Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MUSIBAH YANG TIDAK PERNAH USAI
Nayara dan Nazerin berdiri dalam diam di antara barisan pelayat yang memadati area pemakaman. Langit mendung seolah turut berduka, dan angin yang berhembus lembut membawa aroma tanah basah dan bunga melati yang ditaburkan di atas liang lahat.
Tubuh Nayara bergetar pelan, matanya sembab karena menangis semalaman. Ia menggenggam erat tangan Nazerin yang berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan walau dirinya sendiri nyaris roboh oleh duka.
Di depan mereka, peti jenazah Caelisya Morwen diturunkan perlahan ke dalam tanah, diiringi isak tangis keluarga dan sahabat yang ditinggalkan.
"Selamat jalan, Caelisya…" bisik Nayara lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Air mata kembali mengalir di pipinya, sementara Nazerin menepuk pelan punggungnya sebagai bentuk dukungan.
Pemakaman berlangsung dengan khidmat. Doa-doa dipanjatkan, dan tanah demi tanah ditimbun menutup peti mendiang Caelisya, sahabat mereka yang pergi terlalu cepat, dengan cara yang tragis.
Di hati Nayara, ada amarah, kesedihan, dan satu tekad yang mulai tumbuh mencari kebenaran atas kematian sahabatnya.
Selesai upacara pemakaman, Nayara dan Nazerin perlahan menghampiri kedua orang tua Caelisya yang masih berlutut di depan nisan putri semata wayangnya. Sang ibu terisak dalam pelukan suaminya, sementara sang ayah berusaha tetap tegar meski air mata terus membasahi wajahnya.
Langkah Nayara terasa berat, dadanya sesak melihat sosok orang tua Caelisya yang hancur oleh kehilangan.
"Tante... Om..." ucap Nayara pelan, lututnya ikut turun ke tanah mendekati mereka.
Ibunda Caelisya menoleh dengan mata merah bengkak, lalu langsung memeluk Nayara erat. Tangis mereka pecah bersama.
"Dia anak yang baik, Nayara... dia gadis yang selalu ceria... kenapa harus seperti ini..." ucap ibunya dengan suara bergetar, penuh luka.
"Aku juga tidak percaya, Tante... Caelisya tidak pantas menerima ini," jawab Nayara, suaranya ikut bergetar menahan tangis.
Nazerin hanya menunduk, ikut larut dalam suasana duka. Ia menepuk lembut punggung ayah Caelisya sebagai bentuk empati.
"Kami akan bantu mencari kebenarannya, Tante. Siapapun pelakunya... dia harus bertanggung jawab," tegas Nayara pelan, matanya mulai menatap tegas pada batu nisan bertuliskan nama sahabatnya itu.
Orang tua Caelisya mengangguk lemah. Tak ada kata-kata yang mampu menyembuhkan luka mereka, tapi kehadiran Nayara dan Nazerin memberi sedikit kekuatan di tengah kepedihan.
Mereka berpamitan dengan kedua orang tua Caelisya, lalu meninggalkan area pemakaman dengan langkah pelan dan hati berat. Hari itu begitu kelabu. Untuk mengurangi sedikit sesak di dada, Nayara dan Nazerin memutuskan mampir ke sebuah kafe kecil di dekat taman kota. Udara sore yang sejuk menyelimuti mereka, tapi duka masih terasa menyesakkan.
Di sudut kafe yang tenang, mereka duduk berhadapan. Minuman hangat di depan mereka hanya sedikit membantu menenangkan pikiran.
Nazerin menyesap minuman matcha miliknya, lalu menatap Nayara penuh tanya.
"Apa kau tau, Nayara... siapa sosok kekasih Caelisya?" tanyanya hati-hati.
Nayara menunduk, mengaduk perlahan minuman cokelat panasnya.
"Aku pernah dengar namanya... dari Caelisya. Tapi dia tidak pernah mengenalkan secara langsung," jawab Nayara pelan. "Katanya... pria itu bukan dari kampus kita. Lebih tua, dan... suka mengontrol."
Nazerin mengernyit. "Suka mengontrol?"
"Ya. Aku pikir waktu itu cuma masalah posesif biasa, tapi... sepertinya lebih dari itu. Caelisya pernah cerita dia pernah dicekik saat bertengkar. Aku bodoh... aku kira mereka sudah putus," suara Nayara mulai bergetar lagi.
Nazerin menggenggam tangan Nayara di atas meja. "Kita harus cari tahu lebih banyak. Kalau dia benar pelakunya... dia harus bertanggung jawab, Nayara."
Nayara mengangguk pelan, dengan mata yang kembali basah. Di dalam hatinya, ia bersumpah akan mencari keadilan untuk sahabatnya.
Setelah menghabiskan waktu cukup lama di kafe, Nayara dan Nazerin akhirnya memutuskan untuk berpisah. Hari mulai gelap, dan suasana hati mereka belum sepenuhnya pulih. Namun, keduanya tahu bahwa hidup harus terus berjalan.
"Aku pulang dulu, Ra. Kalau butuh teman bicara, hubungi aku, ya," ucap Nazerin sambil mengenakan jaketnya.
"Terima kasih, Naz. Hati-hati di jalan," balas Nayara sambil tersenyum tipis.
Setelah berpisah di depan kafe, Nazerin berjalan menuju halte bus, sementara Nayara memilih untuk menyusuri trotoar, membiarkan pikirannya melayang bersama langkah-langkahnya. Tanpa sadar, ia telah tiba di depan sebuah toko buku kecil yang sering ia kunjungi sejak dulu.
Ia berhenti sejenak, menatap etalase toko yang dipenuhi deretan buku-buku fiksi dan non-fiksi, lalu mendorong pintu kaca dengan lembut.
Kriingg...
Bunyi lonceng kecil di atas pintu menyambutnya. Aroma kertas dan kayu memenuhi udara. Suasana toko itu tenang, sepi, dan hangat tempat yang pas untuk meredakan hati yang masih berat.
Nayara menyusuri rak demi rak, jarinya menyentuh punggung buku satu per satu. Ia tak benar-benar berniat membeli apa pun. Ia hanya butuh tempat untuk bernapas, tempat untuk merasa... normal, meski hanya sementara.
Ia mengambil sebuah novel klasik, lalu duduk di sudut baca yang disediakan. Kepalanya bersandar pada jendela, matanya menatap halaman demi halaman namun pikirannya tetap melayang pada Caelisya. Pada tawa sahabatnya, pada cerita-cerita kecil yang dulu terasa biasa, namun kini begitu berarti.
"Kau suka membacanya?"
Suara seorang pria mengejutkan Nayara yang tengah fokus membaca. Ia mendongak, mendapati seorang pemuda berdiri di dekat rak, mengenakan apron bertuliskan “The Hollow Quill” nama toko buku itu.
"Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu," ucap pria itu sambil tersenyum ramah. Rambutnya hitam sedikit berantakan, dan ada sorot tenang di matanya yang membuat Nayara sedikit lebih tenang.
"Tidak apa-apa," jawab Nayara pelan, menutup buku yang tadi ia baca. "Aku memang terlalu tenggelam."
"Itu salah satu buku favoritku juga," ucap pria itu sambil menunjuk sampul buku di tangan Nayara. "Penulisnya tahu cara bicara dengan orang yang sedang terluka, tanpa menghakimi."
Nayara mengangkat alis, sedikit terkejut dengan kalimat itu. Ia mengamati pria di hadapannya, lalu bertanya, "Kau penjaga toko di sini?"
"Iya," jawabnya. "Namaku Jayden." Ia menyodorkan tangan dengan ramah. "Kalau kau butuh rekomendasi, aku hafal hampir seluruh rak di The Hollow Quill."
"Aku Nayara."
Jayden tersenyum tipis. "Nama yang cantik."
Nayara hanya menunduk sedikit, tak bisa menyembunyikan rona di pipinya. Ia tak tahu kenapa, tapi untuk sesaat, pertemuan singkat ini membuat suasana hatinya yang suram sedikit lebih tenang.
Saat tengah asik mengobrol dengan Jayden, suara ponsel Nayara mendadak berbunyi, memotong tawa kecil yang sempat keluar dari bibirnya. Ia melirik layar nama Fredricka terpampang di sana. Matanya langsung meredup.
Ia menjauh dari Jayden, mencari sudut yang lebih sepi di toko, lalu mengangkat panggilan itu.
"Ada apa menghubungiku?" tanyanya datar, nada suara yang tak bisa disembunyikan dinginnya.
Namun, yang menjawab bukan suara sang ibu.
"Nayara, cepatlah ke rumah sakit. Ibumu mengalami musibah."
Alis Nayara langsung berkerut.
"Kau siapa?"
"Aku Brigite, teman Fredricka. Segeralah ke rumah sakit. Kami menunggumu."
Nada suara wanita itu terdengar cemas tapi terkontrol.
"Rumah sakit? Apa yang terjadi pada..." Nayara belum sempat menyelesaikan pertanyaannya, ketika wanita itu kembali bicara.
"Aku akan mengirim alamatnya sekarang."
Panggilan langsung terputus.
Beberapa detik kemudian, pesan singkat masuk. Tanpa pikir panjang, Nayara kembali ke bagian depan toko, mengambil buku yang tadi ia baca.
"Jayden, aku beli ini," ucapnya buru-buru, menyerahkan buku ke kasir tempat Jayden berdiri.
Jayden melihat raut wajah Nayara yang berubah.
"Kau baik-baik saja?"
Nayara tak menjawab. Hanya menggeleng, lalu membayar bukunya.
"Maaf, aku harus pergi sekarang."
Jayden hanya mengangguk pelan. "Hati-hati."
Dengan buku di tangan dan hati yang kembali bergejolak, Nayara pun melangkah keluar dari toko menuju arah tak pasti, membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.
Nayara tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa. Nafasnya memburu, dadanya sesak oleh kecemasan dan pikiran yang tak menentu. Meski hubungannya dengan Fredricka jauh dari kata baik, tetap saja, wanita itu adalah orang yang melahirkannya sekaligus satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini.
Di depan ruang operasi, ia melihat seorang wanita yang lebih muda dari ibunya dengan penampilan sederhana tengah duduk gelisah. Wanita itu bangkit berdiri ketika melihat Nayara datang.
"Kau Nayara?" tanyanya cepat.
"Iya. Kau Brigite?"
Wanita itu mengangguk sambil menarik napas panjang, tampak berat untuk mulai berbicara.
"Ada apa dengan ibuku? Apa yang terjadi dengannya?" tanya Nayara tegas, meski suaranya terdengar bergetar.
Brigite menunduk sesaat, sebelum akhirnya menjawab pelan.
"Fredricka... dia ditusuk oleh pelanggannya."
"Apa?" Nayara terperangah. Matanya membesar. "Pelanggan?"
Brigite mengangguk perlahan. "Dia sedang melayani seorang pria… saat kejadian terjadi. Mereka bertengkar hebat, dan pria itu tiba-tiba menusuknya lalu kabur."
Nayara tak sanggup berkata-kata. Tangannya mencengkeram kuat tali tasnya, mencoba menahan gemetar.
"Aku tahu hubungan kalian tidak akur... tapi dia tetap ibumu, Nayara. Dan dia dalam kondisi kritis sekarang." ucap Brigite dengan suara pelan namun dalam.
Mata Nayara terpaku pada lampu merah di atas ruang operasi. Dunia di sekitarnya seakan meredup, menyisakan perasaan kosong dan sesal yang tiba-tiba merayap ke dadanya.
Setelah menyampaikan informasi penting itu, Brigite meraih tas tangannya.
"Aku harus kembali bekerja, Nayara. Aku sudah lakukan bagianku. Kumohon, tetap di sini dan temani ibumu..." ucapnya pelan, sebelum beranjak pergi meninggalkan gadis itu sendirian di ruang tunggu.
Nayara hanya mengangguk singkat. Ia masih terlalu syok untuk menjawab, dan pikirannya kalut oleh berbagai kemungkinan terburuk.
Waktu terasa berjalan lambat. Suara langkah kaki perawat yang lalu-lalang, dering alat medis dari kejauhan, dan aroma antiseptik yang tajam semakin menyesakkan dadanya. Ia duduk terpaku di bangku besi, menatap kosong ke lantai. Sesekali matanya melirik lampu merah yang masih menyala di atas pintu ruang operasi.
Hingga akhirnya, sekitar satu jam kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter pria paruh baya dengan masker tergantung di lehernya melangkah keluar. Ia melihat sekeliling, lalu menghampiri Nayara.
"Nona, apa anda keluarga pasien?" tanyanya ramah namun serius.
"Iya, saya." Nayara berdiri tergesa.
"Ikuti saya ke ruang dokter. Ada hal yang perlu saya sampaikan."
Jantung Nayara berdegup tak karuan. Tubuhnya mengikuti langkah dokter itu menyusuri lorong rumah sakit, hingga mereka tiba di sebuah ruangan kecil bercahaya redup. Sang dokter mempersilakannya duduk, sebelum menutup pintu dengan hati-hati.
Dengan napas berat, dokter itu duduk di kursinya dan membuka map rekam medis yang dibawanya.
“Ibu Fredricka mengalami luka tusuk cukup dalam di bagian perut kanan bawah. Salah satu organ dalamnya, yaitu usus besar, mengalami kerusakan parah karena tusukan senjata tajam,” ucapnya pelan, menatap Nayara dengan penuh empati.
Nayara menelan ludah, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.
“Lalu… keadaannya sekarang bagaimana, Dok?” tanyanya nyaris berbisik.
Dokter itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab,
“Kami telah berhasil menghentikan pendarahan dan membersihkan area luka. Namun… kondisi ibu Anda masih belum stabil. Ia saat ini sedang dalam pengawasan intensif di ruang ICU.”
Nayara membungkuk, memeluk tubuhnya sendiri.
“Apakah dia akan… hidup?”
Dokter itu tidak segera menjawab. Ia menutup mapnya, lalu berkata,
“Kami akan melakukan yang terbaik. Tapi kami juga perlu kesiapan mental dari pihak keluarga, karena dalam kondisi seperti ini… segala kemungkinan bisa saja terjadi.”
Air mata Nayara mulai tumpah. Ia memejamkan matanya, mencoba menahan suara tangisnya agar tidak pecah di ruangan itu.
“Kau boleh menunggunya di luar ruang ICU. Jika kondisinya membaik, kami akan izinkan menjenguk dalam waktu singkat,” ujar dokter itu lembut, lalu berdiri dan mempersilakannya keluar.
Dengan langkah gontai, Nayara meninggalkan ruangan dokter dan kembali menuju koridor rumah sakit. Cahaya lampu tampak terlalu terang, dan suara langkah orang terasa hampa di telinganya.
Saat ia tiba di depan ruang ICU, ia menatap kaca buram pintunya dengan perasaan yang campur aduk.
Dalam hati ia berbisik,
“Kita memang tak pernah akur, tapi kau tetap ibuku,"
Nayara duduk sendirian di ruang tunggu rumah sakit. Waktu terasa berjalan lambat, sementara pikirannya dipenuhi kecemasan. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Kaelith terpampang di layar. Ia menatapnya sejenak, enggan mengangkat. Tapi ia tahu... mengabaikannya hanya akan memperburuk keadaan.
Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol hijau.
“Ada apa, Kaelith?” tanyanya lirih.
“Kau di mana?” suara pria itu langsung menusuk. “Kenapa belum pulang? Apa kau lupa di mana seharusnya kau berada?”
Nayara mengepalkan jemarinya, mencoba bersikap tenang.
“Aku di rumah sakit… Ibu sedang di ICU.”
Hening sesaat. Lalu suara Kaelith terdengar dingin dan keras.
“Cepat pulang. Aku tidak peduli di mana ibumu sekarang. Jika sepuluh menit lagi kau belum ada di apartemen, kau tahu sendiri apa akibatnya.”
Klik. Panggilan terputus tanpa menunggu jawaban.
Nayara menunduk. Air matanya akhirnya tumpah bukan hanya karena ibunya yang sedang berjuang di ruang operasi, tapi karena pria itu... orang yang mengaku menjaganya, tak pernah benar-benar mau mengerti dirinya.