NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LIBURAN TAK TERDUGA

Nayara tengah sibuk di dapur, mengaduk tumisan di wajan sambil sesekali mencicipi kuah sup yang mendidih di panci. Aroma masakan memenuhi ruangan kecil itu.

Pintu apartemen terbuka, dan Kaelith masuk dengan kaus tanpa lengan yang masih basah oleh keringat seusai gym. Tanpa banyak bicara, ia berjalan mendekati Nayara dari belakang, lalu mengecup bibirnya singkat, diikuti kecupan ringan di kedua pipinya.

Nayara terkejut, sedikit tersipu, namun tetap melanjutkan memasak sambil berkata pelan, "Kau bau keringat, Kaelith."

Kaelith hanya terkekeh kecil, meraih segelas air dingin dari kulkas, lalu bersandar di meja dapur sambil memperhatikannya.

"Apa yang kau masak? Harum sekali."

Nayara melirik sekilas, mencoba menahan senyum. "Makan siang. Duduklah, sebentar lagi siap."

"Aku membersihkan diri dulu," ucap Kaelith singkat sambil meletakkan gelasnya di meja.

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya.

Nayara hanya menatap punggung pria itu yang perlahan menghilang di balik pintu. Dapur kembali sunyi, hanya terdengar suara pelan tumisan di wajan dan desah napasnya sendiri. Keheningan itu membuatnya kembali larut dalam pikirannya tentang ibunya di rumah sakit, tentang Kaelith yang kadang lembut tapi sering pula menyakitinya.

Makan siang sudah siap tersaji di meja, aroma masakan memenuhi ruangan.

Kaelith keluar dari kamarnya dengan rambut masih basah, tetes air menuruni lehernya.

Tanpa banyak bicara, pria itu menarik kursi dan duduk. Nayara ikut duduk di hadapannya, menyajikan piring dan sendok.

Hening sejenak, hanya suara gesekan sendok dan garpu yang terdengar di antara mereka.

"Aku mendapatkan laporan dari kampusmu, bahwa kau sudah hampir dua minggu tidak hadir tanpa alasan yang jelas," ucap Kaelith, menatap Nayara tajam dari seberang meja.

Nayara yang sedang menyantap makanannya, menelan liur dengan susah payah.

Tatapannya sempat jatuh ke arah piring, menghindari sorot mata Kaelith yang menusuk.

"Aku... aku punya alasan," ucap Nayara lirih.

"Alasan apa? Menemani ibumu yang busuk itu?" sindir Kaelith sambil menyendok makanannya dengan gerakan keras.

Nayara terdiam, jemarinya meremas ujung rok yang ia kenakan. "Aku hanya... tidak sanggup meninggalkannya begitu saja," suaranya nyaris tenggelam oleh denting sendok.

Kaelith mendengus sinis. "Kalau begitu, jangan salahkan aku kalau suatu saat nanti semua ini kembali menghancurkanmu."

Nyatanya, Nayara tak sanggup benar-benar meninggalkan Fredricka.

Meski Brigite sudah setia menemani wanita itu dua puluh empat jam tanpa henti, hatinya selalu saja tertarik kembali ke rumah sakit.

Setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaannya atau urusannya sendiri, bayangan ibunya yang terbaring lemah terus menghantui pikirannya.

"Mulai besok kau kuliah daring saja, aku sudah meminta orangku untuk mengurusnya," ucap Kaelith tegas, nada suaranya tidak memberi ruang untuk perdebatan.

Nayara langsung menggeleng cepat, rasa panik merayap di wajahnya. Ia tidak ingin dikurung dalam empat dinding apartemen.

"Aku mohon, jangan Kaelith… aku tidak mau," ucap Nayara memohon, suaranya bergetar, berharap pria itu mau mendengarnya kali ini.

Kaelith meletakkan sendoknya, menatap Nayara tanpa ekspresi yang bisa dibaca.

“Kau pikir aku tidak tahu? Setiap kali kau keluar, selalu ada masalah. Aku tidak mau mengambil risiko,” ucapnya dingin.

“Tapi aku janji akan hati-hati. Aku tidak akan membuat masalah, Kaelith,” balas Nayara, suaranya nyaris pecah.

Pria itu menghela napas berat, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tidak ada perdebatan. Keputusanku final.”

Nayara menunduk, air mata mulai menggenang, tapi ia menahannya. Perutnya mendadak terasa sesak, seolah makan siang di depannya berubah jadi beban.

Nayara menghampiri Kaelith, lalu berlutut di hadapannya.

“Aku mohon, Kaelith… aku kesepian di apartemen sendirian. Aku berjanji tidak akan melanggar perjanjian lagi,” ucapnya lirih, penuh harap.

Kaelith menatapnya sejenak, lalu jemarinya terulur mengelus rambut panjang Nayara dengan gerakan lembut namun menguasai.

“Kau ingin aku mencabut keputusanku?” tanyanya perlahan.

Nayara mengangguk, matanya sembab dan pipinya basah oleh sisa air mata.

“Ada syaratnya, baby,” ucap Kaelith dengan nada yang sulit ditebak.

“Apapun… akan aku lakukan, Kaelith,” jawab Nayara tanpa ragu.

“Aku ingin kita bercinta di pantai,” ucap Kaelith sambil menatap Nayara lekat.

“Aku tidak mau, Kaelith… itu tempat umum,” tolak Nayara cepat, nada suaranya tegas.

Kaelith hanya tersenyum tipis, lalu menarik tubuh Nayara hingga terduduk di pangkuannya. Dagu pria itu bertumpu di bahu Nayara, napas hangatnya terasa di kulit lehernya.

“Sepertinya menyenangkan… menghabiskan waktu di pantai dengan desiran ombak yang jadi musiknya,” ucap Kaelith sambil terkekeh pelan, kedua lengannya memeluk Nayara dari belakang, membuat gadis itu sulit bergerak.

“Sangat membosankan selalu bercinta di apartemen… semua sudut sudah pernah kita coba,” kekeh Kaelith sambil mengendus lembut leher Nayara, membuat gadis itu merinding.

“Jadi, keputusan ada di tanganmu, baby,” ucap Kaelith dengan nada menggoda, seolah menantang Nayara untuk menjawab.

Sementara Nayara masih bergulat dengan pikirannya, Kaelith terus mengendus lehernya, menghirup aroma lembut yang khas dari gadis itu.

“Aku… mau,” ucap Nayara lirih, nyaris tak terdengar, namun cukup bagi Kaelith untuk menangkapnya. Bibir pria itu melengkung membentuk senyum puas.

Keesokan harinya, Kaelith dan Nayara berangkat menuju sebuah tujuan yang sama sekali tak pernah terpikirkan oleh Nayara.

“Ke… Lisboa?” tanya Nayara ragu, menatap Kaelith yang duduk santai di sampingnya.

“Hm,” hanya sebuah deheman singkat yang keluar dari bibir pria itu, seakan enggan memberi penjelasan lebih.

Tak butuh waktu lama, keduanya sudah berada di dalam jet pribadi milik keluarga Vemund, melaju menembus awan menuju kota yang penuh misteri itu.

Selama penerbangan, Nayara duduk memandangi hamparan langit biru dari jendela, namun pikirannya penuh tanda tanya. Ia tak tahu tujuan Kaelith di Lisboa apakah benar hanya untuk bersenang-senang, atau ada sesuatu yang lebih dari itu.

Kaelith, di sisi lain, tampak santai sambil menyeruput anggur merah. Tatapannya kadang jatuh pada Nayara, memperhatikan ekspresi bingung gadis itu.

“Jangan terlalu banyak berpikir, baby,” ucapnya pelan, seolah membaca isi kepala Nayara. “Lisboa akan memberimu pengalaman yang… berbeda.”

Nayara hanya diam. Setiap kali Kaelith berkata seperti itu, ia tahu pasti akan ada sesuatu yang menantinya sesuatu yang tak selalu sesuai keinginannya.

Beberapa jam kemudian, jet itu mendarat mulus di bandara pribadi. Udara Lisboa yang hangat menyambut mereka, disertai aroma laut yang terbawa angin. Kaelith menggandeng tangan Nayara, membawanya ke sebuah mobil hitam mewah yang sudah menunggu.

“Ke mana kita?” tanya Nayara lagi, mencoba mencari kepastian.

Kaelith hanya meliriknya dan tersenyum tipis. “Kau akan tahu saat kita sampai.”

Mobil melaju melewati jalan-jalan berbatu khas kota tua Lisboa, dengan bangunan berwarna pastel dan balkon penuh bunga yang memanjakan mata. Nayara menoleh ke luar jendela, mencoba menebak-nebak ke mana Kaelith akan membawanya.

Setelah sekitar dua puluh menit, mobil itu berbelok memasuki jalan yang semakin sepi, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah vila mewah yang berdiri di tepi tebing, langsung menghadap lautan biru yang luas.

Deru ombak terdengar jelas dari bawah sana, berpadu dengan semilir angin laut yang membawa aroma asin dan segar.

“Ini tempatnya?” tanya Nayara pelan, suaranya terdengar ragu.

Kaelith turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya. “Hmm… hanya sementara. Besok nanti kita akan ke tempat yang lebih… terbuka,” jawabnya sambil tersenyum samar, membuat Nayara merasakan sensasi campur aduk antara penasaran dan cemas.

Kaelith memang sengaja merencanakan liburan singkat ini. Kebetulan kompetisi sepak bola sedang memasuki jeda setengah musim, memberinya waktu luang yang jarang sekali ia miliki.

Ia tahu, Nayara sudah lama terlihat jenuh dengan rutinitas monoton di apartemen. Gadis itu terlalu sering ia tinggalkan sendirian ketika ia sibuk latihan atau bertanding.

“Kau butuh udara segar, baby,” ucap Kaelith sambil merangkul bahunya begitu mereka berjalan menuju pintu vila. “Bukan hanya empat dinding apartemen dan suara televisi.”

Nayara menatapnya sekilas, seolah ingin membantah, tapi akhirnya tersenyum tipis. Entah mengapa, meski Kaelith sering membuatnya kesal, ia tetap tak bisa menyangkal bahwa pria itu tahu cara membuatnya merasa diperhatikan.

Nayara melangkah masuk ke dalam vila, matanya langsung terpaku pada pemandangan yang tersaji di hadapannya.

Ruang utama berlantai kayu itu terbuka lebar, membiarkan cahaya matahari sore masuk melalui pintu kaca geser yang mengarah ke teras. Di luar, sebuah kolam renang biru jernih membentang, yang menghadap laut.

“Indah sekali…” ucap Nayara pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Kaelith, yang berjalan di belakangnya, tersenyum miring. “Kau belum lihat bagian terbaiknya, baby.”

Ia meletakkan koper di lantai, lalu mendekat untuk memeluk pinggang Nayara dari belakang. “Bayangkan kita duduk di tepi kolam itu malam-malam… hanya ada suara ombak dan kau di pangkuanku.”

Nayara menelan ludah, mencoba mengabaikan debar di dadanya.

Kaelith kemudian menarik tangan Nayara, mengajaknya berjalan keluar menuju teras.

Begitu pintu kaca geser dibuka, aroma asin laut bercampur semilir angin langsung menyapa. Langkah mereka berderap pelan di atas dek kayu. Dari sana, garis horizon terlihat jelas, seolah laut dan langit berpadu menjadi satu.

“Di sini… semua terasa lebih tenang,” ucap Kaelith sambil menatap laut lepas.

Nayara menunduk, membiarkan ujung jarinya menyentuh permukaan air kolam yang dingin menyegarkan. “Rasanya seperti… mimpi.”

Kaelith menoleh, menatap wajah Nayara yang diterangi cahaya matahari senja. “Kalau begitu, biarkan aku yang membuat mimpimu jadi kenyataan.”

Senyum tipis terbit di bibirnya, namun tatapan matanya menyimpan arti yang Nayara kenal betul.

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!