Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Lama Yang Terkoyak
Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, matahari mulai condong ke barat, menandakan jam pulang kerja telah tiba.
Satu per satu karyawan mulai membereskan meja mereka, dan suasana kantor pun perlahan lengang.
Arabella menutup laptopnya, menarik napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. Baru saja ia hendak melangkah keluar dari ruangannya, pintu tiba-tiba terbuka dari luar.
Seseorang berdiri di sana tubuh tegap, wajahnya menyimpan wibawa sekaligus rasa bersalah yang sulit disembunyikan.
Julian Edward.
papanya
Arabella menatap sekilas, ekspresinya datar. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menunggu pria itu bicara lebih dulu.
“Bella…” suara Julian terdengar pelan tapi tegas. “Bisakah kau pulang ke rumah? Sebagai seorang ayah, aku… aku hanya ingin makan malam bersama putriku lagi. Sudah terlalu lama kita seperti orang asing.”
Arabella terdiam, pikirannya berputar cepat.
Sudah bertahun-tahun ia tak menginjakkan kaki di rumah itu, rumah tempat ia kehilangan segalanya.
Namun, ada sesuatu di nada suara ayahnya kali ini. Bukan perintah, bukan juga ancaman… tapi permohonan.
Julian melanjutkan dengan nada sedikit ragu,
“Selain itu… mereka juga ingin meminta maaf. Dan tentu saja, aku ingin berkenalan dengan cucu-cucuku.”
Keheningan menggantung beberapa detik sebelum akhirnya Arabella mengangguk pelan.
“Baiklah papa. Aku akan datang.”
Julian tampak lega mendengarnya. “Terima kasih, Bella. Makan malam dimulai pukul tujuh. Aku akan menunggumu di rumah.”
Setelah pria itu pergi, Arabella menatap jendela besar di ruangannya.
Langit sore tampak memerah keemasan indah, tapi juga menandakan sesuatu yang belum selesai.
“Makan malam keluarga…” gumamnya pelan.
“Entah ini awal dari perbaikan… atau badai yang baru.”
Sesampainya di rumah Nenek Reva, Arabella menceritakan tentang ajakan ayahnya yang tiba-tiba,meminta nya untuk datang makan malam keluarga di rumah besar keluarga Edward.
Nada suaranya tenang, tapi ada sedikit kegelisahan yang tak bisa disembunyikan
"Bagaimqanapun juga, dia tetap ayahmu, Bella,” ujar Nenek Reva lembut sambil menggenggam tangan Arabella.
Setelah berpamitan, Arabella mulai mempersiapkan diri dan ketiga anaknya.
Malam itu ia tampil elegan dalam dress hitam beludru tanpa lengan, rambutnya digerai lembut hingga melewati bahu. Michelle mengenakan gaun pastel sederhana yang menonjolkan wajah polosnya, sementara Dimitry dan Michael tampil rapi dalam kemeja kasual dan topi senada yang membuat mereka tampak semakin tampan.
Perjalanan menuju rumah keluarga Edward tidak memakan waktu lama. Dari kejauhan, terlihat rumah besar bergaya klasik itu berdiri megah dengan cahaya lampu yang hangat menyala di setiap jendela. Arabella menarik napas dalam-dalam sebelum menggandeng tangan ketiga anaknya dan melangkah masuk ke halaman.
Namun begitu melewati pintu utama, langkahnya terhenti sejenak.
Ruang tamu besar itu penuh dengan orang bukan hanya keluarga inti seperti yang ia kira. Ada beberapa wajah asing, termasuk sepupu Vania… dan Nicholas.
Tatapan mata mereka bertemu sesaat.
Waktu seakan berhenti.
Nicholas yang duduk di kursi dekat perapian menatap Arabella tanpa kedip. Wanita yang kemarin bertemu dengan nya mulai menghantui pikirannya kini berdiri di hadapannya anggun, tenang, dan memancarkan aura berbeda dari sebelumnya
Kehadiran Arabella bersama ketiga anaknya sontak membuat suasana di ruang makan keluarga Edward berubah hening.
Semua percakapan terhenti hanya terdengar langkah sepatu Arabella yang beradu lembut dengan marmer mahal di bawahnya.
Julian tertegun. Wajahnya yang tegas tampak kehilangan warna.
Catherine menutup mulutnya dengan tangan, matanya membesar tak percaya.
Sementara itu, Vania dan Nicholas hanya bisa terpaku di tempat, menatap sosok Arabella yang dulu mereka anggap telah tiada kini datang bersama dengan tiga anak kembar yang berdiri di sisi Arabella,dua laki-laki kembar dengan wajah tampan dan satu gadis mungil bergaun pastel yang bersembunyi di balik kaki ibunya.
Ketiganya memiliki aura lembut namun kuat… dan seolah memancarkan sesuatu yang familiar.
“Tiga… anak?” bisik Catherine hampir tak terdengar, namun cukup membuat seisi ruangan membeku.
Julian menatap Arabella tajam, sulit membedakan antara marah, bingung, dan terkejut.
“Jadi… selama ini, kau melahirkan tiga anak sekaligus?” suaranya serak dan bergetar.
“Dan kau tidak memberitahuku… satu pun?”
Arabella menatap ayahnya tanpa gentar.
“Apakah papa lupa?” ucapnya pelan tapi tegas. “Saat itu aku dikurung di ruang bawah tanah. Tidak diberi makan, tidak diberi belas kasihan. Bahkan… tidak dianggap hidup,aku berjuang melahirkan mereka seorang diri di tengah gelap dan dingin tanpa bantuan siapapun,malam itu jika aku tidak kabur dari neraka itu,maka ketiga anak ku tidak akan ada yang hidup sampai saat ini,kalau papa lupa aku ingatkan sekali lagi"
Luka yang sudah di sembuhkan dengan susah payah,kini kembali terluka lagi oleh orang-orang yang sama seperti lima tahun yang lalu
Suasana menjadi berat.
Beberapa kerabat yang hadir saling pandang, tidak berani membuka suara,kini mereka tahu alasan di balik menghilangnya Arabella,dia berusaha menyelamatkan dirinya dan juga ketiga anak nya
Julian terdiam, rahangnya mengeras. Ia menunduk, seolah bayangan dari masa lalu kembali menghantam nuraninya.
Catherine di sisi lain menatap tajam, menutupi rasa bersalahnya dengan sinis.
“Jadi benar rumor itu,” ucapnya dingin. “Kau melahirkan anak tanpa suami. Tapi siapa sangka... tiga sekaligus. Luar biasa sekali, Arabella.”
Arabella tersenyum tipis, menahan sakit hati yang lama. “Setidaknya mereka lahir dari cinta, bukan dari kebencian dan keserakahan,aku melahirkan mereka dan membesar kan mereka tanpa suami,bukan berarti mereka anak yang hina"
Vania yang sejak tadi diam, tiba-tiba merasakan jantungnya berdetak cepat.
Tatapannya berpindah dari wajah Arabella ke dua bocah laki-laki yang berdiri sopan di samping ibunya.
Dimitry dan Michael.
Wajah mereka…
Hidung, mata, garis rahang terlalu mirip dengan seseorang.
Terlalu mirip dengan Nicholas.
Vania menelan ludah, matanya beralih ke arah tunangannya.
Nicholas masih menatap ketiga anak itu tanpa berkedip, seolah waktu berhenti.
Terutama saat pandangan matanya bertemu dengan mata Michelle gadis kecil berkulit seputih susu yang menatapnya polos dan penuh rasa ingin tahu.
Tatapan itu menembus jauh ke dalam hatinya.
“Tidak mungkin…” gumam Nicholas lirih, hampir tak terdengar oleh siapa pun.
Mendengar penjelasan dari Arabella,ntah kenapa hatinya seperti di remas,terasa sangat sakit,bagaimana bisa ada orang tua yang begitu tega mengurung putrinya di ruang bawah tanah selama hampir setahun,tanpa makan yang layak dan juga gelap tanpa cahaya
Sementara Arabella masih bersikap tenang seperti biasanya,seolah-olah tidak pernah terjadi apapun pada dirinya dan ketiga anak nya