Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 (Steak vs mie ayam)
Klek…
Vanila menoleh saat mendengar suara pintu dibuka dari arah luar.
Dengan pakaian yang sudah rapi, Edgar masuk ke dalam kamar dimana terakhir kali dia menyalurkan nafsunya kepada Vanila secara paksa.
Setelah aktivitas itu Vanila tidak beranjak, hanya bersih-bersih lalu kembali merebahkan tubuh di atas kasur yang terasa sangat nyaman. Selain lelah, sekujur tubuhnya terasa sakit dan juga pegal terutama di bagian pinggang karena Edgar terus menekan bagian sana ketika mengubah posisi untuk mencoba gaya lain.
“Tidak mau keluar?”
Vanila tidak mau menjawab, dia kembali pada posisi semula seraya menggenggam erat ujung selimut yang kini menutupi sekujur tubuhnya.
Edgar duduk di tepi ranjang tepat di samping Vanila yang kini memunggunginya. Dia menyentuh pundak perempuan itu, lalu sedikit membungkukan tubuh.
“Irgi sudah membeli makan, cepatlah. Saya harus pergi setelah ini!” Katanya sedikit berbisik.
“Kalo laper saya ambil, pak.”
“Makanannya mau diantar kesini? Tapi saya menerapkan aturan tidak boleh makan didalam kamar. Entah siapapun itu!”
“Nggak kok, siapa juga yang mau makan di sini.”
“Kamu marah?”
Vanila menghembuskan nafas dengan kasar.
“Van? Saya ngomong sama kamu!”
“Sedikit. Hanya kesal kenapa bapak melakukannya sekasar tadi, … tapi kalau di pikir-pikir. Untuk apa juga pak Edgar berlemah lembut kepada saya!”
“Mereka yang datang bahkan hampir tidak pernah menolak saya, Van.”
“Saya tidak menolak, tapi bisakah tunggu sebentar? Sakit sisa semalam saja masih terasa.”
“Kamu butuh dokter?”
Vanila memutar tubuh sampai posisinya berbaring terlentang, menyorot manik yang kini juga tengah menatapnya dengan ekspresi datar.
“Saya butuh talak.”
Edgar menatap Vanila dalam diam.
“Bagaimanapun pernikahan kita sah, jadi saya butuh talak bapak agar bisa pergi tanpa ikatan ini.”
Edgar masih bungkam.
“Hanya—”
“Kenapa terburu-buru!”
Edgar langsung berdiri dan memutar tubuh saat hendak pergi.
“Cukup katakan saya talak kamu, Vanila. Setelah itu kita selesai dan bapak bebas mau ngapain aja, bebas mau tidur sama wanita yang menurut bapak tidak pernah menolak keinginan bapak!”
“Makanan sudah disiapkan, saya pergi dulu.”
Kata terakhir yang Edgar ucapkan, sebelum akhirnya pria itu menghilang di balik pintu yang tertutup dengan sendirinya.
***
Setelah cukup lama berdiam diri di dalam kamar, Vanila memutuskan untuk keluar karena perut sudah terasa sangat keroncong.
Dia membawa susu dingin terlebih dahulu, lantas meminumnya sambil berjalan ke arah meja makan.
Lihat, dirinya bahkan bersikap seperti seorang tuan rumah. Dengan lancangnya membuka lemari pendingin, dan mengambil sesuatu di dalamnya.
“Ah orang ga dilarang ini!” Vanila menyahuti ucapan yang terdengar di dalam kepalanya.
Kotak kemasan susu ia letakkan begitu saja, kemudian melihat beberapa tempat yang masih berada di dalam sebuah kantong plastik transparan.
“Van!”
Belum sempat Vanila memeriksakan dalamnya, Vanila langsung dikejutkan dengan kedatangan Irgi.
“Saya mau ke laundry. Pak Edgar suruh saya ajak kamu,” ujar pria itu.
“Suruh ajak saya!?” Vanila terheran-heran.
“Mungkin kamu butuh refreshing, … bertemu teman-teman sebentar siapa tahu bisa membuat mood kamu baikan.”
Vanila mengernyitkan kening.
“Apa nih?” Katanya sedikit ketus.
“Cuma menjalankan perintah, Van. Saya ‘kan di suruh ajak kamu. Seenggaknya kalaupun nanti pak Edgar tanya ga ada jawaban kalau kamu sama sekali tidak saya ajak,” terang Irgi.
Vanila menarik kursi, kemudian duduk.
“Ga mood ketemu orang.”
“Serius?”
“Aih, ga ada makanan lain apa!?”
Dia sedikit menggerutu saat membuka salah satu wadah, ternyata isinya steak dengan saus berwarna coklat, sayuran warna-warna dan juga kentang.
“Ada pasta, burger juga!” Sahut Irgi.
“Ga cocok di lidah kampung saya, pak Irgi. Kenapa ga beliin ayam geprek atau penyet aja? Kalo nggak bakso deh, di nasiin enak itu daripada ini.”
“Orang pak Edgar suruh beli itu.”
“Haduh, tanya dulu dong. Kemarin aja dibeliin pizza ga saya makan, … bukan apa-apa. Lidah mie ayam abang-abang kalo di kasih steak agak syok.”
“Kamu mulai nyebelin kayak pak Edgar, Van.”
“Saya laper pak!”
“Ya makan!”
“Ck!” Vanila bangkit dengan raut wajah masam. “Masak mie ajalah!” Katanya.
“Orang pak Edgar ga pernah bolehin stok mie.”
Langkah kaki Vanila seketika berhenti, memutar tubuh dan menatap tajam Irgi dengan ekspresi kesal.
“Ada sih, tapi bukan mie yang kamu maksud.”
“Lah?”
“Mie spageti. Tinggal masak aja pake saus tomat sama daging cincang,” jelas Irgi.
“Yaudah saya ikut. Ribet bener mau makan aja harus nyari dulu!”
Irgi mengedikkan kedua bahunya, sementata Vanila mendelik dan pergi untuk bersiap-siap.
“Salah sendiri ga mau makan yang sudah disediakan.”
***
“Van, bos kamu baik ‘kan?”
“Gimana? Kerjaannya enak?”
“Potong gaji ga kalau bikin salah?”
Mereka menatap iba Vanila yang sedang menyantap semangkuk mie ayam dengan lahap. Jelas, tatapan heran terlihat dari teman-temannya, karena mereka berpikir Vanila sedang mengalami kelaparan.
“VANILA IH!”
Vanila menelan mie yang memenuhi rongga mulutnya, minum es teh kemasan cup berukuran besar kemudian menjawab;
“Baik, orang aku bisa sampe dikasih izin keluar kayak sekarang.”
“Kamu dikasih makan?” Fuji menatapnya lekat-lekat.
Dari ketiga temannya, Fuji yang terlihat sangat khawatir dengan keadaan vanila saat ini. Padahal, kalau saja dia tahu apa yang Vanila rahasiakan. Mungkin saja wanita itu akan memukul kepalanya berkali-kali.
“Aman. Makanan banyak kok mbak!”
“Yakali banyak makanan sampe lahap banget, ini mie ayam lho! Hati-hati ga sengaja kemakan mangkoknya sama kamu, Van.”
“Makanan banyak, suwer. Pizza, pasta, steak, burger. Banyak deh!”
“Lah, terus? Enak-enak makanan horang kaya mah!” Eli tampak heran.
“Ga cocok sama lidah aku. Ya kalo sekedar makan bisa, … tapi kalo cari nikmat aku milih mie ayam aja.”
“Nasi liwet, sambel, ikan asin, lalapan sama jengkol apa kabar, Van?”
“Duh itu jangan ditanya, aku bisa nambah tiga kali. Sayangnya mbak Risna masuk lagi pas aku mutusin buat pindah kerjaan.”
“Ga mungkin lho aku abis lahiran tetep kerja.”
Vanila mengangguk seraya meletakan mangkuk mie yang sudah habis tanpa sisa.
“Ini kenapa balik?”
“Ya sama kayak Eli, sama mbak Fuji. Kita maunya diem tapi kebutuhan makin banyak!”
Vanila kembali menyesap es teh miliknya, lalu sesuatu tiba-tiba terpintas.
Kenapa Edgar yang mapan memilih tidak menikah, sementara pria lain melakukannya padahal ekonomi mereka kurang baik? Parahnya, di beberapa kasus, suami hanya berleha-leha di rumah sementara istri mereka banti tulang dari pagi hingga pagi lagi agar bisa menutupi semuanya.
Resiko dapur, jajan anak dan bahkan biaya sekolah.
“Lagian, mbak. Udah tahu keadaannya sulit, kenapa jebol lagi sih? Kan kasian ke kamunya.”
“Namanya bobol, Van. Perkara telat dua hari suntik jadi dah tuh bayi!”
“Tapi gapapa, semoga rezekinya makin lancar. Biar bisa sekolah tinggi jadi mbak-mbak sekalian ga akan lihat anak-anak hidup kaya kita.”
Vanila menatap ketiganya bergantian sambil tersenyum.
“Tapi awas lho mbak, jangan sekali-kali nuntut balas budi ke anak. Ga ada kewajiban mereka untuk itu, … mereka mau bantu silahkan. Nggak ya gapapa.”
“Van? Ketiban apa di tempat kerja baru?” Sindir Eli.
“Eh nggak lah. Disana kerjaan aku ringan jadinya bisa berpikir jernih, … nggak kayak disini. Dikit-dikit potong lu punya gaji!” Vanila menirukan gaya bicara ci Mey di bagian akhir kata.
Yang seketika membuat mereka tertawa bersama.
“Ada lowongan ga, Van? Info dong,” kata Eli.
“Kayaknya kerjaan lu sekarang enak, guwe tertarik nih!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Info dong Van, othor juga tertarik ini😆
Selamat hari vote ayang, jangan lupa like komen juga😘😘😘