NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 18

Sartika terbangun dengan perut yang keroncongan. Rasa nyaman dari tidur nyenyaknya semalam membuatnya hampir lupa bagaimana rasanya kelaparan. Ia mengusap matanya, duduk di ranjang, lalu melihat ke luar jendela. Langit masih sedikit gelap, menandakan pagi baru saja dimulai.

Perlahan, ia turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar, langkahnya hati-hati menyusuri lorong rumah yang begitu luas. Ini pertama kalinya ia benar-benar memperhatikan tempat itu. Dindingnya dihiasi lukisan mahal, lantainya bersih berkilau, dan udara di dalam ruangan terasa begitu sejuk.

Sampai di dapur, ia membuka lemari es, matanya berbinar melihat berbagai bahan makanan segar tersimpan rapi di sana. Sudah lama ia tidak melihat makanan sebanyak ini dalam satu tempat.

Ia awalnya hanya berniat mencari sesuatu untuk dimakan sendiri, tetapi tiba-tiba pikirannya melayang ke Calvin. Pria itu telah memberinya tempat tinggal sementara, membawanya ke salon, dan bahkan membelikannya pakaian. Mungkin, sebagai rasa terima kasih, ia bisa melakukan sesuatu untuknya.

"Aku bisa memasak," gumamnya pelan.

Sartika mulai mengambil beberapa bahan—telur, roti, sayuran, dan daging asap. Ia tidak tahu apakah Calvin suka sarapan seperti ini, tetapi ia akan mencoba. Tangannya mulai bekerja, mengolah bahan-bahan dengan cekatan. Meski sudah lama tidak memasak di dapur yang layak, ingatannya tentang cara memasak masih kuat.

Tak lama kemudian, aroma harum telur orak-arik dan roti panggang memenuhi dapur. Sartika tersenyum kecil. Ia menuangkan segelas jus jeruk dan menata semuanya di atas nampan.

"Semoga dia suka," ucapnya pelan sebelum berjalan menuju ruang makan, siap memberikan sarapan buatannya untuk Calvin.

Sartika meletakkan nampan di meja ruang makan. Ia menatap hasil masakannya dengan sedikit ragu, berharap Calvin tidak akan menolak atau bahkan mengkritiknya.

Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Calvin muncul dari lorong dengan rambut sedikit berantakan, masih mengenakan piyama tidur. Matanya yang masih sedikit mengantuk langsung tertuju pada meja makan. Ia mengernyit.

“Kau yang memasak ini?” tanyanya heran.

Sartika mengangguk, sedikit gugup. "Iya. Aku pikir… kau pasti lapar, jadi aku buatkan sarapan."

Calvin menarik kursi dan duduk. Ia menatap piring di depannya sejenak sebelum mengambil sendok dan mulai mencicipi telur orak-arik. Sartika menahan napas, memperhatikan ekspresinya.

Calvin mengunyah pelan, lalu meneguk jus jeruk. Beberapa detik berlalu sebelum ia akhirnya mendongak dan menatap Sartika.

"Rasanya tidak buruk," katanya santai.

Sartika menghembuskan napas lega. "Syukurlah. Aku sudah lama tidak memasak di dapur."

Calvin melanjutkan sarapannya tanpa banyak bicara. Sartika merasa sedikit canggung, tetapi ia tetap duduk di seberang meja, memperhatikan pria itu menikmati makanannya.

Setelah beberapa saat, Calvin meletakkan sendoknya. "Jadi, kau tahu cara memasak. Apa lagi yang bisa kau lakukan?"

Sartika mengangkat bahu. "Banyak hal. Aku bisa membersihkan rumah, menjahit, dan bekerja serabutan."

Calvin menatapnya dalam diam. Ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan, antara simpati dan rasa penasaran.

"Kau ingin kembali ke rumahmu?" tanyanya akhirnya.

Sartika terdiam, lalu menggeleng pelan. "Aku tidak bisa pulang seperti ini. Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku."

Calvin terdiam sesaat, lalu menghela napas. "Kalau begitu, kau harus menemukan cara untuk bertahan."

Sartika menatapnya. "Maksudmu?"

Calvin menegakkan duduknya. "Aku bisa membantumu mendapatkan pekerjaan, tapi kau harus berusaha. Aku tidak bisa menampungmu selamanya."

Sartika mempertimbangkan tawaran itu. Ia tahu, ini kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.

"Baik," katanya akhirnya. "Aku akan berusaha."

Calvin mengangguk, lalu berdiri. "Kalau begitu, bersiaplah. Aku akan mengantarmu mencari pekerjaan hari ini."

Sartika segera beranjak dari kursinya dan kembali ke kamar yang telah Calvin sediakan untuknya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya jauh lebih segar dibanding beberapa hari lalu ketika masih hidup di jalanan.

Setelah mandi, ia memilih pakaian yang layak dari tumpukan yang telah Calvin belikan kemarin. Setelan sederhana berupa blus putih dan celana panjang hitam membuatnya tampak lebih rapi. Rambutnya yang sebelumnya kusut kini sudah tertata dengan baik.

Saat keluar dari kamar, ia menemukan Calvin sudah berdiri di dekat pintu dengan setelan jas rapi, siap berangkat. Tatapan pria itu sedikit menilai, sebelum akhirnya mengangguk kecil.

“Kau terlihat lebih baik,” komentarnya singkat.

Sartika hanya tersenyum tipis. "Terima kasih untuk semuanya."

Calvin tidak menanggapi, hanya berjalan menuju mobilnya. Sartika mengikuti di belakang, lalu masuk ke dalam mobil dengan sedikit gugup.

Di sepanjang perjalanan, mereka tidak banyak berbicara. Sartika hanya menatap ke luar jendela, mencoba menebak ke mana Calvin akan membawanya.

"Jadi, pekerjaan seperti apa yang kau inginkan?" tanya Calvin akhirnya, memecah keheningan.

Sartika berpikir sejenak. "Aku tidak terlalu pilih-pilih. Apa saja yang bisa kulakukan, asalkan halal."

Calvin mengangguk pelan. "Baik. Aku akan mengajakmu ke beberapa tempat. Kita lihat apakah ada yang cocok untukmu."

Sartika hanya mengangguk pelan, setelah menatap Calvin beberapa menit.

Lalu, mengernyit bingung saat mobil berhenti di depan sebuah gedung tinggi dengan logo perusahaan yang tampak megah. Ia mengira Calvin akan membawanya ke tempat-tempat seperti toko atau restoran kecil untuk mencari pekerjaan, tetapi yang ada di hadapannya sekarang adalah sebuah perusahaan besar.

“Ini kantor perusahaanku,” ujar Calvin sambil melepas sabuk pengamannya.

Sartika menoleh padanya dengan kaget. “Kenapa ke sini? Aku pikir kau akan membawaku ke tempat lain.”

Calvin membuka pintu mobilnya dan keluar. “Ikut saja,” ucapnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Dengan ragu, Sartika pun mengikuti Calvin masuk ke dalam gedung. Begitu melewati lobi yang luas dan penuh dengan karyawan berpakaian rapi, ia merasa canggung. Orang-orang di sekitarnya menatapnya dengan rasa penasaran, tapi tak ada yang berani bertanya.

Calvin berjalan lurus ke meja resepsionis dan berbicara singkat dengan wanita yang berjaga di sana. Setelah itu, ia menoleh ke Sartika.

“Kau akan bekerja di sini.”

Sartika membelalakkan mata. “Di sini? Aku? Aku bahkan tidak punya pengalaman kerja di kantor!”

“Kau akan jadi office boy, atau lebih tepatnya, office girl,” kata Calvin santai.

“Tugasnya tidak sulit. Membersihkan ruangan, merapikan meja, membuat kopi untuk karyawan, dan membantu hal-hal kecil lainnya.”

Sartika masih terdiam. Pekerjaan seperti itu memang bukan masalah baginya, tapi tetap saja, ia tidak pernah membayangkan bekerja di tempat semewah ini.

Calvin menatapnya dengan serius. “Aku tidak sedang bercanda. Kau butuh pekerjaan, dan aku butuh seseorang yang bisa dipercaya untuk mengurus hal-hal kecil di kantor ini. Jadi, bagaimana?”

Sartika menelan ludah. Hatinya masih diliputi keraguan, tapi ia juga tahu bahwa kesempatan seperti ini tidak datang dua kali.

Dengan napas dalam, ia mengangguk. “Baik, aku akan mencobanya.”

Calvin tersenyum tipis. “Bagus. Sekarang, aku akan mengenalkanmu pada supervisor yang akan membimbingmu.”

Sartika mengikuti Calvin, dengan hati yang campur aduk antara gugup, dan rasa syukur, bisa bertemu dengan orang baik seperti Calvin.

Calvin membawa Sartika ke sebuah ruangan kecil di lantai dua, tempat staf kebersihan biasanya berkumpul sebelum memulai pekerjaan mereka. Seorang wanita paruh baya dengan seragam berwarna biru muda tengah sibuk mencatat sesuatu di buku besar.

“Tini,” panggil Calvin.

Wanita itu menoleh dan langsung tersenyum sopan. “Pak Calvin. Ada yang bisa saya bantu?”

Calvin melirik Sartika sebelum kembali menatap Nadia. “Ini Sartika. Mulai hari ini, dia akan bekerja di sini sebagai office girl.”

Sartika menelan ludah, merasa semakin gugup.

Tini memandangnya dari ujung kepala hingga kaki, lalu tersenyum ramah. “Baik, Pak. Saya akan membimbingnya.”

Calvin mengangguk. “Pastikan dia memahami semua tugasnya. Dan Sartika…” Ia menatap wanita itu dalam-dalam. “Jangan buat masalah.”

Sartika mengangguk cepat. “Aku janji.”

Calvin tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung pergi, meninggalkan Sartika bersama Tini.

“Baiklah, Sartika,” ujar Tini, masih dengan nada ramah.

“Aku akan menjelaskan tugas-tugasmu. Pada dasarnya, pekerjaanmu adalah menjaga kebersihan ruangan, memastikan ruang meeting siap digunakan, dan sesekali membuat minuman untuk karyawan, terutama atasan.”

Sartika mendengarkan dengan saksama, mencoba mengingat setiap detail.

“Kau akan mulai dengan membersihkan ruangan di lantai ini dulu,” lanjut Tini. “Jangan ragu bertanya kalau ada yang tidak kau mengerti.”

Sartika mengangguk patuh. Meski awalnya merasa asing, ia yakin lambat laun akan bisa beradaptasi dengan pekerjaan barunya.

"Setelah selesai, kau bisa berpindah ke gudang. Tata semuanya dengan rapi," ujar Tini sambil memberika kunci gudang.

"Baik, Kak," jawab Sartika cepat.

Tini mengangguk puas sebelum melangkah pergi, menuju ruangan para karyawan yang sedang sibuk bekerja.

Sartika menghela napas sejenak, lalu mulai mengepel kembali.

Setelah selesai mengepel, Sartika mengambil napas panjang sebelum menuju gudang. Ia menggenggam kunci yang diberikan Tini, lalu membuka pintu gudang dengan hati-hati.

Ruangan itu tidak terlalu besar, tetapi penuh dengan rak-rak yang berisi tumpukan barang, mulai dari alat kebersihan, kertas, hingga stok perlengkapan kantor lainnya. Beberapa kardus terlihat berantakan di sudut ruangan, membuatnya merasa tugas ini akan lebih sulit dari yang ia bayangkan.

“Tata semuanya dengan rapi,” gumamnya mengulang instruksi Tini, berusaha menyemangati diri sendiri.

Ia mulai bekerja, mengangkat beberapa kardus dan menatanya kembali di rak. Namun, karena terlalu fokus, ia tidak menyadari bahwa seseorang masuk ke dalam gudang.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Sartika tersentak dan hampir menjatuhkan kardus yang sedang ia angkat. Ia menoleh cepat dan mendapati seorang pria berdiri di ambang pintu. Pria itu tinggi, mengenakan setelan kerja rapi, dan menatapnya dengan ekspresi penuh selidik.

“A-aku sedang merapikan gudang, Pak,” jawab Sartika gugup.

Pria itu menyipitkan mata, seakan baru menyadari sesuatu. “Kau orang baru, ya?”

Sartika mengangguk.

Pria itu menghela napas, lalu bersandar di pintu dengan tangan terlipat di dada. “Aku Damar, kepala bagian logistik di sini. Pastikan kau tidak mengacaukan sistem penyimpanan barang. Aku tidak mau ada yang salah tempat.”

“B-baik, Pak Damar.”

Damar mengangguk sekilas sebelum pergi, meninggalkan Sartika yang masih mencoba menenangkan detak jantungnya.

Ia menatap ruangan gudang yang masih berantakan, lalu kembali bekerja dengan lebih berhati-hati. Satu hal yang ia sadari, bekerja di tempat seperti ini bukan hanya soal membersihkan, tetapi juga soal bagaimana ia bisa bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan barunya.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!