Nayanika memang tidak pandai mencari kekasih, tapi bukan berarti dia ingin dijodohkan.
Sialnya, kedua orangtuanya sudah merancang perjodohan untuk dirinya. Terpaksa Naya menikah dengan teman masa kecilnya itu, teman yang paling dia benci.
Setiap hari, ada saja perdebatan diantara mereka. Naya si pencari masalah dan Sagara si yang paling sabar.
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Mas apakan Naya? Kalau Eyang Kakung tau, habis kamu, Mas." Rahayu menatap tajam Sagara yang sedang mengelus kepala Naya. Sedangkan Naya masih memejamkan matanya.
Alzio ke luar mencari makanan untuk Naya, sesuai apa yang Sagara perintahkan.
Sagara diam tak menjawab pertanyaan Rahayu. Hal itu tentu membuat Rahayu kesal.
"Punya istri bukannya disayang malah disiksa. Bosan hidup ya kamu?" cibirnya.
"Lebih baik kamu pulang," ujar Sagara tanpa menatap adiknya.
Rahayu semakin kesal karena diusir. "Ingat ya, kalau kamu masih nyakitin Naya terus, aku aduin Eyang Kakung!"
Setelah itu Rahayu keluar dari sana. Bertepatan dengan itu, Naya membuka matanya perlahan. Elusan di kepalanya membuat Naya merasa nyaman. Dia mendongak menatap Sagara yang juga menatapnya. Tidak ada senyum, hanya tatapan datar namun terkesan lembut dan penuh kasih sayang.
"Maafin saya," ucap Sagara.
Naya menghela nafas. Dia memegang perutnya yang masih terasa perih.
"Tunggu sebentar, Alzio lagi beli makanan buat kamu."
Ingin marah rasanya terlalu labil, tapi menerima lapang dada juga tidak mau. Naya bingung harus bersikap bagaimana setelah Sagara membuatnya kelaparan.
"Saya lupa kalau kamu masih di kamar." Sagara menghela nafas, dia terlihat menyesal. "Harusnya saya gak perlu kurung-kurung kamu tadi. Maaf, ya?"
Naya masih tetap diam.
"Sebagai gantinya, saya traktir makanan apapun yang kamu mau. Gimana?"
Meski tertarik, Naya berusaha tidak goyah.
"Boleh makan bakso beranak, tapi gak boleh banyak-banyak. Satu porsi satu hari," lanjut Sagara.
"Oke," lirih Naya.
Sagara tersenyum tipis, akhirnya Naya mau bersuara juga.
****
"Jadi di rumah Saga ndak ada pembantu?"
Eyang Kakung baru mengetahui hal itu.
"Iya, Eyang. Marahin Mas Saga, dia tega bikin Naya kecapekan," ujar Rahayu.
"Eyang kira ada pembantu di sana. Astaga, kenapa Saga ndak bicara tentang hal ini?"
Rahayu mengendikkan bahunya.
"Sepertinya itu karena permintaan Arunika, Pak." Kejora datang membawa teh untuk mertuanya.
"Permintaan? Apa maksudnya?"
"Aru mau anaknya mandiri. Dia berharap Naya bisa jadi istri yang baik buat Sagara," jelas Kejora.
"Ndak bisa begitu. Istri yang baik bukan tentang bisa mengurus rumah, tapi melayani suami. Sudah, nanti bilang ke suami mu, kirim 3 pembantu ke rumah Saga," ujar Eyang Kakung.
Kejora hanya mengangguk. Keputusan Eyang Kakung sudah tidak bisa diganggu gugat.
Cukup sudah pernikahan Sagara dan Naya yang tidak dirayakan besar-besaran, Eyang Kakung tidak mau lagi menuruti mereka. Dia ingin memanjakan cucu-cucunya. Mana rela dia membiarkan Naya yang mengurus rumah.
Tanpa Eyang Kakung ketahui, Sagara lah yang berperan penting dalam membersihkan rumah.
Di sisi lain, Sagara dengan telaten menyuapi Naya. Ini adalah porsi kedua, Naya benar-benar kelaparan. Bukan bakso, melainkan ayam bakar yang dibeli oleh Alzio tadi.
"Lagi?" tanya Sagara, dia mengusap sudut bibir Naya yang belepotan.
Naya menggeleng sambil meminum teh hangat buatan Sagara.
"Kamu gak usah kerja di sana lagi. Saya sudah mengirim surat pengunduran diri kamu ke sana," ujar Sagara.
Naya hanya diam sambil terus menyeruput teh hangat tersebut.
"Kalau kamu mau marah, silakan. Saya melakukan ini demi kamu. Kamu mau apa? Saya belikan, saya kasih uang, gak perlu kerja capek-capek," lanjut Sagara.
Meski ada rasa tidak terima, tapi Naya berusaha patuh pada suaminya. Seperti apa yang mamanya katakan, kalau dia harus patuh pada Sagara.
"Iya," lirih Naya.
"Kalau kamu bosan di rumah, kamu bisa ke mansion Eyang Kakung, di sana ada bibi sama mama yang bisa temani kamu."
Naya mengangguk.
Melihat Naya menurut padanya, Sagara tersenyum tipis. Dia menarik Naya ke dalam pelukannya.
"Kita memang dijodohkan, Naya. Tapi, saya berusaha menerima dan mempertahankan pernikahan ini. Gak apa-apa kalau kamu gak cinta sama saya, seiringnya waktu, cinta itu akan tumbuh secara perlahan. Jadi, jangan pernah berfikir untuk meninggalkan saya, ya?"
Perkataan Sagara membuat mata Naya berkaca-kaca, entah kenapa dia begitu sensitif saat mendengar ucapan suaminya.
"Maaf kalau aku sering nyusahin kamu," lirih Naya. Bibirnya melengkung ke bawah bersiap menumpahkan air matanya.
"Saya suka direpotin sama kamu. Bergantung sama saya, jangan orang lain. Kalau kamu butuh apa-apa, langsung bilang sama saya, hm?"
"Iya ... hiks ..."
Sagara tersenyum geli mendengar isakan kecil itu. Dia semakin mengeratkan pelukannya.
Semoga saja tidak ada masalah yang membuat mereka berpisah nanti. Sagara akan membimbing Naya, dan Naya akan menjadi istri yang baik mulai detik ini. Dia tidak mau terus-terusan merepotkan Sagara.
****
Esoknya, Sagara mengajak Naya ke mansion Soedjodjo. Tentunya di sana tidak pernah sepi. Kebetulan hari ini ada Radengga Abimanyu beserta istri dan anaknya, Khaluna dan Mia yang berumur 5 tahun.
Saat Sagara dan Naya baru menginjakkan kaki di dalam mansion itu, dua bocah berbeda gender berlari ke arah mereka dengan senyum lebar.
"Kak Gala!"
"Om Gala!"
Sagara berjongkok dengan satu kakinya untuk menyambut pelukan mereka. Sedangkan Naya hanya diam saja menatap ketiga manusia itu. Dia tidak dekat dengan mereka.
"Mana oleh-oleh na?" Mia melepaskan pelukannya, begitupun dengan Jairo.
Untungnya Sagara sudah membelikan jajan untuk mereka. Naya yang paham pun langsung memberikan plastik putih yang dia bawa pada kedua bocah itu.
"Jangan rebutan, ya," ujar Naya.
Mia dan Jairo memekik kegirangan. Kedua tangan mungil mereka menerima plastik tersebut.
"Makacih!" ucap Mia dan Jairo bersamaan. Sagara mengangguk sambil menepuk puncak kepala mereka.
Setelah mendapatkan apa yang mereka mau, keduanya langsung pergi.
Begitupun dengan Sagara yang segera berdiri. Dia menoleh menatap Naya yang terus memandangi Mia dan Jairo.
"Yang perempuan namanya Mia, anak Radengga sama Luna. Kalau yang laki-laki namanya Jairo, anak Bibi Pelita sama Om Agha," jelas Sagara.
Naya mengangguk paham. Jujur saja, keluarga Sagara yang cukup banyak membuat Naya pusing. Terlebih dia tidak terlalu mengenali mereka. Selain dua bocah tadi, pasti ada anak-anak yang lain pula.
Sagara menggandeng tangan Naya dan melanjutkan langkah mereka menuju ruang keluarga. Sekarang sudah sore, tentunya semua orang juga sudah di rumah untuk istirahat.
"Wahh, lihat siapa yang datang." Kejora beranjak dari duduknya dan menghampiri anak serta menantunya. Dia antusias sekali akan kedatangan Naya dan Sagara.
Naya memeluk Kejora setelah menyalami tangannya. "Mama baik-baik aja, kan?" tanya Naya sesudah pelukannya lepas.
"Baik, Sayang. Kamu sendiri gimana? Sudah enakan? Kata Rahayu kamu sakit, ya?"
Naya mengangguk. "Sudah sembuh, Ma."
"Syukurlah kalau begitu. Ayo, temui Eyang Kakung dulu," ajak Kejora.
Meski menikah dan tinggal dengan pria keturunan Jawa serta asli penduduk Indonesia, logat khas Belanda nya tidak luntur, itulah yang menjadi ciri khas seorang Kejora.
"Sekalian menginap di sini aja. Biar rame," ujar Eyang Kakung.
Naya menatap Sagara yang juga menatapnya.
"Aku ngikut kamu aja," bisik Naya.
Sagara mengangguk. "Iya, kami nginap di sini, Eyang," ujar Sagara.
Bukan hanya Eyang yang senang, yang lain juga senang, karena memang mereka jarang berkumpul di mansion utama. Terlebih ada Radengga yang memang sudah menikah, tentu pria itu juga jarang ke mansion karena sibuk dengan keluarga kecilnya.
Mereka semua berbincang-bincang hangat. Naya juga merasa nyaman karena semua orang tidak ada membedakannya. Terlebih Kejora selalu mengajaknya mengobrol, seolah tau kalau menantunya ini agak canggung.
"Mereka lucu, kan, Sayang?" Kejora menunjuk Jairo dan Mia yang asik mengoceh.
Naya mengangguk. "Iya. Mereka lincah banget meskipun masih kecil."
Kejora tersenyum penuh arti. "Kamu gak mau bikin yang kaya gitu sama Sagara? Biar rumah kalian gak sepi," bisiknya menggoda.
Pipi Naya langsung memerah mendengar ucapan mertuanya. Bagaimana kalau Kejora tau jika dirinya dan Sagara belum melakukan itu?
"N-nanti, Ma...," jawab Naya dengan canggung campur malu.
Kejora tersenyum. "Jangan menunda-nunda, ya. Lebih cepat lebih baik, Sayang."
Naya hanya mengangguk kaku sebagai jawaban. Dia melirik Sagara yang sedang mengobrol dengan yang lainnya.
Tapi, Sagara kok gak minta itu ya? Masa harus aku yang goda duluan, murahan gak sih kesannya? Batin Naya.
bersambung...