Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.
Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?
Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama Kafe
Part 17
Aku duduk di meja pelanggan, memesan makanan dan juga minuman.
"Bu, maaf kenapa duduknya di sini, ibu bisa duduk di meja ibu," ucap seorang pelayan mendekatiku.
"Sssttt, layani aku seperti seorang pembeli," ujarku seraya menyender ke kursi, mengangkat kaki kanan dan ditumpangkan di atas kaki kiriku.
"Baik, Bu. Silakan mau pesan apa?" tanyanya.
"Coffe matcha aja."
"Baik."
"Sama sosis bakar dan burger aja deh," tambahku.
Pelayan tersebut mengangguk, namanya Rendi. Dia kalem, lembut, hitam manis, dan sangat sopan kalau berbicara. Soal umur, dia seumuran dengan Gian karena masih 20 tahun.
Wanita itu memperhatikanku dari kejauhan. Tatapan matanya sinis, tajam, tetapi seperti merendahkan. Dari awal masuk dia nampak tidak suka dengan caraku.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, Rendi membawakan pesananku dan menatanya di atas meja.
"Silakan, Bu."
"Makasih."
"Ren?" tanyaku.
"Iya Bu," jawabnya menatapku.
Aku melihat ke arah gadis itu untuk memastikan bahwa dia sedang tidak memperhatikanku.
Sedari tadi dia seperti membersihkan sesuatu di pintu masuk utama, entah seorang cleaning service atau bukan, aku tidak tahu karena tidak diberitahu.
"Siapa perempuan itu?" tanyaku membuat dia menatap sekilas ke arah perempuan itu kemudian kembali menatapku. Dari raut wajahnya nampak bingung untuk berbicara.
"Emh, itu ... dia ... dia pelayan baru di sini, sambil sekalian tukang bersih-bersih juga," jawabnya terjeda-jeda, terlihat sekali dia gugup.
"Hah? Perintah siapa di di sini? Dan Pak Tono ke mana?" tanyaku menekan sampai membulatkan mata hingga membuat dia menunduk.
Aku benar-benar geram, karena tidak diberitahu tentang hal ini.
"M-maaf, Bu. Ini juga perintah atasan kami, Pak Hendra. Waktu itu saya mau beritahu ibu, tetapi dia melarang dan Pak Tono sudah dipecat olehnya."
Aku menghela napas panjang, berusaha untuk tidak marah dan ngamuk di sini.
"Apa dia dites saat masuk?"
"Saya kurang tahu, Bu."
"Ya sudah, sana. Biarkan saya di sini!" ujarku menatap geram, Rendi pun berlalu pergi.
Aku pikir, aku mempercayakan tugasku kepada orang lain itu adalah hal yang benar, tetapi ternyata salah dan tidak boleh percaya begitu saja meskipun dia orang terdekat.
Hanya beberapa bulan saja aku menitipkan kafe ini, mungkin baru dua bulan saja, tetapi sudah berubah drastis. Papan kayu dan juga kertas yang berisi kata-kata ciri khas SL pun sudah pada dilepas dari tempatnya, padahal itu adalah ciri khas kami dan awal aku merintisnya. Tapi sekarang sudah terlepas bahkan sepi, entah apa penyebabnya. Bagaimana mau lanjut buka cabang jika pusatnya saja berantakan.
Prakkk!
Aku memecahkan gelas beserta isinya sampai dia menengok ke arahku.
Aku melihatnya dia berlari penuh emosi menghampiriku.
"Heh, mbak. Kalau beli di sini tuh minimal menjaga, hati-hati dong kayak bisa ganti aja," omelnya marah-marah.
Wiiih ngeri juga pandangannya, terlihat sekali dia kesalnya. Apa karena penampilanku yang asal-asalan? Pake kaos putih, kerudung hitam, dan rok hitam. Rasanya tidak terlalu gembel, kan tidak robek. Tetapi dia menatapku seperti sangat rendah, apa karena anak kampus selalu elegan, rapi, baju bagus, bawa tas jinjing, sedangkan aku tidak membawanya.
"Maaf mbak, saya gak sengaja."
"Dari awal, saya sudah ngira kalau mbak ini bermasalah, tiba-tiba masuk nyelonong gak bawa-bawa apa pun bikin saya bertanya-tanya."
"Mbak mau bayar ini pake apa!" bentaknya membuatku kaget. Ingin rasanya aku menampar wajahnya, Rendi dan juga Pian hampir saja menghampiriku, tapi aku memberikan kode untuk mereka diam.
"Tapi di sini kan bebas masuk selagi membeli."
"Iya, tapi ini gelasnya sampai pecah emang berani ganti! Harganya aja 200 ribu!"
"Astagfirulloh, mahal banget," ucapku pura-pura kaget.
"Kenapa, kaget? Ada uangnya gak?"
Aku mengeluarkan uang 50 ribu dari balik softcase HP.
"Maaf mbak, saya cuma punya segini.
"Makanannya udah dibayar?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
"Astaga! Makanannya aja ini mahal mbak, ya kali mau bayar pake 50 ribu, gak cukup ini mbak. Di tambah gelas pacah, ini totalannya 270 ribu. Kalau miskin jangan belagu datang ke sini dong!" umpatnya membuatku benar-benar ingin marah saat ini juga tetapi masih ditahan.
"Terus saya harus gimana?" tanyaku dengan nada lemah.
"Ya mbak harus ganti! Sebelum saya laporkan bos saya."
"Tapi saya hanya punya uang segini mbak, gapapa ini aja."
"Mbak, please lah. Ini mana cukup buat ganti! Perempuan itu terus saja mengomel dan marah-marah, entah punya penyakit mental apa sampai dia meledak-ledak terus-terusan.
"Kalau miskin gak punya duit, jangan coba-coba masuk ke kafe. Ini kafe cuma buat orang kaya aja!"
"Emang aturannya begitu?"
"Ya iyalah, makanya lu salah masuk kalau cuma bawa uang segitu, kalau cuma buat gaya-gayaan upload sosmed lu bener. Gue gak mau tahu, lu harus ganti!" Seketika bahasanya berubah, mengumpat, merendahkan, dan menyepelekan.
"Kalau pakai hp saya boleh ngga mbak? Saya kira di sini sama seperti kafe biasanya."
"Ya kali kafe ini disamain sama yang lain, beda kelas kali. Mana sini lihat HP-nya."
Dia merebut HP ku secara paksa dari tanganku, dia menatapnya nyinyir.
"Baru keluar dari goa batu, ya? Ini HP zaman apa? Android bukan apalagi Iphone."
Aura menghina dan nyinyir kuat sekali.
"Tapi itu bisa kok, dipakai nelpon."
"Bisa, tapi gak bisa pake WA."
Sengaja aku membawa HP jadul dan menyimpan HP pribadi dan bisnisku di mobil.
"Paling ini cuma 20 ribuan. Parah banget anjir, gaya elit ekonomi sulit."
"Sudahlah mbak, jangan banyak omong berikan saja ponselnya," ujarku.
"Nih! Gue gak butuh HP butut. Gak mau tahu lo harus ganti rugi!"
"Ya mbak biar saya nelpon orang lain dulu untuk bantu saya."
Dia memberikan hp ku seperti melempar, gedeg sekali rasanya ingin membalas.
Aku pun menelpon seseorang dan menyuruh datang ke sini.
"Halo, cepat datang ke sini ke SL," ujarku tanpa basa-basi dan langsung menutupnya kembali.
"Sudah nelponnya? Sekalian beresin dong bekasnya!" suruhnya sambil menendang meja.
"Mbak, kalau dipecat saya syukuran. Gak ada sopan dan baik-baiknya kalau bicara."
"Heh miskin, lu ga suka gue, gue gak peduli. Gue digaji gede dan lo buat bayar makanan aja ga mampu!" sungutnya kembali mengumpat.
20 menit sudah berlalu, akhirnya Hendra pun datang.
Perempuan itu menyambut dan menghampirinya, seperti mengadukan perbuatanku.
"Ini nih, Pak. Dia masuk beli makanan, terus mecahin gelas dan gak bisa bayar," cerocosnya.
Hendra menatapku cemas, dia diam tidak langsung menggubris. Aku menatapnya kembali dengan tatapan sinis dan kecewa.
"Kamu marahin dia?" tanya Hendra.
"Tentu saja, orang dia miskin belagu, pengen gaya-gayaan doang ke sini."
"Kamu tahu dia siapa?" tanya Hendra.
Sebelum gadis itu menjawab aku langsung angkat bicara.
"Gak usah tanya-tanya aku siapa-aku siapa. Yang sekarang aku ingin tanya, siapa yang kasih izin perempuan kerja di sini!? Siapa yang lepasin tulisan-tulisan SL ini!? Dan sejak kapan kafe ini hanya boleh didatangi orang-orang yang turun dari mobil, hanya tempat pertemuan meeting saja, bukan tempat orang lain yang ingin jajan, nongkrong atau ngerjain tugas. Sejak kapan aturan itu berubah ha!?" Emosiku meluap-luap perempuan itu seketika kaget menatap Hendra, terlihat wajah Hendra pucat.
"Aku percayakan ini ke kamu, aku pikir kamu orang bener. Sebenernya lu mau apa sih? Pengen nguasain segalanya? Pengen ngerusakin usaha gue atau pengen apa? Lu bilang kita temen, tapi ternyata lu ular berbisa!" Cecarku penuh kecewa, sampai tidak terasa aku meneteskan air mata.
Rendi dan Pian pun menghampiri kita semua kecuali yang bertugas di dapur, mereka tidak keluar tetapi pasti mendengar.
"Bentar-bentar, ini maksudnya apa sih, Hen?" tanya perempuan itu panggilannya berubah seketika.
"Jelasin semuanya sama aku Hendra, dia siapa?" tanya dia sekali lagi.
"Dia pemiliknya," jawab Hendra membuat perempuan itu menutup mulut dengan sebelah tangannya.
"Stop dramanya, saya gak akan peduli kalian siapa. Yang jelas sekarang, maaf Hendra saya kamu pecat, sekalian bawa perempuan ga berguna ini, yang adabnya seperti iblis, omongannya menggongong seperti anjing!" umpatku dengan tubuh gemetaran.
Rasanya kecewa sekali, aku merintis habis-habisan, dengan mudahnya ingin dihancurkan oleh orang lain dan sekarang aku harus memperbaiki lagi.
"Tapi, Mel. Aku kerja di mana lagi setelah ini? Ya maaf aku salah karena bawa dia, tapi aku gak punya pilihan, Mel," ucap Hendra memohon.
"Emangnya dia siapa, ha?" tanyaku marah.
"Dia pacarku, kalau aku gak bawa dia ke sini. Aku putus!"
"Bego!" umpatku.
"Iya memang aku bego, tapi bukan perkara ini saja. Dia ambil semua uangku dan dia maksa minta kerja bareng aku, masih syukur aku gak turutin kemauan dia untuk mengganti aku!"
"Jahanam!" Sebutku karena benar-benar kecewa.
"Angkat kaki dari tempatku ini! Cepat! Dan lu perempuan toxic yang seperti iblis setan! Pergi lu juga dari sini! Jangan harap uang sepeser pun dari sini! Beresin semuanya Hendra!" tegasku tanpa ampun, aku tidak peduli ucapanku kasar. Inilah aku sebenarnya.
"Tapi, Mel. Please, Mel. Aku minta maaf."
"Heh kamu! Awas ya," geram perempuan itu.
"Harusnya lu ngaca, sadar diri, kalau mau duit lu usaha, jangan morotin duit orang lain, bukan juga maling. Sebenernya yang miskin itu siapa?!"
Dia diam.
"Dan kamu Hendra, aku gak mau kasih kamu kesempatan lagi, kamu bener-bener mengecewakan. Kamu rekrut dia tanpa izin sama aku, dan kamu juga tahu aturan di sini tidak boleh ada karyawan perempuan!"
"Iya, Mel. Aku minta maaf!" Hendra bersujud kepadaku, begitupun si cewek itu. Tapi aku gak bisa memberikan kesempatan kedua, karena aku sudah tidak percaya.
"Angkat kaki dari sini sebelum aku yang seret kalian!" Teriakku.
"Harusnya kalian mikir bukan nyalahin orang lain!" Lanjutku.
"Pergi kalian! Bukan aku yang menyakiti kalian tetapi kalian sendiri yang menyakitiku bahkan berkhianat!"
"Pergi!" Usirku menunjuk keluar. Hendra masih belum berubah dari posisinya.
Aku merogoh saku rok dan menelpon seseorang.
"Halo, Des. Kerahkan anak buahku ke sini buat usir mereka. Lokasi SL."
Seketika Hendra langsung mengangkat kakinya menatap ke arahku setelah ponsel kembali ke tempatnya.
"Mel?"
"Iya. Silahkan pergi jika tidak ingin dipaksa." ujarku menyeringai.
"Tapi, Mel!"
"Putuskan cewek ini sekarang kalau mau bertahan!"
"Jangan gitu lah, Hen. Lo pikir lo siapa mau mutusin gue, gue tahu lo yang cinta mati sama gue!"
"Terserah, untuk saat ini lebih baik aku putus sama kamu. Aku mau bertahan di sini."
"Lah, gak bisa gitu dong Hendra. Lo sudah gue kasih apa yang lo mau dan lo mutusin gue!"
"Dan lo sudah ambil apa yang gue miliki juga Winda!"
"Sudahlah jangan berantem di sini, lagian sih otak lu di mana sih, Hen?" Aku malah ingin menghardik.
Dua mobil sudah datang.
Empat orang suruhanku datang ke kafe, mereka masuk semuanya dan langsung bertanya.
"Maaf, Bu. Apa tugas kami?" tanya mereka.
"Seret orang ini dan bila perlu seret ke penjara juga gapapa."
"Hah, gak mau, aku gak mau! Maafin aku mbak, aku gak mau dipenjara." Aku melihat kepanikan dari perempuan itu begitu juga Hendra.
"Mel, kamu ...?"
Ya masa iya dimasukin ke penjara kan aku ga punya bukti apa pun dan atas kasus apa? Penipuan? Tidaklah.
Paling tidak mereka akan disimpan di suatu tempat untuk kupekerjakan sesuai prilaku mereka.
"Apa Hendra? Hal yang berlebihan akan kubalas secara berlebihan," kataku ketika dia menatapku dengan lekat.
Perempuan bernama Winda itu diseret oleh para anak buahku sedangkan Hendra, aku hentikan sebentar.
"Ikuti arahanku dan pergilah bersama mereka!" titahku.