Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Hujan kembali turun malam itu, meski tidak sederas malam sebelumnya. Rintiknya seperti mengetuk-ngetuk atap pondok, menambah suasana muram yang sudah menempel sejak kejadian di aula. Udara lembap bercampur bau tanah basah, menyelinap ke dalam setiap kamar santri.
Di kamar kecil yang ditempati Wulan, suasana sunyi terasa mencekik. Lampu bohlam tua berayun pelan, cahayanya redup dan kuning, seakan ikut menyoroti wajahnya yang pucat. Ia duduk di atas kasurnya yang tipis, catatan-catatan berserakan di pangkuannya. Tangan kirinya gemetar, sedangkan tangan kanannya terus menulis meski air mata jatuh tanpa henti.
“Aku sudah bilang… aku nggak bisa berhenti,” gumamnya pelan. “Kalau aku berhenti, semua orang akan lupa aku. Kalau aku berhenti, Dilara akan tetap jadi yang paling benar. Sementara aku? Aku cuma bayangan. Padahal dia cuman santri baru.”
Ia memejamkan mata, meremas helai kerudung putih yang masih disimpannya. Kerudung itu kini basah oleh air mata. Ada rasa sakit yang menusuk dada, tapi juga semacam kekuatan gelap yang ia rasakan setiap kali memegang benda itu.
Di seberang kamar, dua santri lain yang sekamar dengannya——berpura-pura tidur. Mereka sudah tidak berani lagi menegur Wulan, apalagi bertanya kenapa ia terus bicara sendiri di malam-malam sunyi. Mereka hanya saling berbisik, menahan napas, berharap Wulan tidak menyadari bahwa mereka mendengar.
Sementara itu, di kamar berbeda, Dilara masih terjaga. Ranjang Salsa di sebelahnya sudah sunyi, napas teratur menandakan ia tertidur lelap, tapi Dilara masih menggenggam mushaf kecilnya. Ia membaca ayat-ayat pendek dengan lirih, berusaha menenangkan hatinya yang terus berdebar.
Kertas ancaman itu masih tersimpan di bawah bantal. Setiap kali teringat tulisan tangan Wulan, tubuhnya merinding. Ada rasa iba, tapi juga rasa takut. Wulan bukan lagi sekadar teman satu pondok—ia sudah berubah menjadi bayangan yang terus menghantuinya.
“Ya Allah…” bisiknya lirih. “Jangan biarkan aku benci Wulan. Jangan biarkan aku balas dengan dendam. Tunjukkan jalan yang benar, bukan cuma untukku… tapi juga untuknya.”
Namun, meski doa itu ia panjatkan dengan sungguh-sungguh, rasa was-was tetap tidak hilang. Matanya semakin berat, tapi hatinya masih berperang.
Pagi harinya, suasana pondok sedikit berbeda. Langit masih mendung, tapi halaman pondok dipenuhi aktivitas santri yang sedang menjemur pakaian, menyapu, atau sekadar bercengkerama. Namun, di balik keriuhan itu, masih ada ketegangan yang belum reda.
Ummi Latifah berjalan melewati koridor dengan wajah teduh. Jubah putihnya bergerak tertiup angin, langkahnya mantap, sorot matanya penuh kewibawaan. Para santri yang berpapasan segera menundukkan kepala penuh hormat.
Beliau tahu, badai di pondok ini belum selesai. Hatinya berat memikirkan Wulan. Gadis itu seperti terjebak di persimpangan: antara bertahan di dalam lingkaran gelapnya sendiri atau keluar menuju cahaya yang ia tolak.
Siang itu, setelah pelajaran kitab kuning usai, Ummi Latifah memanggil beberapa santri senior. Di antaranya Dilara, Salsa, Dewi, dan Rani. Mereka duduk melingkar di serambi rumah pengasuh, sementara angin membawa aroma wangi melati dari halaman.
“Nak, Ummi ingin dengar dari kalian,” ujar Ummi pelan. “Tentang Wulan. Kalian yang paling dekat, tentu paling tahu keadaannya.”
Dilara menunduk, suaranya lirih. “Ummi… Wulan seperti orang yang terus marah, tapi marahnya lebih banyak ke dirinya sendiri. Saya takut, dia bisa menyakiti dirinya, atau… orang lain.”
Salsa menambahkan, “Ummi, malam itu saya sama Dilara sempat lihat sendiri… Wulan simpan kerudung lama Dilara, juga catatan aneh-aneh. Seperti… obsesi. Kalau terus dibiarkan, saya takut sekali.”
Rani menghela napas. “Ummi, saya tahu saya juga banyak salah, tapi saya bisa lihat… Wulan nggak sekadar iri sama Dilara. Dia sakit, Ummi. Hatinya sakit.”
Ummi menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan tenang, “Setiap manusia membawa luka sendiri-sendiri. Ada yang memilih menyembuhkan, ada yang memilih membiarkan luka itu jadi alasan untuk melukai. Wulan masih mencari. Tapi ingat, tugas kita bukan menghakimi, melainkan mendampingi. Kalau pun dia jatuh, kita tidak boleh ikut menendang.”
Semua terdiam. Kata-kata itu menusuk, terutama bagi Dilara. Hatinya bergetar. Ia sadar, rasa takutnya kadang bercampur dengan rasa marah—marah karena Wulan terus menekan dirinya.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa di mata para santri lain, tapi tidak bagi orang-orang yang tahu kebenaran. Dilara semakin waspada, Salsa selalu mengawasinya, Rani berusaha keras menebus kesalahan masa lalu, dan Dewi mencoba menenangkan suasana dengan sabarnya.
Namun, Wulan semakin tenggelam. Ia sering absen dari halaqah, lebih banyak menyendiri, dan bila ikut pun tatapannya kosong. Setiap kali nama Dilara disebut, wajahnya mengeras, matanya memerah seperti menahan sesuatu.
Hingga suatu sore, kejadian mengejutkan kembali mengguncang pondok.
Saat itu para santri sedang berkumpul untuk shalat asar berjamaah. Setelah salam, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah belakang musholla. Semua menoleh—ternyata salah satu rak kitab terjatuh, dan mushaf-mushaf berhamburan di lantai.
Beberapa santri histeris. Ada yang berusaha cepat-cepat memungut mushaf dengan penuh hormat. Namun yang membuat suasana kian tegang: di salah satu mushaf, terdapat noda tinta merah—seolah disengaja.
“Na’udzubillah…” bisik salah seorang santri.
Tatapan banyak orang segera tertuju ke arah Wulan, yang duduk di barisan belakang. Ia hanya menatap kosong, wajahnya pucat. Tidak ada ekspresi marah, tidak ada ekspresi takut—hanya hampa.
“Wulan! Kamu lagi-lagi?!” seorang santri lain nyaris berteriak.
Namun sebelum suasana makin panas, Ummi Latifah yang juga ikut shalat segera menengahi. Wajah beliau tegas, suaranya lantang.
“Cukup! Jangan ada satu pun yang menuduh sebelum jelas. Barang siapa menuduh tanpa bukti, dia yang akan menanggung dosanya!”
Semua terdiam, meski bisik-bisik masih terdengar.
Dilara menatap Wulan dengan hati bergetar. Entah kenapa, kali ini ia tidak yakin Wulan yang melakukannya. Tatapan itu terlalu kosong, terlalu asing, seakan Wulan sendiri sudah tidak peduli pada apa pun.
Malamnya, pondok kembali diliputi kecemasan. Beberapa santri sengaja berkumpul lebih lama, membicarakan kejadian sore tadi. Nama Wulan berulang kali disebut, meski tidak ada bukti yang jelas.
Di kamarnya, Dilara dan Salsa tidak bisa tidur.
“Lar,” bisik Salsa, “kalau terus-terusan begini, pondok bisa kacau. Semua orang jadi nggak percaya satu sama lain.”
Dilara mengangguk. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak yakin semua ini ulah Wulan.”
“Kalau bukan dia, siapa lagi?”
Dilara terdiam. Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.
Sementara itu, di kamarnya sendiri, Wulan menangis terisak. Catatannya penuh coretan, kerudung putih itu masih di genggamannya.
“Aku nggak salahin siapa-siapa… tapi kenapa semua nunjuk aku? Kenapa semua selalu salahin aku?” suaranya parau.
Ia menunduk, tubuhnya gemetar. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sendirian. Bahkan bayangan yang ia peluk pun tidak memberi ketenangan lagi.
Keesokan harinya, Ummi Latifah mengumumkan bahwa beliau akan mengadakan halaqah khusus hanya untuk santri senior. Topiknya sederhana, tapi berat: tentang hati yang terluka, tentang bagaimana setan mempermainkan manusia lewat iri, dengki, dan dendam.
“Anak-anakku,” suara Ummi menggema di aula. “Hati yang sakit tidak bisa disembuhkan dengan membenci orang lain. Hati yang sakit hanya bisa sembuh dengan kembali kepada Allah. Kalau kita menolak, maka setan akan menjadikan luka itu senjata untuk menghancurkan kita, dan orang di sekitar kita.”
Banyak santri menunduk, merenungi kata-kata itu.
Wulan duduk di pojok aula, tubuhnya kaku. Kata-kata Ummi seperti pisau yang menusuk jiwanya. Ia ingin berlari, ingin menutup telinga, tapi tidak bisa. Air matanya menetes diam-diam.
Dilara, yang duduk tidak jauh darinya, melirik sekilas. Ada rasa iba. Ia tahu, Wulan sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Namun dalam hati kecilnya, Dilara juga sadar—badai ini belum berakhir. Justru baru saja dimulai.
Malam itu, angin berhembus kencang. Daun-daun berguguran, suara gesekan ranting terdengar nyaring. Sebagian santri sulit tidur.
Dilara kembali terbangun oleh rasa was-was. Ia menoleh ke arah Salsa yang sudah lelap, lalu bangkit perlahan. Ia ingin mengambil wudhu, berharap bisa tenang dengan shalat tahajud.
Namun saat melewati koridor gelap, ia berhenti mendadak. Dari arah gudang tua, terdengar suara isakan lirih.
Dilara menahan napas. Hatinya sudah tahu suara siapa itu.
Wulan.
Tangis itu terdengar begitu dalam, begitu menyayat. Bukan tangis marah, tapi tangis seseorang yang benar-benar hancur.
Dilara berdiri terpaku, tidak tahu harus maju atau mundur.
Di satu sisi, ia takut. Di sisi lain, hatinya tergerak.
“Ya Allah…” bisiknya pelan. “Apa ini saatnya aku harus mendekat?”
Langkahnya ragu, tapi akhirnya ia maju selangkah demi selangkah menuju gudang.
Dan di sanalah, ia melihat Wulan—duduk sendiri di lantai dingin, memeluk lutut, menangis tanpa suara.
Bayangan lampu minyak menari di wajahnya yang basah. Di sekitarnya, catatan-catatan berserakan.
Dilara menggenggam erat mushaf kecil yang ia bawa. Hatinya bergetar, tapi bibirnya mulai terbuka.
“Wulan…” suaranya lirih.
Wulan tersentak, menoleh dengan mata merah bengkak.
Tatapan mereka bertemu. Sunyi menyelimuti ruangan, hanya suara hujan yang kembali turun menemani.
Apakah Dilara akan berhasil menyentuh hati Wulan? Ataukah justru malam itu menjadi titik di mana segalanya pecah?
Bayangan di Pondok Nurul Falah belum juga pergi—dan mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang.