Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pak Bos Terluka
Dinda diam sepanjang jalan.
Setelah Tristan sadar, Bosnya itu akhirnya bisa menyetir kembali dengan kesadaran penuh.
Tristan menawarkan untuk mengantarkan Dinda pulang langsung ke rumahnya namun niat baiknya langsung mendapatkan penolakan.
"Kamu ngapain turun di sini? Udah larut, nanti nggak ada taksi lagi."
Dinda memutuskan untuk turun di depan rumah sakit.
"Nggak apa-apa, Bos. Lagi pula saya memang niatnya akan menginap di rumah sakit malam ini. Terimakasih untuk tumpangannya, Bos hati-hati ya."
Tristan menatapnya lama.
"Kamu yakin nggak diantar ke rumah saja?"
"Enggak, di rumah juga ngga ada siapa-siapa."
Tristan berulang kali melihat bangunan besar di hadapannya lalu menatap asistennya.
"Sampai jumpa besok pagi pak Bos, bye bye!" Dinda melambaikan tangan dan segera masuk, Tristan menatapnya hingga gadis itu menghilang di balik gerbang.
"Bye bye."
Setelah tiba di ruang rawat, orang yang menjaga Nenek Laila-neneknya Dinda pun pamit untuk pulang.
"Aduh, Din. Lo kemana aja sih? Lo telat 5 jam tahu nggak."
"Sorry deh, tadi ada urusan kantor yang mendesak jadi ngga bisa langsung pulang,
besok lo datang lagi kan? Pliese."
"Oke, tapi bonus gue tambahin."
"Oke." Siska yang menjaga nenek Layla pun pergi.
Dinda menatap lekat kondisi sang nenek, dia adalah satu-satunya keluarga yang gadis itu miliki.
Nenek Layla menderita sakit diabetes dan memiliki tekanan darah yang tak terkendali. Dinda membawanya ke rumah sakit berharap kesehatan neneknya bisa cepat pulih dan stabil, tapi sampai di rumah sakit, neneknya justru semakin parah dan diharuskan di rawat inap.
"Nenek cepet sembuh ya, Dinda kangen banget makan masakan nenek."
Wanita tua itu tak bergerak, Dinda menghela nafas panjang lalu mundur untuk istirahat.
Hari ini begitu melelahkan. Ada banyak tugas dan laporan yang harus dia kerjakan.
Gadis itu termenung, dia tiba-tiba memikirkan bagaimana Tristan memeluknya erat. Bagaimana lelaki itu menyentuhnya dan menganggap dirinya sebagai Nana.
Kontak fisik ini berhasil mengacaukan pikirannya, dia bahkan terpukau saat Tristan memintanya untuk mencintainya.
"Ada ya, cowok ganteng, baik dan se dewasa itu tapi masih terkurung dengan cinta masa lalu, heran."
Sejenak, timbul perasaan peduli akan nasib pimpinannya itu.
"Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan. Memangnya kenapa jika Pak Bos terus melajang. Biarin aja, sekertaris hanya mengurus pekerjaan bukan dengan masalah pribadi."
Dinda bangkit untuk membersihkan wajah, di saat yang sama. Daren menelpon ke ponselnya.
Suara berisik terdengar dari ruang rawat, Dinda kembali keluar dan melihat nomor baru di sana.
"Siapa ini?"
[Halo.]
[Woy, lo dimana?] suara bernada ngegas membuat Dinda kembali melihat nomor ponsel itu.
"Siapa sih nih, galak banget."
[Dinda Kanya! Gua tanya sekarang lo dimana?]
[Kok lo bisa tahu nama gue?]
[Gua Daren, cepet jawab sekarang lo dimana?]
[Oh, Pak Daren. Saya di rumah lah, Pak. Dimana lagi?]
[Tristan mana?]
[Ya mana saya tahu, pulang ke rumahnya kali.]
[Kali? Dinda, lo itu sekertaris nya Tristan. Lo paham ngga sih?]
[Paham, tapi sekarang sudah bukan jam kerja, Pak. Udah mau tengah malam, ya pasti saya pulang dong. Masa iya, saya ikutin Pak Bos terus.]
[Dinda Kanya Putri, hal itu tidak berlaku jika bos sedang mabuk. Tristan sering tak terkendali jika dia mabuk. Bahaya jika dia kenapa-napa.]
[Kayaknya ngga deh, Pak. Soalnya saya pulang aja dianterin sama Pak Bos tadi.]
[Di anterin?]
[Iya, Pak.]
Daren terdiam di ujung sana.
[Halo, Pak?]
[Gini aja, Dinda. Sekarang lo telepon Tristan sekarang, dan tanya dia di mana.]
[What? Kenapa harus saya, Pak? Bapak aja.]
[Dinda, jangan sampai gua tagih uang baju lo ya, buruan. Terus laporan ke gua nanti, ngerti?]
Dinda menghela nafas panjang.
[Ngerti nggak?]
[Iya Pak, ngerti. Tapi maaf aja nih, saya sama Pak Tristan belum tukeran nomor telepon.]
[Tukeran, emang nomor lu sepenting apa sampai Tristan harus save nomer lu, Din! Gemes gua lama-lama.]
[Ya jadi gimana dong?]
[Bentar, gua kirimin lu nomornya, jangan lama, dan jangan sampai ketahuan kalau gua yang nyuruh lu nelpon.]
[Emang kenapa, Pak? Kok bapak takut ketahuan?]
[Dinda?]
[Iya, iyaaa.] Panggilan berakhir dan Dinda mendapatkan nomor telepon Tristan Bagaskara.
"Ya Tuhan, apa coba alasannya gue nelpon dia. Pak Bos bisa mikir yang nggak nggak tentang gue."
Meski cemas, Dinda tetap melakukan panggilan.
Suara dering telepon terdengar beradu, Dinda terpejam gugup sampai terdengar bunyi dan klik kemudian.
[Hallo.] Suara khas terdengar di ujung telepon.
Dinda mematung.
Dia sadar Tristan sedang mabuk.
[Halo, Pak. Bapak dimana?]
[Siapa nih?] tanya yang bersankutan.
[Saya Dinda, Pak. Hehe.]
[Ada apa, Din? Kamu ngga dapat taksi?]
Dinda ngga tahu harus menjawab apa.
[Ekheem, bapak dimana?]
[Saya udah nyampai rumah, kenapa?]
[Enggak apa-pa, Pak. Saya cuma mau nanya, ya udah, bapak Istrahat ya, sampai jumpa besok.]
[Hemm.]
Panggilan berakhir dan Dinda langsung menelpon Daren.
[Ya, Din?]
[Halo, Pak. Pak Tristan udah nyampe rumah tapi....]
[Tapi, apa?]
[Pak Tristan kayaknya mabuk lagi, Pak.]
[Ya Tuhan, terus gimana? Lu bisa ngga cek keadaannya?]
[Aduh, Pak. Sebenarnya saya lagi di rumah sakit, jagain nenek saya. Yang jaga pagi udah pulang, Pak. Saya ngga bisa kemana-mana.]
Dinda sampai mengirimkan foto dimana neneknya sedang istrahat.
[Ya udah, thank you ya, Din.]
[Sama-sama, Pak.] Panggilan berakhir dan Dinda termenung.
Dia menatap neneknya yang tertidur pulas dan memikirkan bosnya.
"Enggak, dia harusnya sudah aman. Dia kan sudah sampai rumah."
Dinda merasa Daren hanya berlebihan, gadis itu memutuskan untuk tidur karena besok pagi harus berangkat dan membicarakan kerja sama dengan grup Huwae.
****
Ke esokan harinya.
Matahari bersinar cerah dan Siska datang jam 06:30, saat temannya itu sudah stay merawat Nenek Layla, di saat itu juga Dinda berangkat ke kantor.
"Din, malam ini pulangnya jangan sampai telat, ya. Gua ada janji sama temen di luar, ini kan malam Minggu."
"Oke deh, Sis. Kalau ada apa-apa, telepon gue ya."
"Oke, bye."
"Bye."
Dinda bergegas menuju ke kantor, waktunya mepet dan segera menaiki ojek.
"Pak Tristan udah nyampe kantor belum ya? Moga aja belum."
20 menit kemudian.
Dinda tiba tepat waktu.
Gadis itu membayar ongkosnya dan segera masuk ke dalam gedung. Para staf berkumpul di lobby, namun Dinda tak menghiraukan. Dia segera mengisi absen dan menuju ke ruangannya.
"Pagi, Bu Dinda."
"Pagi, Pak." Seorang OB menyapa saat gadis itu akan masuk ke lift.
"Buru-buru banget, Bu."
"Iya, Pak. Oh iya, apa Pak Tristan udah nyampe?"
"Pak Tristan? Lah, bukannya Pak Tristan sekarang di rawat di rumah sakit, Bu?"
"Hah?"
Dinda terkejut dan menahan pintu liftnya.
"Bapak jangan bercanda, gimana bisa Pak Tristan masuk ke rumah sakit?"
OB itu menatap sekeliling, Dinda kini menyadari jika orang-orang di kantor kini sedang menatapnya.
"Semalam, Pak Daren menelpon. Nyuruh security datang ngecek ke rumah Pak Tristan. Sampai sana, pintu rumah ngga di buka. Atas perintah Pak Daren, pintu rumah Pak Tristan terpaksa di dobrak sama anak-anak, pas masuk da ketemu lah Pak Tristan jatuh deket sofa, kepalanya luka dan dibawa ke rumah sakit."
"Kepalanya luka?" Dinda tercengang
"Rumah sakit mana?"
"Rumah Sakit Kencana."
"What, itukan rumah sakit tempat nenek di rawat."
Dinda pun bergegas pergi.
"Terimakasih informasinya, Pak."
Gadis itu bergegas tak peduli lagi dengan pekerjaan yang menunggu hari ini. Dia kembali mencari kendaraan untuk tiba di rumah sakit.
"Ya Tuhan, kok bisa sih jatuh dan terluka. Dia bukan anak 5 tahun yang ditinggal sendirian di rumah."
Setelah mendapatkan taksi, Dinda menuju ke rumah sakit.
****
Daren menghela nafas melihat keadaan sahabatnya, Tristan tampak nyenyak dan belum juga bangun. Saat pintu ruangan itu di ketuk. Daren bangkit untuk membukakan.
Pemuda itu terkejut melihat Dinda datang sepagi ini menemui sahabatnya.
"Pak Daren, jadi bener Pak Tristan dirawat di rumah sakit?"
Daren menghela nafas berat, dia menyilangkan tangan di dada melihat tingkah gadis itu.
"Lu nanya, apa pura-pura nanya?"
"Saya serius, Pak."
Melihat gadis itu benar-benar cemas, Daren pun mengizinkannya masuk.
"Tristan jatuh, kepalanya membentur meja."
"Ya ampun, jadi sekarang gimana, Pak?"
"Ya mau gimana lagi, kita harus sabar nunggu dia siuman."
"Hah, siluman?"
Daren menatap tegas.
"Siuman Dinda, kenapa sekarang lu jadi jompo, tuli banget sih."
"Sorry, Pak. Saya memang kadang gitu kalau lagi panik."
"Berisik, diam aja, biar dia istrahat."
"Baik, Pak."
"Mumpung lu di sini, gua keluar bentar, awas kalau lu kemana-mana."
"Iya, siap Pak Daren. Saya janji ngga akan ke mana-mana."
lnjut thor
kalau bos mu tak bisa melindungi ya sudah kamu pasang pagar sendiri aja ya
kejar dia, atau justru anda yg akan d tinggalkan lagi
bikin ketawa sendiri, makin rajin upnya ya thor,