Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Hari itu sekolah kembali ramai oleh teriakan siswa. Di ruang kelas 11 IPA 2, papan tulis penuh coretan persamaan kimia dan catatan proyek. Semua kelompok terlihat sibuk menyiapkan presentasi.
“Alhamdulillah, selesai juga,” Arka menepuk meja dengan lega.
“Fix, kelompok kita bakal jadi yang terbaik,” sahut Dimas sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.
Aksa hanya menghela napas panjang, menutup laptop. “Jangan terlalu percaya diri dulu, Dim. Presentasinya aja belum.”
Di sudut ruangan, Cakra tetap duduk tenang. Matanya menatap file laporan yang baru saja final. Bukan karena ia bangga proyeknya selesai, tapi karena sesuatu yang lain.
Dalam hati ia bergumam lirih:
“Kalau proyek ini selesai… berarti alasan untuk sering ke rumah Bagaskara juga selesai.”
Seketika dadanya terasa sesak.
---
Malam itu, kelompok Arka dan Aksa berkumpul terakhir kali di rumah Bagaskara untuk menyiapkan bahan presentasi. Suasana terasa berbeda. Tidak ada lagi tekanan. Tidak ada lagi deadline yang menegangkan.
“Fix ya, besok tinggal presentasi. Malam ini kita rayakan!” Reno berseru, membawa sekotak pizza.
“Setuju!” Alfa menimpali sambil langsung membuka kotak itu.
Semua bersorak gembira. Celin yang baru pulang kuliah tersenyum melihat keributan mereka. Ia ikut menyiapkan minuman dingin di dapur, lalu membawanya ke ruang tamu.
“Selamat ya, kalian sudah kerja keras,” ucap Celin lembut.
Arka dengan bangga berkata, “Ya dong, Kak. Kalau nggak ada kak Celin yang bolak-balik nyemangatin, mungkin kita udah tumbang duluan.”
“Eh, jangan lupa, yang paling rajin itu siapa?” Dimas menunjuk Cakra.
Semua menoleh ke arah pemuda yang sejak tadi duduk tenang dengan sepotong pizza di tangannya.
Cakra hanya mengangkat bahu. “Aku cuma ngerjain bagian aku.”
Namun Celin menatapnya sekilas. Ada senyum lembut di bibirnya. “Tetap saja, terima kasih ya, Cakra. Kamu banyak bantu.”
Hati Cakra bergetar. Senyum itu terasa seperti penghargaan terbesar. Tapi sekaligus membuatnya sadar besok semuanya selesai. Dan ia tidak tahu lagi harus bagaimana.
--
Saat yang lain sibuk makan dan bercanda, Aksa duduk bersandar di sofa. Matanya diam-diam mengikuti interaksi Celin dan Cakra.
Ia memperhatikan bagaimana Cakra selalu siap menoleh ketika Celin bergerak, bagaimana ia sigap menuangkan minum ke gelas Celin tanpa diminta, bagaimana matanya sedikit melembut saat Celin tersenyum.
“Aku nggak salah. Dia memang beda kalau sama Kak Celin,” batin Aksa.
Ia mengernyit. Rasa tidak nyaman itu semakin jelas.
---
Keesokan harinya, kelompok mereka tampil di depan kelas. Presentasi berjalan lancar. Bahkan guru memuji kerja sama tim mereka.
“Nilai kalian bagus sekali. Saya senang melihat kekompakan ini,” kata guru Biologi sambil tersenyum puas.
Arka dan Aksa menepuk tangan teman-temannya. Semua bersorak lega.
Namun Cakra justru merasa kosong.
“Ini dia… akhirnya,” pikirnya.
Sepulang sekolah, teman-teman lain sibuk membicarakan rencana nongkrong, futsal, atau liburan kecil. Cakra berjalan pelan di lorong, menunduk.
“Kalau tugas sudah selesai… berarti aku nggak punya alasan lagi buat ke rumah Bagaskara.”
Langkahnya terasa berat.
---
Beberapa hari berikutnya, rumah Bagaskara tidak lagi seramai sebelumnya. Celin bisa fokus dengan kuliahnya. Arka dan Aksa kembali sibuk dengan kegiatan sekolah dan ekskul.
Hanya ada satu hal yang berbeda: keheningan bagi Cakra.
Ia duduk di meja belajarnya, menatap buku-buku yang terbuka. Tapi pikirannya melayang. Jemarinya mengetuk pelan meja, gelisah.
“Sejak kapan aku jadi kayak gini?” gumamnya pelan.
Setiap sore, ia mengayuh sepedanya melewati rumah Bagaskara, tanpa alasan jelas. Kadang ia hanya berhenti sebentar di ujung jalan, memastikan lampu rumah itu menyala, lalu pulang lagi.
Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang curiga. Kecuali Aksa.
--
Suatu sore, Aksa melihat dari balkon kamarnya. Lampu jalan sudah menyala. Ia menyipitkan mata.
“Aneh… itu kan Cakra?”
Ia melihat sosok bersepeda berhenti sebentar di ujung jalan, menoleh ke arah rumah mereka, lalu melanjutkan perjalanan.
Aksa menggertakkan gigi. “Dia lagi-lagi lewat sini.”
Rasa curiga di hatinya semakin kuat.
---
Hari Minggu, Celin duduk di taman belakang rumah dengan setumpuk buku. Ia sedang mempersiapkan makalah kuliah. Angin sore berhembus pelan, membuat beberapa kertas hampir terbang.
Tiba-tiba, tangan sigap menahan kertas itu.
“Pelan-pelan, nanti hilang.” Suara tenang yang familiar.
“Eh, Cakra?” Celin menoleh, sedikit kaget. “Kamu kok ada di sini?”
“Aku… tadi habis beli buku. Lewat sini, sekalian mampir.”
Jawaban itu terdengar wajar. Celin pun tersenyum. “Yaudah, temenin sebentar. Tapi jangan lama, ya. Aku lagi banyak tugas.”
Cakra duduk di kursi seberang. Ia tidak banyak bicara, hanya menatap diam-diam. Baginya, beberapa menit itu sudah cukup berharga.
Namun dari jendela lantai dua, Aksa memperhatikan lagi. “Kenapa tiap kali Kak Celin ada di taman, dia selalu muncul? Jangan-jangan…”
---
Malamnya, di kamarnya sendiri, Cakra memandangi langit-langit. Ia berbalik gelisah di ranjang.
“Kalau aku nggak punya alasan lagi untuk sering ke rumah itu, apa aku masih bisa ketemu Kak Celin?”
Ia menghela napas. Jantungnya berdegup kencang setiap kali memikirkan Celin. Tapi ia tahu, ia tidak bisa sembarangan. Ia tidak bisa terang-terangan.
Yang bisa ia lakukan hanyalah mencari cara-cara kecil.
Tapi semakin hari, semakin sulit.
---
Suatu malam, Aksa tidak bisa menahan diri. Ia menunggu Cakra pulang dari rumahnya, lalu menyusul hingga ke ujung jalan.
“Cakra!” panggilnya tegas.
Pemuda itu menoleh, kaget. “Aksa? Kenapa?”
Aksa menatap tajam. “Jujur sama gue. Lo ada apa sama Kak Celin?”
Cakra terdiam. Wajahnya tetap datar, tapi sorot matanya sedikit goyah. “Nggak ada.”
“Jangan bohong. Gue liat cara lo mandang dia. Gue liat lo sering lewat sini. Lo pikir gue nggak sadar?”
Cakra menggenggam erat stang sepedanya. “Aku… cuma respect sama dia. Itu aja.”
Aksa mendekat, suaranya lebih rendah. “Kalau lo macem-macem, gue nggak bakal diem, Cak.”
Ada jeda hening. Cakra hanya menatapnya sekilas, lalu mengayuh sepedanya pergi tanpa sepatah kata.
Aksa mengepalkan tangan. “Gue harus hati-hati. Jangan sampai Kak Celin terjebak.”
---
Di sisi lain, Celin tetap menjalani harinya seperti biasa. Ia sibuk dengan kuliah, laporan, dan membantu orang tuanya.
Sesekali ia memang melihat Cakra mampir sebentar, membantu hal kecil, atau sekadar menyapa. Tapi baginya, itu tidak lebih dari kebaikan seorang adik kelas.
Ia tidak pernah curiga, tidak pernah menyangka ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap dingin itu.
Bagi Celin, Cakra hanyalah sosok tenang yang menyenangkan diajak bicara. Tidak lebih.
---
Cakra semakin terjebak dalam perasaannya sendiri. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Celin.
Namun ia juga tahu, ia tidak boleh terburu-buru. Tidak boleh gegabah. Satu langkah salah, semuanya bisa hancur.
Maka ia memilih bertahan dalam diam.
Menjadi bayangan. Menjadi seseorang yang selalu ada, tanpa pernah terlihat jelas.
Sementara Aksa, semakin hari semakin yakin.
Dan Celin… masih sama sekali tidak sadar.
---
Malam itu, di jalan sepi, Cakra berbisik pada dirinya sendiri:
“Aku nggak tahu harus gimana lagi. Tapi aku nggak bisa berhenti.”
Langkahnya semakin berat. Tapi hatinya tetap bertahan. Karena dalam diamnya, ia sudah terikat.
Terikat pada Celia Bagaskara.
Bersambung…
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭