NovelToon NovelToon
Dijodohin Dengan Kepala Desa

Dijodohin Dengan Kepala Desa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cintamanis / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: komurolaa

Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

[ BAB 16 ] Dalam Gendongan Kesabaran

“Nyokap lo nyebelin…” gumam Olivia ketika baru saja melangkah masuk ke rumah, lalu langsung melemparkan tas kecilnya ke sofa.

Sejak dari sawah tadi, sepanjang perjalanan pulang Olivia hanya diam. Bukan karena tak ingin bicara, melainkan karena Maalik tak henti-hentinya sibuk membalas sapaan warga. Begitu sampai di rumah barulah ia bisa melontarkan unek-uneknya.

Maalik menutup pintu perlahan, lalu menoleh pada istrinya. “Iya, saya minta maaf atas nama ibu saya,” ucapnya lembut. Suaranya tenang, sama sekali tidak tersinggung meski Olivia begitu blak-blakan.

Ia tahu betul ibunya belum sepenuhnya menerima Olivia. Tapi bagi Maalik, itu bukan alasan untuk membiarkan istrinya merasa sendirian. Ia berjanji akan selalu berdiri di sisinya, apa pun yang terjadi.

Olivia menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan kasar. Kaki jenjangnya dilipat ke atas, sementara wajahnya tetap cemberut. Maalik mendekat, lalu ikut duduk di samping istrinya. “Mau makan siang?” tawarnya penuh kesabaran.

“Nggak.” Olivia menjawab ketus, pandangannya lurus ke depan.

“Kenapa? Ini sudah hampir jam dua belas. Saya siapkan dulu, sebelum jamaah ke masjid.” Suaranya tetap hangat, tidak memaksa.

“Nggak mau. Lo pergi aja. Nanti gue makan buah.” Olivia menukas tanpa menoleh.

Maalik menghela napas. Istrinya ini benar-benar keras kepala dalam hal makan. “Kamu belum makan nasi, Olivia…”

Olivia segera menoleh dengan ekspresi malas. “Gue nggak mau makan nasi. Nanti gendut.”

Maalik menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Memangnya kenapa kalau gendut? Menurut saya, kamu tetap cantik, apa pun bentuknya. Cantik kamu bukan cuma dari tubuhmu, tapi dari dirimu sendiri. Jadi meski kamu berubah, mata saya tetap akan melihat kamu sama.” Ucapannya begitu lembut, tulus, seolah keluar dari dasar hati.

Olivia melirik sinis, meski pipinya sedikit merona. “Lo kenapa sekarang cerewet banget? Dulu perasaan lo kaku banget pas pertama kali datang ke rumah gue sama nyokap, bokap, sama kakek lo.”

Maalik mengangguk pelan. “Sekarang kamu istri saya, Olivia. Saya harus memastikan semuanya yang terbaik untuk kamu. Dulu kita belum ada ikatan sah, jadi saya membatasi diri.” Ucapannya penuh ketegasan, tapi tetap terbungkus kelembutan.

Olivia menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Membatasi diri? Tapi mata lo jelalatan lihat-lihat dada gue.”

Maalik menarik napas dalam, lalu tersenyum tipis. “Saya nggak jelalatan, Olivia. Saya cuma punya mata. Kebetulan waktu itu kamu pakai baju terbuka, dan saya nggak sengaja melihat. Itu saja. Saya nggak pernah berniat kurang ajar.” Suaranya sabar, menahan diri agar tidak terpancing.

“Bullshit banget…” Olivia mendengus, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. “Udah sana, katanya mau ke masjid.” Usirnya dengan malas.

Maalik masih menatap wajah istrinya dengan sabar. “Kamu beneran nggak mau makan? Saya bisa siapkan cepat, nggak akan lama.”

“Nggak mau.” Olivia menjawab singkat, sambil memejamkan mata.

Maalik hanya menghela napas lagi, lalu tersenyum tipis. Wajah cantik istrinya dalam keadaan merajuk tetap membuat hatinya luluh. Tak lama kemudian, suara lantunan azan dari masjid terdekat terdengar. Maalik bangkit, lalu menunduk sedikit ke arah Olivia.

“Saya mandi dulu, habis itu ke masjid. Kalau lapar, makan ya…” ucapnya pelan sebelum berjalan pergi.

Olivia hanya menjawab dengan deheman kecil, tapi matanya diam-diam mengikuti punggung Maalik hingga hilang di balik kamar mandi.

----

Setelah bersiap dengan baju koko putih sederhana, Maalik kembali ke ruang tengah. Pandangannya langsung jatuh pada Olivia yang masih berbaring di sofa dengan mata terpejam. Napasnya teratur, tapi jelas sekali ia hanya berpura-pura tidur.

“Tidur di kamar saja, Olivia…” tegur Maalik lembut sambil berdiri tak jauh dari kaki istrinya.

Olivia mengerjap sebentar, lalu membuka mata setengah. Tatapannya malas, bibirnya bergumam lirih, “Cerewet banget…” setelah itu ia kembali memejamkan mata, seolah ingin menolak dunia.

“Olivia…” suara Maalik kali ini lebih tegas, meski tetap penuh kelembutan.

Gadis itu mendengus kesal, menghentak-hentakkan kakinya kecil seperti anak-anak yang tidak mau menurut. “Iya… ihh, pergi sanaaa! Nanti gue ke kamar sendiri,” erangnya, masih dengan mata terpejam.

Maalik tak bisa menahan senyum. Tingkah istrinya yang manja bercampur keras kepala justru membuat hatinya hangat. Ia hanya menggeleng perlahan. “Yasudah. Saya berangkat dulu… Assalamualaikum,” ucapnya tenang.

“Hm…” Olivia hanya bergumam tanpa membuka mata.

Maalik sebenarnya ingin menasehati istrinya agar jangan membiasakan diri tidur sembarangan di sofa, tapi suara iqamah dari masjid sudah terdengar sayup. Ia pun memilih menahan diri, lalu bergegas keluar rumah setelah memastikan pintu terkunci rapat.

Beberapa menit berlalu. Seusai shalat Zuhur berjamaah dan sempat berbincang sejenak dengan beberapa warga, Maalik memutuskan segera pulang.

“Assalamualaikum…” sapanya begitu ia membuka pintu.

Tak ada jawaban. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas. Pandangan Maalik jatuh pada sosok Olivia yang kini benar-benar tertidur di sofa. Posisi tubuhnya miring, rambut coklat panjangnya terurai berantakan menutupi sebagian wajah. Meski tanpa riasan, wajah itu tetap cantik—cantik yang begitu memikat.

Maalik mendekat, lalu berjongkok di sisi sofa. Ia menatap lama wajah istrinya, hatinya diliputi rasa syukur. Perlahan bibirnya bergetar membaca doa: doa agar istrinya selalu dalam lindungan Allah, dijauhkan dari marabahaya, dilimpahi kesehatan, dan dibukakan hatinya untuk menerima kebaikan. Setelah selesai, ia meniupkan lembut ke ubun-ubun Olivia.

“Olivia… ayo pindah ke kamar,” panggilnya pelan sambil menyentuh lengan istrinya.

Namun Olivia hanya meringkuk, enggan membuka mata. Malah ia bergumam tak jelas, seakan tidak ingin diganggu.

Maalik tersenyum pasrah. “Keras kepala sekali kamu…” bisiknya.

Akhirnya, tanpa banyak kata, ia menyelipkan kedua lengannya ke bawah tubuh istrinya. Dengan hati-hati, Maalik mengangkat Olivia ke dalam gendongannya. Tubuh mungil itu terasa ringan di pelukannya, sementara kepala Olivia secara refleks bersandar di dada suaminya.

Langkah Maalik pelan namun pasti. Ia membawanya menuju kamar, seolah membawa sebuah harta paling berharga yang tak boleh jatuh sedikit pun. Saat tiba di ranjang, ia membaringkan Olivia dengan lembut, merapikan letak kepalanya di atas bantal, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Sebelum beranjak, Maalik sempat menunduk, menatap wajah cantik yang masih terlelap. Ada keinginan besar untuk menyentuh pipinya, namun ia memilih menahan diri. Ia hanya berbisik pelan, “Tidurl yang nyenyak, Olivia. Saya selalu ada di sini untuk kamu…”

Setelah itu, Maalik mengambil pakaiannya dan berganti dari baju koko menjadi pakaian santai di kamar mandi. Suara air yang menetes pelan seolah menenangkan, lalu ia keluar dengan rambut sedikit basah, berjalan tenang menuju sofa di sudut kamar.

Di sana, ia duduk sambil memandangi istrinya yang tengah terlelap. Wajah Olivia terlihat begitu damai, nafasnya teratur, seolah tidur membawa lari dari segala resah. Ada semburat cahaya lampu temaram yang jatuh lembut ke wajahnya, membuat alis dan garis wajahnya tampak semakin anggun. Maalik menahan diri, tidak ingin mengusik kedamaian itu.

Semalam pun, ia lebih memilih tidur di sofa. Bukan karena ia tidak ingin mendekat, melainkan karena ia tahu—kedekatan yang dipaksakan hanya akan membuat Olivia semakin tertekan. Mereka menikah bukan karena cinta yang tumbuh alami, melainkan karena perjodohan. Dan Maalik menyadari sepenuhnya, hati Olivia masih belum siap menerima semua itu.

Sambil merebahkan tubuhnya yang tinggi ke sofa sempit, Maalik sempat berbalas pesan singkat dengan Bayu—papi Olivia. Pesan-pesan ringan itu terasa seperti pengingat, bahwa ia diberi amanah besar untuk menjaga seorang putri kesayangan. Setelah percakapan usai, ia meletakkan ponselnya di meja kecil di samping sofa.

Meskipun sofa itu terlalu pendek untuk menampung tubuhnya yang jangkung, hingga kedua kakinya terjulur dan terasa pegal, Maalik tidak mempermasalahkannya. Ia hanya menarik selimut tipis, menutup mata, dan mengizinkan rasa lelah merengkuhnya. Tidur di sofa bagi Maalik bukanlah pengorbanan, melainkan bentuk kecil dari hormatnya pada batasan yang masih dijaga Olivia.

1
Titik Sofiah
awal yg menarik ya Thor /Good/
komurolaa: terimakasih kak💗
total 1 replies
Gái đảm
Endingnya puas. 🎉
Hoa xương rồng
Teruslah menulis dan mempersembahkan cerita yang menakjubkan ini, thor!
komurolaa: terimalasih kak
total 1 replies
Dani M04 <3
Menggugah emosiku.
komurolaa: terimakasih sudah mampir kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!