NovelToon NovelToon
Bodyguard Om Hyper

Bodyguard Om Hyper

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Playboy / Model / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Pengawal / Bercocok tanam
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: Pannery

"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"

"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."

Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.

Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.

Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pakaian dalam

Mobil pun melaju dalam keheningan.

Tidak ada cengiran santai dari Federico. Tidak ada pula omelan ringan dari Gissele.

Yang tersisa hanya suara AC, dan kadang, terdengar deru nafas mereka yang berat.

Gissele sesekali melirik pria di sebelahnya. Federico terlihat sangat diam. Rahangnya masih mengeras.

Tangan kirinya mencengkeram setir, sedangkan tangan kanan bertumpu di jendela, mengetuk-ngetuk pelan dengan jari seperti menahan emosinya.

Gissele sendiri tidak tau harus berkata apa, ia sangat haus sekarang dan berharap bisa minum secepat mungkin.

Tiba-tiba, mobil berhenti di pinggir jalan saat melewati tukang es jeruk gerobakan. Federico langsung mematikan mesin mobil.

“IIH, OM!” Gissele menaikkan nada suaranya. “Kenapa berhenti lagi?!”

Federico menoleh dengan tenang, meski dari raut wajahnya, amarah masih belum sepenuhnya surut. “Kan kata Nona tadi, haus. Mau es jeruk.”

“Oh iya…” Gissele mengerjap. “Iya, lupa.”

Federico turun lebih dulu dan berjalan ke sisi penumpang. Ia membuka pintu mobil untuk Gissele dengan gaya khasnya yang formal, seperti seorang bodyguard.

“Ayo turun, Nona.”

“Loh, kenapa gue turun juga? Gue bisa nunggu di sini.”

Federico melipat tangan di dada. “Nona nggak lihat kaca belakang mobil kita barusan? Kalau tadi yang kena lempar itu Nona, bagaimana? Nona harus ada di dekat saya.”

Gissele cemberut, lebay sekali pikirnya. “Iya, iyaaa…” Tapi Gissele pun mengalah karna yang dikatakan pria itu ada benarnya juga.

Gissele turun dengan langkah enggan. Tapi baru melangkah dua langkah, ia berhenti. Mendadak wajahnya berubah gelisah.

Federico mengangkat alis. “Kenapa?”

Gissele menunduk, menggenggam pergelangan tangannya. “Perasaan gue bilang Om jangan terlalu dekat, kan. Kemarin kan gue bilang, jaga jarak satu meter.”

Federico tak langsung menjawab. Ia menatapnya lama, sebelum mendekat dan menunduk sedikit ke arah wajah Gissele.

“Sekarang saya nggak bisa membiarkan Nona jauh dari saya. Tolong, biarkan saya di samping Nona... Saya ingin menjaga Nona.”

Gissele terdiam. Hatinya berdebar. Ia ingin membalas ketus, tapi ucapannya barusan tidak bisa membuatnya marah.

“…Oke. Tapi jangan macem-macem, ya.”

Gissele melangkah duluan ke arah tukang es jeruk. Federico berjalan setengah langkah di belakangnya, matanya awas menelusuri sekitar. Setiap gerakan mencurigakan, setiap tatapan orang—semua diamatinya.

“Om, es jeruknya satu, ya. Yang manis tapi enggak pakai banyak gula,” ujar Gissele pada penjual.

Tak lama, segelas es jeruk dingin diserahkan ke tangannya. Gissele langsung menyeruputnya penuh semangat.

“Hwaaah... enak banget, Om!” Lalu Gissele melirik Federico, "Om, mau coba?" Tanyanya.

Federico tersenyum kecil, sepertinya gadis ini tidak sadar sedang menawarkan es jeruk miliknya.

Federico langsung meminumnya. Ia menjilat bibir bawahnya, lalu menyeringai iseng.

“Enak juga. Minun satu sedotan begini, namanya ciuman nggak langsung, Nona.”

Gissele ternganga dan baru sadar, ia kebiasaan menawari temannya begini tapi, Federico kan pengecualian.. Ia sama sekali tidak sadar karna kebiasaan itu.

“GILA LO YA!”

Wajahnya merah padam. Tangannya hampir melempar gelas ke Federico karna kesal. Tapi... gerobak es jeruk itu terlalu ramai. Banyak orang menonton.

Sial..  Gissele hanya bisa menekuk wajahnya.

“Pak, minta sedotannya lagi!” bentaknya ke tukang es itu.

Federico di sampingnya tertawa puas. “Nona marahnya lucu.”

“Lucu, gigi Om! Om ngeselin banget!”

Setelah meredakan dahaga, Gissele pun diantar pulang dengan baik.

Begitu sampai di rumah, Gissele langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan suara “huh” berat.

Sepatunya dicampakkan asal ke sudut, tasnya dilempar ke lantai. Federico mengikutinya masuk, menutup pintu dengan pelan.

Pria itu masih dengan ekspresi serius yang sama sejak insiden batu tadi. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, bahunya sedikit menegang.

“Om,” gumam Gissele sambil mengintip dari sela lengannya yang menutupi wajah.

“Kenapa sih diem aja dari tadi? Mikirin apaan lagi? Jangan-jangan mikir aneh-aneh ya?”

Federico tak menjawab langsung. Ia malah berjalan pelan ke arah Gissele, lalu berdiri di belakang sofa, menatapnya.

“Nona,” katanya akhirnya, pelan tapi tegas. “Saya serius. Mantan Nona itu... berbahaya.”

Gissele mendesah. “Dia itu orang gila, Om. Dari dulu juga nyebelin. Nggak sekali aja dia main tangan, dan gue selalu bales dia. Tapi... sekarang gue ngerasa, dia malah bakal ngincer Om.”

Federico menyeringai kecil. “Justru itu lebih baik. Kalau dia ngincer saya, berarti dia nggak sempat nyakitin Nona.”

“Om...” Gissele menatapnya lelah. “Emangnya Om nggak takut? Alasan dia berkeliaran sampai sekarang itu karna ayahnya pejabat yang sering donasi ke kampus tau. Dia bisa aja bawa pasukannya terus ngeroyok, Om.”

Federico mencondongkan tubuh, tangannya bertumpu di sandaran sofa. Wajahnya jadi sangat dekat dengan Gissele. “Saya justru lebih takut... kalau Nona yang kenapa-kenapa.”

Gissele terdiam, lagi-lagi kalimat itu membuatnya tersipu.

Wajah Federico terlalu dekat. Nafasnya terasa di pipi. Hatinya deg-degan, tapi gengsinya masih tinggi.

“Jangan deket-deket,” gerutunya pelan.

Federico mengedip, lalu mendadak tersenyum usil.

“Nona, jangan keluar rumah sendirian dulu ya,” ujar Federico, suaranya datar tapi nadanya tegas. "Kalau Nona mau pergi, Nona harus pergi bersama saya.”

Gissele duduk berselonjor di sofa, memandangi pria itu dengan tatapan datar. Tapi dalam hatinya... timbul niat jahil. Ia tahu Federico sedang serius, mungkin bahkan benar-benar kesal. Tapi justru itu yang bikin dia gatal ingin menggoda.

“Oh…” Gissele pura-pura berpikir. “Kalau gitu, gue ada mau pergi sih. Anterin, ya?”

Federico mengangguk tanpa ragu. “Tentu.”

“Tapi... tunggu bentar. Gue ganti baju dulu.” Tanpa menunggu balasan, Gissele bangkit dan melesat ke kamarnya.

Beberapa menit kemudian, ia muncul dengan pakaian santai yang tetap stylish—celana jeans dan kemeja oversized yang disimpul di pinggang. Rambutnya dikuncir tinggi. Senyumnya licik.

“Yuk, anterin gue ke mall,” ujarnya ceria.

Federico sempat memicingkan mata curiga, tapi tetap berjalan duluan dan membukakan pintu untuknya.

Tapi di dalam hati, Gissele tertawa. Kena lo, Om. Sekarang gantian gue kerjain lo.. 

Mereka pergi ke mall, Federico benar-benar seperti bodyguard pribadi. Ia mengikuti Gissele ke mana pun gadis itu melangkah hingga mereka sampai di depan toko pakaian dalam wanita.

Gissele berhenti di depan pintu toko, pura-pura berpikir. “Hmm... gue pengen beli daleman baru deh. Yuk, masuk.”

Federico langsung mengernyit. “Eh?”

“Ayo, masuk aja. Om may jagain gue, kan?” Gissele menahan tawa sambil menatap Federico dengan penuh iseng.

“Tapi... itu...” Federico menoleh ke dalam toko yang penuh dengan dalaman berwarna-warni, manekin dengan pakaian minim, dan para wanita yang sedang memilih-milih.

Beberapa dari mereka sudah melirik Federico karena penampilannya yang mencolok.. Seorang pria yang tinggi, rapi, dan... sekarang terlihat canggung.

Gissele menyikut lengan Federico. “Kenapa? Om nggak berani ya? Kalau gitu gue masuk sendiri nih.”

"Nggak saya akan tetap di dekat, Nona."

Dengan ekspresi setengah menyerah dan setengah menderita, Federico melangkah masuk.

Begitu berada di dalam, semua kepala seperti menoleh ke arahnya. Seorang mbak SPG bahkan sampai menahan senyum melihat Federico yang berdiri kaku di antara rak-rak bra dan panties.

Gissele pura-pura serius memilih-milih, lalu dengan polos bertanya, “Om, menurut Om... warna merah atau hitam lebih cocok buat gue?”

Federico memalingkan wajah, wajahnya langsung merah padam. Ia sudah sering melihat pakaian dalam wanita tapi, ke tokonya langsung membuat  pria itu malu. Orang-orang juga melihatnya dengan aneh.

"Nona… saya rasa... saya nunggu di luar saja.”

“Nggak boleh!” Gissele menarik lengannya. “Kan Om yang maksa mau jagain di deket gue. Nah, jagain dong.”

Federico menatap langit-langit toko, seakan berdoa agar bumi menelannya detik itu juga. Tapi ia tetap bertahan di sana, berdiri seperti penjaga museum.

Gissele terkekeh. “Tuh kan, Om malu~”

“Saya bukan malu...” gumam Federico, mencoba tetap tenang meskipun kupingnya merah. “Saya cuma... ya... saya belum pernah liat yang sebanyak ini. Warnanya terlalu banyak, kepala saya pusing.”

Gissele tidak bisa menahan tawa lagi. Ia bersandar di dinding sambil tertawa terbahak-bahak.

Tapi kemudian, Federico menoleh padanya dengan tatapan penuh perhitungan. “Oke, sekarang giliran saya. Kalau saya tahan malu buat jagain Nona... Nona juga harus tahan malu pas saya pilih yang saya suka buat Nona pakai.”

“Eh?!”

“Yang warna merah... kayaknya cocok,” bisik Federico pelan, lalu berbalik dengan senyum menyebalkannya.

Wajah Gissele langsung memanas, ia tidak bisa diserang balik begini.

“Ih, kan itu pakaian dalam gue, ya gue harus pilih sendiri!" Gerutu Gissele sambil memelototi Federico.

Mendadak seorang pegawai wanita mendekati mereka. "Ada yang bisa saya bantu?"

Federico tersenyum jahil dan melirik ke arah Gissele. Tanpa aba-aba, pria itu merangkulnya dengan erat.

“Begini, istri saya lagi cari lingerie yang seksi sekali. Yang sesuai ukuran tubuhnya, ya.”

Gissele langsung kaget, matanya membelalak. “Istri?!” Serunya, mencoba melepaskan rangkulan Federico yang makin erat. “Om! Ini apaan sih, lepasin!” Bisiknya dengan suara pelan tapi tajam.

Federico hanya tersenyum cuek. “Sebentar ya, Sayang,” ucapnya manis—manis yang menyebalkan.

Dengan setengah menyeret dan setengah dipaksa, mereka berdua akhirnya mengikuti pegawai toko ke bagian lingerie yang lebih eksklusif.

Koleksi-koleksi di sana jauh lebih menggoda—renda-renda tipis, potongan transparan, bahkan model ala suster nakal.

Federico langsung bersiul pelan, wajahnya sumringah seperti bocah masuk toko mainan.

“Yang ini cocok, Sayang~ Transparan, loh. Saya suka kalau kamu pakai ini,” ujarnya sambil mengangkat satu set lingerie hitam yang transparan.

“OM!” Gissele memukul lengannya pelan. “Apaan sih, gila!”

Federico mengedipkan mata. “Atau yang ini... ala-ala suster. Mau, sayang?”

“Diem deh!” Gissele sudah merah padam. Ia langsung pergi ke arah lain dan mengambil set pakian dalam warna pink pastel lalu pergi ke ruang ganti tanpa bicara lebih lanjut.

Gissele perlu menjauh sebelum benar-benar melempar hanger ke kepala pria itu.

Di dalam ruang ganti, Gissele mengenakan set pilihannya. Potongannya simpel, tapi manis, dan ternyata... sangat cocok dengan bentuk tubuhnya.

“Hmm... not bad,” gumamnya pelan, memandangi bayangan diri sendiri di cermin. Pipinya sedikit merona.

Niat mengerjai pria itu malah dikerjai balik, benar-benar menyebalkan. Namun saat hendak melepas atasan pakaian dalam itu... masalah muncul.

“Hah? Kok... nyangkut? Eh... ini gimana sih...” Gissele mencoba menarik perlahan, tapi kaitannya justru makin tersangkut di rambutnya. “Astaga…”

Di sisi lain, Federico masih menunggu di depan ruang ganti sambil memainkan ponselnya.

“Om...” bisik Gissele.

Federico langsung menoleh. “Ada apa, Nona?”

“A-anu... bisa tolong panggilin pegawai?” Ujarnya dengan suara lirih.

Federico melirik sekitar. Pegawai toko sedang sibuk dengan pelanggan lain, ada yang menata stok, ada yang mengangkat dus. Tak ada yang memperhatikan mereka.

“Mereka sibuk semua, Nona,” ujar Federico sambil menahan senyum geli. “Nona mau nunggu di situ lama-lama?”

Gissele panik. “Om, tolong, gue—gue nggak bisa buka sendiri!”

“Kalau saya yang bantu... boleh?” Goda Federico, senyumnya mengembang nakal.

“Jangan!” Seru Gissele cepat, tapi suaranya hanya membuat antrian di luar ruang ganti mulai bertambah. Beberapa wanita sudah menunggu giliran dan mulai memperhatikan ruangannya.

“Nona, antriannya makin panjang,” seru Federico dari luar. “Udah selesai belum?”

Gissele hampir menangis. Ia benar-benar tidak bisa membuka pengaitnya. Akhirnya, dengan suara nyaris berbisik, ia berkata,

“Suamiku, tolong bantuin aku... tapi tutup mata ya, ini kan surprise buat kamu.” Gissele terpaksa mengatakan itu agar pelanggan lain mengira mereka adalah pasangan suami istri.

Bisa bahaya jika mereka bukan suami istri dan Federico asal masuk kesana.

Terdengar tawa pelan dari luar.

“Baiklah, istriku,” sahut Federico—sengaja lebih keras agar yang lain mendengar.

“Saya akan masuk dan saya tutup mata~”

Sialan..  Jantung Gissele berdetak lebih kencang dan wajahnya sangat merah.

1
Dyah Rahmawati
lanjuut😘
Dyah Rahmawati
giseel ...ooh giseel 😘😘😀
..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!