Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Ibu dan Ayah Ariana
Suasana di rumah sakit masih terasa tegang ketika langkah cepat terdengar dari ujung koridor. Dewa yang sedang berdiri di depan ruang pemeriksaan langsung menoleh, melihat Ibu dan Ayah Ariana datang bersama Bang Ardan. Wajah mereka penuh kecemasan, terutama Ibu Ariana yang tampak sedikit terengah-engah, mungkin karena terlalu panik dan terburu-buru.
“Dewa!” suara Ibu Ariana langsung memecah keheningan begitu melihatnya. Ia bergegas mendekat, matanya terlihat berkaca-kaca. “Bagaimana Ariana, Nak?”
Dewa menenangkan dirinya sebelum menjawab. “Tante, Om… Dokter masih memeriksanya. Tapi kemungkinan besar dia hanya kelelahan.”
Ibu Ariana menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isakannya. Ayah Ariana, meskipun terlihat lebih tenang, tetap tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
“Kenapa dia bisa sampai pingsan?” tanya sang ayah dengan suara berat.
Dewa menghela napas. “Sepertinya karena terlalu lelah bekerja. Ariana memang terlihat kurang istirahat akhir-akhir ini.”
Bang Ardan yang berdiri di sampingnya mengepalkan tangan, ekspresinya penuh penyesalan. “Dia nggak pernah bilang apa-apa ke gue… Kalau gue tahu dia seberapa lelah, pasti gue bakal nyuruh dia istirahat.”
Ibu Ariana menghapus air matanya dan berusaha menenangkan diri. “Yang penting sekarang dia ditangani dokter. Semoga nggak ada yang serius.”
Dewa mengangguk. “Iya, Tante. Kita tunggu saja hasilnya.”
Saat itu juga, pintu ruang pemeriksaan terbuka, dan seorang dokter keluar. Semua orang langsung berdiri lebih tegak, bersiap menerima kabar tentang keadaan Ariana.
...****************...
Pintu ruang pemeriksaan terbuka, dan dokter keluar dengan wajah lebih serius dari sebelumnya. Dewa, Ayah dan Ibu Ariana, serta Bang Ardan segera menghampirinya dengan penuh harap, meskipun hati mereka dipenuhi kecemasan.
Dokter menghela napas sebelum berbicara. “Saya harus menyampaikan bahwa kondisi Ariana lebih memburuk dari sebelumnya.”
Ibu Ariana langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. “Maksud dokter… bagaimana?”
Dokter menatap mereka satu per satu dengan penuh pertimbangan sebelum menjelaskan, “Ariana mengalami kelelahan yang sangat parah, tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah hasil tes menunjukkan bahwa kondisi penyakitnya semakin melemahkan tubuhnya.”
Dewa merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Tangannya mengepal erat, menahan emosi yang tiba-tiba membuncah. “Jadi… ini lebih serius dari yang kami kira?”
Dokter mengangguk pelan. “Kami sudah melakukan beberapa tes tambahan, dan hasilnya menunjukkan bahwa tubuhnya mulai semakin sulit untuk bertahan dari kelelahan yang terus-menerus. Jika ini terus berlanjut tanpa perawatan lebih intensif, kondisinya bisa semakin memburuk.”
Ayah Ariana berusaha tetap tegar meskipun wajahnya mulai menegang. “Apa yang harus kami lakukan, Dok? Apa ada pengobatan yang bisa membantu?”
Dokter menghela napas. “Kami akan memberikan perawatan terbaik untuknya, tapi dia perlu benar-benar beristirahat dan menghindari stres. Kami juga menyarankan beberapa terapi tambahan untuk membantunya tetap stabil. Namun, yang paling penting, dia membutuhkan dukungan mental dan fisik dari keluarga serta orang-orang terdekatnya.”
Ibu Ariana mulai menangis perlahan, sementara Bang Ardan menggenggam bahunya, berusaha menenangkan. Dewa, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara berat, “Kami akan melakukan apa pun yang dibutuhkan, Dok.”
Dokter mengangguk. “Untuk saat ini, kami akan terus memantaunya. Jika ada perkembangan lebih lanjut, kami akan segera mengabari keluarga.”
Setelah dokter pergi, semua orang terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Suasana terasa begitu berat.
Dewa menatap pintu ruangan Ariana dengan tatapan penuh tekad. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan meninggalkan Ariana sendirian dalam perjuangan ini.
...****************...
Setelah mendengar kabar dari dokter bahwa kondisi Ariana semakin memburuk, Dewa merasakan dadanya semakin sesak. Pikiran dan emosinya bercampur aduk—khawatir, takut, dan sedih. Sejak tadi, ia terus berusaha tegar di hadapan keluarga Ariana, tetapi tubuhnya sendiri sebenarnya belum pulih sepenuhnya dari kelelahan sebelumnya.
Ketika ia mencoba berdiri untuk masuk ke ruangan Ariana, tiba-tiba kepalanya terasa berat, pandangannya berputar, dan tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan.
“Dewa!” suara Ezra yang berdiri di dekatnya terdengar panik saat Dewa tiba-tiba jatuh terduduk, tangannya mencengkeram pelipisnya, berusaha menahan pusing yang luar biasa.
Bang Ardan segera menghampirinya, menahan bahunya agar tidak terjatuh lebih jauh. “Dewa, lo kenapa?” tanyanya cemas.
Dewa menggeleng pelan, berusaha menenangkan diri. “Gue… nggak apa-apa,” katanya dengan suara lemah, meskipun jelas tubuhnya berkata sebaliknya.
Ibu Ariana yang masih terisak langsung menghampiri. “Dewa, Nak, kamu juga kelihatan pucat. Kamu jangan terlalu memaksakan diri…”
Ezra dan Rangga saling pandang sebelum Ezra akhirnya berkata, “Dewa, lo juga butuh istirahat. Dari kemarin lo udah banyak mikirin Ariana tanpa peduliin kondisi lo sendiri.”
Dewa menghembuskan napas panjang, tangannya masih menekan pelipisnya. Ia ingin menyangkal, tapi tubuhnya sendiri sudah memberontak.
Bang Ardan menepuk bahunya. “Gue ngerti lo peduli sama Ariana, tapi lo nggak bisa nolong dia kalau lo sendiri tumbang, bro.”
Dewa terdiam, merasa tersentuh dengan perhatian mereka. Akhirnya, setelah beberapa detik hening, ia mengangguk pelan. “Iya… mungkin gue butuh duduk sebentar.”
Ezra dan Rangga segera membantunya berdiri dan membawanya duduk di kursi tunggu. Ibu Ariana pun meminta perawat untuk membawa air putih dan memeriksa kondisinya.
Sambil duduk, Dewa menatap pintu kamar Ariana. Ia tidak akan menyerah, tapi ia juga sadar bahwa dirinya harus tetap kuat agar bisa terus berada di sisi Ariana.
...****************...
Tak lama setelah Dewa sempat drop, suara langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit. Ibu Dewa, Ayah Dewa, dan Nayla datang dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Ibu!” suara Nayla yang pertama kali terdengar, langsung berlari menghampiri Dewa yang masih duduk di kursi tunggu. Matanya berkaca-kaca saat melihat kakaknya terlihat lemah.
Ibu Dewa segera meraih tangan Dewa, menggenggamnya erat. “Nak, kamu baik-baik saja? Ezra bilang kamu hampir pingsan!” Suaranya penuh kecemasan.
Dewa menatap ibunya dengan lelah, tapi tetap mencoba tersenyum. “Aku nggak apa-apa, Bu… Cuma kecapekan sedikit.”
Ayah Dewa yang berdiri di belakangnya hanya menghela napas panjang, menatap putranya dengan sorot mata serius. “Kamu ini kenapa nggak pernah jaga diri? Jangan sampai kamu ikut tumbang, Dewa.”
Dewa menunduk sedikit, merasa bersalah karena membuat keluarganya khawatir. “Maaf, Yah… Aku nggak maksud bikin kalian cemas.”
Nayla, yang masih berdiri di sampingnya, ikut bersuara. “Kak, kalau Kakak sakit juga, siapa yang bakal jaga Kak Ariana?”
Ucapan adiknya itu membuat Dewa tersentak. Memang benar, ia harus kuat agar bisa tetap berada di sisi Ariana.
Ibu Dewa mengusap punggung putranya dengan lembut. “Nak, Ibu tahu kamu sayang sama Ariana, tapi kamu juga harus ingat kalau kamu punya tubuh yang harus dijaga. Ibu nggak mau kehilangan kamu.”
Dewa menatap ibunya, lalu mengangguk pelan. “Iya, Bu… Aku ngerti.”
Ezra yang berdiri di samping Dewa akhirnya ikut bicara. “Tante, Om, tenang aja. Kami juga bakal jagain Dewa. Dia ini keras kepala, susah dibilangin.”
Rangga menimpali dengan nada bercanda, “Iya, makanya kita harus paksa dia buat istirahat.”
Ibu Dewa tersenyum tipis mendengar sahabat-sahabat Dewa yang begitu peduli padanya. Sementara itu, Ayah Dewa menatap putranya dengan tegas. “Kalau kamu butuh waktu buat istirahat, jangan ragu buat bilang. Kamu nggak harus selalu menanggung semuanya sendirian.”
Dewa mengangguk lagi, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran keluarganya. Setelah berbincang sebentar, akhirnya mereka semua masuk ke dalam ruangan Ariana untuk melihat keadaannya.
Meskipun situasi masih penuh kekhawatiran, Dewa merasa lebih kuat dengan adanya orang-orang yang selalu mendukungnya.