Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah yang Tak Terduga
Malam itu, keheningan di antara Marsha dan Sean terasa begitu pekat. Makan malam mereka berlalu tanpa banyak percakapan, hanya dentingan peralatan makan yang sesekali terdengar di antara mereka. Seolah tidak ada yang ingin memulai pembicaraan, keduanya memilih larut dalam pikiran masing-masing.
Setelah selesai makan, Marsha kembali ke kamarnya. Ia membuka pintu balkon, membiarkan angin malam masuk, lalu duduk di kursi sambil memeluk lututnya. Langit dipenuhi bintang, tetapi pikirannya justru terasa kosong.
Di tempat lain, Sean masih berada di ruang kerjanya, mungkin sibuk dengan dokumen-dokumen yang tak ada habisnya. Marsha mulai terbiasa dengan rutinitas ini—Sean yang selalu tenggelam dalam pekerjaan, dan dirinya yang merasa seperti tamu di rumahnya sendiri.
Namun, suara langkah berat yang mendekat dari dalam kamar membuatnya sadar bahwa malam ini mungkin akan berbeda.
Sean menghampirinya, tetapi Marsha tetap diam, seolah tidak menyadari kehadirannya. Ia tetap menatap langit, membiarkan udara dingin malam membelai wajahnya.
Tanpa banyak bicara, Sean meletakkan sebuah kotak berdesain mahal dan elegan di atas meja kecil di samping Marsha.
"Buat kamu," katanya singkat.
Marsha mengernyit, menoleh ke arah kotak itu sebelum akhirnya memandang Sean yang sudah duduk di sebelahnya.
"Apa ini?" tanyanya ragu.
Sean meliriknya sekilas. "Buka, dan kamu bakal tahu."
Marsha perlahan membuka kotak tersebut. Cahaya lampu balkon menerangi isinya, memperlihatkan satu set perhiasan mewah yang pernah ia lihat di acara peluncuran perhiasan Olivia Lancaster.
Matanya membesar. Ada cincin berlian yang berkilau, anting-anting elegan, dan kalung dengan desain anggun tersusun rapi di dalamnya. Marsha menelan ludah, merasa sedikit terkejut dengan hadiah ini.
"Ini..." Ia menoleh pada Sean. "Kenapa kamu kasih aku ini?"
Sean menatap ke depan, ekspresinya tetap sulit ditebak. "Aku pesan saat acara tempo hari. Kamu lupa? Olivia bilang ini adalah koleksi terbaiknya."
Marsha menggigit bibir. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Di satu sisi, ia merasa senang, tetapi di sisi lain, ia bingung dengan maksud di balik hadiah ini.
"Kamu nggak perlu repot-repot, Sean," ujarnya pelan. "Aku nggak minta ini."
"Aku tahu," balas Sean. "Tapi memang aku mau membelikannya untuk kamu."
Marsha menghela napas. "Terima kasih..." katanya lirih, meskipun masih ada kebingungan dalam hatinya.
Sean menoleh padanya. "Kamu nggak suka?"
Marsha buru-buru menggeleng. "Bukan begitu. Aku cuma... nggak terbiasa terima hadiah semahal ini."
Sean tersenyum kecil, senyum yang begitu jarang ia tunjukkan. "Anggap aja ini sebagai bagian dari peran kamu."
Marsha mengernyit. "Peran aku?"
"Sebagai istriku," jawab Sean santai.
Marsha tercekat. Lagi-lagi, kata 'istri' itu terasa begitu asing baginya, meskipun secara hukum ia memang istri Sean. Tetapi apakah mereka benar-benar seperti suami istri?
Ia menatap perhiasan itu sekali lagi. Indah, mahal, dan berkelas. Seperti hubungan mereka—indah di mata orang lain, tetapi dingin dan terasa asing di dalamnya.
"Kenapa kamu menikahi aku, Sean?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Marsha sendiri terkejut karena telah mengatakannya.
Sean menegang sejenak, lalu menarik napas panjang. "Aku udah pernah jawab, kan?"
"Jawaban kamu nggak pernah buat aku puas."
Sean menoleh, menatapnya dalam. "Kenapa kamu masih tanya?"
Marsha mengalihkan pandangannya ke langit. "Karena aku masih belum ngerti alasan sebenarnya. Apa aku cuma alat untuk kepentingan kamu?"
Sean diam. Tidak ada jawaban, tidak ada bantahan. Dan keheningan itu lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun yang bisa ia berikan.
Marsha tersenyum pahit. "Aku ngerti."
Ia menutup kotak perhiasan itu dan meletakkannya di meja, lalu berdiri. "Terima kasih untuk hadiahnya. Aku akan simpan sebaik mungkin."
Tanpa menunggu reaksi Sean, ia melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkannya sendirian di balkon.
Saat Marsha berbaring di tempat tidur, ia sadar bahwa hatinya semakin penuh dengan tanda tanya. Sean adalah teka-teki yang sulit dipecahkan. Dan mungkin, ia tidak akan pernah benar-benar mendapatkan jawabannya.
...***...