Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, semua memiliki cerita dan ujiannya masing-masing. Semuanya sedang berjuang, bertahan atau jutsru harus melepaskan.
Seperti perjalanan rumah tangga Melati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Melati dan anak-anaknya pulang terlambat, bahkan sangat terlambat sampai Mas Kalingga menunggunya di depan teras. Ini merupakan yang pertama untuk Melati dan anak-anak pulang larut malam tanpa mengabari Mas Kalingga.
Puluhan kali pria itu menelepon dan mengirim pesan namun tidak ada yang direspon Melati.
Marah? Iya. Mas Kalingga marah tapi lebih pada khawatir terhadap ketiganya. Untuk pertama kali juga baginya tidak menemani Melati dan anak-anak sampai mereka harus pulang larut malam.
"Papa sangat khawatir sama kalian," Mas Kalingga merangkul kedua putrinya. Sekilas dia menatap Melati yang menundukkan kepalanya.
"Maaf, kami terlambat pulang," Sakura yang mengatakan itu. Lalu Mas Kalingga membawa kedua putrinya masuk ke kamar, membantu menyiapkan pakaian ganti lalu menemani kedua putrinya sampai tidur pulas.
Setelah selesai barulah Mas Kalingga meninggalkan kamar Sakura dan Lili. Dia berjalan menuju kamar istri pertamanya. Kali ini Mas Kalingga tidak perlu mengetuk pintu kamar karena tidak dikunci.
Mas Kalingga menemukan istrinya duduk di sofa, dia pun ikut duduk di sampingnya.
"Ibu mengalami kelumpuhan, Mel. Sudah di dua rumah sakit Ibu melakukan pemeriksaan dan hasilnya tetap sama. Mental Ibu terganggu, sejak tadi menangis .Sekarang juga masih menangis terus tidak mau makan." Mas Kalingga membagi cerita sedih tentang Ibunya.
Melati masih diam menyimak dengan isi kepala yang sangat berisik.
"Kemungkinannya lumpuhnya Ibu permanen, Mel. Kecil harapan bagi Ibu untuk bisa kembali berjalan walau dengan perawatan modern. Tapi aku akan coba tetap berusaha membawa Ibu berobat karena Ibu percaya masih bisa jalan." Mata Mas Kalingga berkaca-kaca. Dia sangat sedih dengan kondisi Ibunya. Namun dia selalu tenang bercerita dengan Melati, membagi segalanya berdua.
" Besok kita temani Ibu ke rumah sakit."
"Aku sudah bicara pada pengacara untuk mengurus perpisahan kita."
Kalimat panjang itu yang sama-sama terucap dari Mas Kalingga dan Melati. Namun kata-kata Melati yang menusuk hati Mas Kalingga.
"Pulang larut malam karena mengurus perpisahan kita, Mel." Mas Kalingga menoleh Melati.
"Aku kira kamu kembali lagi ke sini karena mengikuti keinginanku untuk tetap bersama denganku. Mempertahankan rumah tangga yang telah kita bina. Melewati badai ini bersama."
"Maaf, aku sudah membingungkanmu. Tapi aku tidak bisa lagi bersamamu." Pun dengan Melati menoleh ke arah Mas Kalingga, menatap pria itu lekat.
"Kenapa, Mel?."
Melati diam dengan mata berkaca-kaca.
"Mel, aku tidak melakukan perselingkuhan. Aku tidak berbuat macam-macam di luar sana. Aku sudah berusaha menjadi suami, Ayah yang baik. Aku menikahinya karena Ibuku, Mel." Mas Kalingga menangis sambil menjatuhkan tubuhnya di kaki Melati. Dia memegangi tangan Melati, menaruh kepalanya di atas pangkuan Melati.
Melati pun ikut menangis. Semoga ini bukan keputusan yang kesalahan.
Mas Kalingga segera bangkit dan menghapus air matanya saat ponselnya berbunyi. Ibu yang meneleponnya.
"Kamu di mana? Ibu tidak mau tidur sendirian."
"Baik, Bu, aku ke sana sekarang." Mas Kalingga meninggalkan Melati yang masih terisak.
Ini memang sangat menguras semuanya.
Mas Kalingga tidur di samping Ibu, menatap wajah keriput yang terlihat sangat lelah. Dia marah dengan keinginan Ibu tapi tidak sampai menyakitinya. Yang disakitinya justru Melati, Sakura dan Lili.
Di dalam kamar yang lain, berulang kali Viola menarik napas panjang lalu membuangnya. Dia sangat kesal, marah dan kecewa kepada Mas Kalingga. Pria itu sudah tidak sama lagi, cintanya pun mungkin bukan untuknya. Ada nama lain yang telah mengambil alih semuanya, kini dia tidak memiliki tempat.
Tapi tidak mungkin dia membiarkan Mas Kalingga hidup bahagia dengan Melati dan kedua anaknya. Dia harus segera menjadi istri Mas Kalingga satu-satunya. Dia tidak rela Mas Kalingga semakin jauh darinya. Apalagi sekarang dia sedang hamil.
Viola mencari Mas Kalingga, setidaknya dia bisa bernapas lega karena suaminya itu tidur bersama Ibu.
Keesokan paginya.
Ibu yang di tinggal sendiri terus memanggil nama Mas Kalingga dan Viola. Namun kedua orang itu tidak ada yang datang menemuinya.
"Kalingga! Viola!."
Sekuat tenaga Ibu kembali memanggil nama kedua orang itu namun jutsru yang datang adalah Melati.
"Ibu perlu sesuatu?," tanya Melati.
"Pasti kamu tidak mau membantuku," tebak Ibu sambil membuang muka.
"Katakan saja, Bu, apa yang bisa aku lakukan untuk Ibu?. Aku ada di sini siap membantu." Melati tidak mau kalah dengan gengsi Ibu, wanita itu membujuknya bicara.
"Aku pup karena sudah tidak tahan," lirihnya sambil menatap Melati malu-malu.
Melati tersenyum sambil mendekat.
"Aku bersih 'kan, ya, Bu?."
Ibu mengangguk.
Sebelum itu Melati sudah menyiapkan segala perlengkapan yang dibutuhkan kemudian baru membersihkan kotoran Ibu. Untungnya Ibu sudah menggunakan diapers jadi Melati tidak terlalu kesulitan membersihkannya.
Sekalian saja Melati mengelap tubuh Ibu dengan air hangat supaya merasa lebih nyaman. Sudah mau selesai Melati membersihkan tubuh Ibu barulah Viola dan Mas Kalingga datang namun Viola keluar lagi karena teleponnya yang berdering.
"Mas bantu, Mel," Mas Kalingga menyodorkan diapers baru pada Melati lalu dipasangkan pada Ibu.
"Kamu dan Viola ke mana saja? Ibu panggil-panggil dari tadi juga." Omel Ibu pada putranya.
"Aku tidak mendengarnya, Bu." Sambil menggendong Ibu karena Melati mau mengganti sprei.
"Makanya jangan sering-sering menggauli Viola. Makanya kamu tidak dengar panggilan Ibu. Lagi pula nanti saja kalau sudah mau lahiran baru kamu harus sering menjenguknya supaya mempermudah jalan lahir. Viola sangat ingin melahirkan normal." Ibu sengaja mengatakan itu kencang-kencang untuk membuat Melati marah. Mata Ibu pun tidak lepas dari Melati yang sibuk dengan pekerjaan.
Mas Kalingga tidak mengomentari Ibu, lalu kemudian dia meletakkan Ibu kembali di atas tempat tidur. Dan Melati keluar membawa pakaian kotor. Mas Kalingga hanya menatapnya.
"Mau makan, Bu?."
"Ibu tidak selera, Kalingga."
"Terus Ibu mau apa?."
"Ibu mau jalan, Kalingga. Ibu tidak mau menjadi orang sakit. Pasti Melati senang Ibu sakit." Sambil menangis.
"Astagfirullah, Bu, Mana ada Melati seperti itu. Melati selalu menyayangi Ibu walau Ibu selalu menyusahkannya. Bahkan Ibu sudah menyakitinya dengan memintaku menikahi Viola. Tapi tidak sedikitpun Melati marah sama Ibu."
Kini Ibu bungkam, kemudian Viola datang.
"Aku harus ke ke rumah sakit jadi Ibu aku tinggal."
"Iya, Viola." Ibu langsung memasang wajah sedih karena Ibu sangat berharap Viola mau menemaninya. Ibu malas harus ditemani Melati.
"Kamu tidak usah bekerja, Kalingga. Ibu mau kamu di sini menemani Ibu."
"Iya, Bu." Mas Kalingga tidak menolaknya.
"Tapi sekarang antar aku ke rumah sakit, Mas."
Mas Kalingga hanya mengangguk.
Ponsel Mas Kalingga berdering saat mobil sudah di jalan raya. Viola segera menekan warna hijau namun dia juga mengaktifkan pengeras suara.
"Pak Kalingga ke kantor hari ini?."
"Tidak, ada apa?."
"Aku mau membicarakan pengajuan perceraian yang diminta Ibu Melati."
Seketika wajah Viola semringah, tanpa perlu usaha apapun akhirnya Melati mundur dengan sendirinya.
"Baik, Pak, kami akan sana" jawab Viola bersemangat.
Bersambung