tengah duduk di pendapa menegakkan tubuhnya. Tatapannya tajam, dingin seperti baja. “Ada apa, Sangkara? Katakan cepat.”
“Dua utusan Mandalapura itu, Gusti... mereka sudah bertemu dengan Raden Arya. Dan... mereka mengatakan isi surat itu pada beliau.”
Raksa mengerutkan dahi, rahangnya menegang. “Apa katamu?”
Sangkara menelan ludah, suaranya menurun tapi tetap jelas. “Ya, Gusti. Mereka membacakan isi surat itu di hadapan Raden Arya. Surat itu tentang balasan perjodohan antara Gusti Putri Dyah Anindya dengan Putra Mahkota Mandalapura. Mereka tidak mau memberitahukan isi surat itu kepada Gusti tadi sore, tapi justru mereka dengan mudah membuka mulut di depan Raden Arya.” Sekejap wajah Raden Raksa berubah. Matanya merah padam oleh amarah yang ditahan. Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku jarinya memutih. “Berani sekali mereka mempermainkan aku. Ketika aku yang menanyai, mereka menolak dengan alasan titah raja mereka. Tapi kepada Arya, mereka bersuara manis seperti domba jinak. Licik!” Ia berdiri dengan langkah berat, suaranya rendah namun bergetar oleh amarah. “Sangkara, jangan sebut hal ini pada siapa pun. Aku ingin tahu sejauh mana mereka berani memainkan api. Bila surat itu sampai ke tangan Ayahanda sebelum aku bertindak, maka semua akan berakhir sebelum sempat aku mengatur langkah.”
Sangkara membungkuk dalam. “Daulat, Gusti.” Raden Raksa berjalan ke tepi pendapa, menatap ke arah halaman istana yang mulai diguyur gerimis. Hujan tipis jatuh di antara sinar malam yang meredup. Dalam hatinya, amarah bercampur dengan rasa sakit — bukan hanya karena dua utusan itu menolak dirinya, tapi karena ia tahu isi surat itu berarti Putri Dyah Anindya benar-benar akan dijodohkan dengan Putra Mahkota Mandalapura. Dengan suara rendah namun penuh kebencian ia berbisik,
“Jika itu yang terjadi... maka tak seorang pun akan berbahagia. Tidak Mandalapura... tidak juga Samudra Jaya.” Dan dari balik rintik hujan, senyum tipis penuh dendam mulai terbentuk di sudut bibirnya.