Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Dosis Aman?
Pagi menjelang, bias cahaya menelisik ventilasi udara. Setelah bertahun-tahun terbiasa dengan jam tidur yang sama sekali tidak teratur, pagi ini Bima masih terlelap kala Lengkara membuka tirai jendela kamar.
"Apa aku berlebihan ya? Tapi rasanya sudah pas ... mungkin memang dia yang lelah," gumam Lengkara menoleh sekilas, jujur saja dia was-was.
Bukan niatnya membuat Bima celaka, hanya kekesalan dalam hati Lengkara membuatnya buta. Wanita itu sudah enggan bertanya, bukan hanya pada sang suami, tapi juga keluarga besarnya.
Kejadian kemarin sudah cukup membuktikan bahwa yang membohonginya tidak hanya satu atau dua orang, tapi seluruh yang berada di sisinya. Untuk itu dia berpikir akan lebih baik membiarkan mereka terlena dan berpura-pura bodoh seperti yang diharapkan orang-orang itu.
Hampir jam tujuh pagi, dan Bima masih bergemul di dalam selimut. Awalnya Lengkara tidak berniat mengganggu tidur Bima, tapi entah kenapa dia khawatir jika saat ini nyawa pria itu melayang akibat ulahnya.
Dia yang tadi hanya memantau, kini beralih menghampiri Bima dan mendekatkan wajahnya. Memastikan raga dan jiwa pria itu belum terpisah, senakal-nakalnya Lengkara mana siap di penjara. Terlebih lagi penyebabnya adalah akibat mencelakai suami, bisa habis dia bully.
"Masih napas," gumam Lengkara setelah memastikan napas Bima, masih berhembus hangat di wajahnya.
"Mas ... bangun."
Hanya napas saja belum bisa membuat Lengkara sedikit lebih tenang. Karena itu dia mengguncang tubuh Bima pelan, berkali-kali dia coba hingga hampir menyerah.
"Aduh, dia kenapa? Kalau sampai kenapa-kenapa aku yang celaka."
Lengkara membatin, setelah sempat mendekatkan wajah di wajah, kini beralih ke dadanya. Khawatir jika jantung pria itu lemah, Lengkara mengatupkan bibir demi memastikan organ pria itu masih normal-normal saja.
"Kamu sedang apa?"
Suara serak khas ngantuk dengan tangan yang berada di puncak kepalanya membuat mata Lengkara membulat sempurna. Namun, sebisa mungkin dia tidak terlihat panik demi menghindari kecurigaan Bima.
"Mas? Sudah bangun ternyata," ucap Lengkara kembali terlihat biasa saja, seperti dia yang kemarin-kemarin.
Sama sekali Lengkara tidak menunjukkan kekesalannya. Sikapnya juga tidak berubah, masih seperti seorang Lengkara yang sehangat itu pada Bima sekalipun responnya persis kanebo kering dan bicara lebih irit dari bahan bakar mobil papanya.
"Jam berapa?"
Lihatlah, dia bahkan tidak merespon ucapan Lengkara melainkan bertanya hal lain. Akan tetapi, tatapan hangat Bima pagi ini tertuju padanya.
"Jam tujuh, tidurlah lagi kalau masih ngantuk," ujar Lengkara kini duduk di tepian tepat tidur, sementara Bima masih terus menguap dan mengusap wajahnya kasar.
"Tidak lagi, aku harus siap-siap, Ra ... nanti gajiku dipotong seperti katamu," tutur Bima seketika membuat Lengkara tersenyum miring.
Gaji dipotong katanya, seorang putra keluarga Atmadjaya khawatir perihal gaji. Lucu sekali, Lengkara ingin tertawa melihat usaha Bima, dia terlalu baik dan polos untuk menjadi seorang pembohong.
Mata pria itu menunjukkan jika dirinya bukan seseorang yang banyak tingkah, entah apa alasannya hingga mengikuti keinginan Yudha yang Lengkara ketahui pasti sangat memberatkan untuknya.
Hanya berbekal nama saja, Lengkara bisa mengetahui beberapa informasi terkait pria yang kini menjadi suaminya. Memang tidak tertera nama Yudha, sama sekali tidak menyinggung dan jika dibaca dari artikel tersebut, Bimantara Aksa adalah putra sulung Atmadjaya yang kini meneruskan perusahaan papanya.
Khayalan konyol Yudha benar-benar terkabul, apa mungkin karena statusnya sebagai putra konglomerat membuat Yudha jadi seenak hati padanya? Entahlah, untuk hal itu Lengkara memang masih perlu usaha lagi.
Meski sepertinya masih luar biasa mengantuk, Bima tidak kembali meneruskan tidurnya, melainkan berlalu ke kamar mandi meninggalkan Lengkara yang masih terpaku di posisinya.
"Huft syukurlah, dosisnya aman ternyata," ucap Lengkara menghela napas lega, walau jujur saja wajah sembab Bima akibat kebanyakan tidur masih terus membuatnya merasa bersalah.
Usai memastikan Bima masih bangun pagi ini, Lengkara beralih ke dapur dan membantu menyiapkan sarapan seperti kemarin. Dia sudah membiasakan diri sejak lama, bahkan wanita itu meminta asisten rumah tangannya duduk manis di pagi hari.
Tidak berselang lama, Bima turun dengan penampilan yang sudah rapi dan rambut basahnya, kentara sekali buru-buru. Selelah-lelahnya hati Lengkara, dia masih bertahan untuk melayani tanpa memperlihatkan kekesalannya.
Ya, sebenarnya andai ditanya jelas saja ingin marah dan berontak luar biasa. Namun, seperti yang dia katakan sejak awal, biarlah perlahan dia mengetahui sendiri tanpa perlu mengemis penjelasan pihak sana-sini.
Terlalu banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya, tanpa sengaja Lengkara menjatuhkan gelas susu yang hendak dia berikan pada Bima. Sontak hal itu membuat Bima terperanjat, lebih panik lagi kala Lengkara justru berjongkok dan berniat memungut pecahan gelasnya.
"Biarkan disan_ Lengkara!!" Belum selesai Bima bicara, jemarinya kini mengucurkan darah dan membuat pria itu tidak sengaja menarik paksa tubuhnya.
"Sudah kukatakan biarkan saja." Lengkara menyadari Bima berdecak sebelum menghissap ujung jemarinya yang mengucurkan darah itu. Cara Bima bersikap memang sedikit berbeda, dia sesigap itu meminta Lengkara menjauh dari sana, tapi sedikit kasar lantaran panik.
"Bi tolong bereskan ... sama ambilkan obat," pinta Bima masih terus memerhatikan luka di kedua jemari Lengkara.
"Bi bisa cepat sedikit tidak?!!" desak Bima meninggi, sungguh bukan Yudha sekali dan memang dia bisa kasar sewaktu-waktu.
"Jangan kasar, Mas ... salah sendiri pembantunya cuma satu," celetuk Lengkara mendelik tajam ke arahnya, bahkan luka itu tidak lagi terasa sakit sama sekali dibandingkan apa yang mereka lakukan terhadapnya.
.
.
- To Be Continued -
bikin pedih mata...
ada luka yg tak terlihat tp bs dirasa.
kl diposisi lengkara apa jadinya