Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Identitas yang Terungkap
Keesokan paginya, Amara terbangun dengan kepala yang berat. Cahaya matahari menembus tirai, menyinari ruangan hotel yang asing. Ia melihat tatoo ular melilit belati pada lengan yang melingkar di pinggangnya. Matanya membulat, dan kenangan malam yang panas itu langsung menyerbu pikirannya. Ia menoleh, melihat wajah pria itu yang terlelap dengan tenang. Matanya yang indah itu terpejam, dan ketegasan yang selalu terpancar darinya hilang digantikan ketenangan.
Amara perlahan melepaskan diri dari pelukannya. Ada perasaan campur aduk di dadanya, antara malu dan bingung. Ia melangkah ke kamar mandi, mengambil pakaiannya yang basah semalam, dan memakainya kembali.
"Sudah bangun?"
Suara yang serak membuat Amara menoleh. Ia kini terduduk di ranjang, rambutnya acak-acakan. "Aku harus pergi," jawab Amara singkat.
Pria itu melihat bercak noda darah pada sprei mereka tidur. Ini adalah yang pertama bagi Amara. Dia lalu bangkit, berjalan mendekati Amara. "Kita harus bicara."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan," Amara memotongnya. "Itu hanya... efek obat. Setelah ini aku juga akan minum obat kontrasepsi, jadi kau tidak perlu khawatir."
Pria itu tertegun lalu memalingkan pandangannya. "Baiklah jika menurutmu begitu. Ini, ambil! Jika kau butuh sesuatu atau dalam bahaya, hubungi aku." Dia memberikan sebuah kartu nama.
Amara menatapnya, ragu. "Kenapa aku harus percaya padamu?"
"Kau tidak harus percaya padaku," jawabnya, matanya memancarkan keseriusan. "Percayalah pada bukti yang ada. Dan satu-satunya cara untuk menemukan bukti itu adalah dengan bekerja sama denganku."
Amara mengambil kartu nama itu. Nama pria bermata hazel itu adalah Fairuz Wirantama.
Fai lalu mengantar Amara pulang. Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan. Suasana canggung menyelimuti keduanya. Fai menghentikan mobilnya beberapa meter dari rumah Amara.
"Aku akan menghubungimu," katanya.
"Baiklah," Amara mengangguk, lalu keluar dari mobil tanpa menoleh lagi.
Amara masuk ke dalam rumah. Ia langsung pergi ke kamar, membersihkan diri, dan bersiap untuk kembali ke markas. Ia tahu ia tidak bisa bersembunyi terus-menerus. Jika ia ingin membongkar kebenaran, ia harus kembali ke sarang singa.
Sesampainya di kantor, suasana terasa aneh. Beberapa rekannya menatapnya dengan pandangan curiga. Amara mengabaikan mereka, langsung menuju ruang kerja.
Di sana, ia bertemu dengan Raditya. Wajahnya terlihat lelah dan marah.
"Amara," sapa Raditya. Suaranya dingin, tak seperti biasanya. "Kau hutang penjelasan padaku."
Amara duduk, menatap Raditya. "Ada apa?"
"Orang itu... ," Raditya mengepalkan tangannya. "Dia adalah orang yang menjebak kita. Aku di sana untuk menyelidiki jebakan di gudang. Dia terlibat! Apa kau tahu siapa orang yang melarikan diri bersamamu? Kenapa kau ikut dengannya?"
Amara mengerutkan kening. "Menyelidiki? Kau bilang kau tidak tahu apa-apa soal gudang itu."
"Memang! Aku baru tahu dari Komandan Alfian," kata Raditya, suaranya naik satu oktaf. "Dia mengatakan padaku bahwa gerombolan mafia itu menjadikan kita berdua sebagai targetnya. Komandan juga memberikan ku informasi ini, sebaiknya kau melihat ini. "
Raditya menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal. Amara membuka amplop itu, amplop itu berisikan berbagai informasi terbaru yang terkait dengan operasi hitam.
Dia melihatnya satu persatu dengan seksama. Pada lembaran berikutnya hatinya bergetar, matanya melebar. Sebuah wajah yang familiar terlihat pada lembaran itu. Lucian, target yang selama ini begitu misterius kini terdata dengan sangat rinci.
Selama ini mereka hanya tahu Lucian adalah mafia paling licin yang tidak bisa mereka temukan jejaknya. Siapa dia? Berapa umurnya? Seperti apa wajahnya? Tidak ada data. Hanya Alfian lah yang pernah terlibat langsung dan tahu wajah Lucian. Dan sekarang bagi Amara, semuanya malah seperti anak sendiri. Begitu detail.
Tangan Amara bergetar, karena Lucian target utama mereka selama ini adalah pria yang menghabiskan malam dengannya.
"Kau tidak apa - apa?" Raditya tampak khawatir dengan reaksi Amara.
Amara tidak menjawab. Pikirannya berputar. Kepalanya terasa begitu berat.
"Aku akan menjelaskan padamu nanti. Tolong sampaikan pada komandan, aku kurang sehat. Aku akan pulang dulu!"
Amara langsung meninggalkan Raditya. Dia menuju parkiran, melajukan motornya ke jalanan.
Raditya berdiri lama di depan jendela ruang kerjanya setelah Amara pergi. Tangannya masih mengepal, wajahnya muram. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya sejak tadi.
"Kenapa dia justru terlihat panik?" Raditya bergumam pada dirinya sendiri.
Reaksi Amara barusan tidak wajar, seperti seseorang yang sedang menutupi sesuatu. Raditya menarik napas dalam, lalu menatap lagi amplop cokelat di meja. Laporan itu masih terhampar. Wajah Lucian yang akhirnya terbongkar begitu jelas. Ia tak bisa menyingkirkan bayangan Amara yang pucat saat melihatnya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Komandan Alfian masuk dengan langkah tegas.
“Mana Amara?” tanyanya cepat.
Raditya menoleh. “Dia bilang kurang sehat, Komandan. Pulang lebih dulu.”
Alfian menghela napas berat. “Ini tidak bisa ditunda. Semakin lama kita menunda, semakin besar peluang Lucian lolos.”
Raditya ragu sejenak, lalu memberanikan diri. “Komandan… aku harus tahu. Apakah Amara...” ia berhenti, menimbang kata-katanya. “Apakah dia bisa dipercaya sepenuhnya?”
Mata Alfian menyipit, tatapannya tajam. “Kenapa kau menanyakan itu?”
Raditya maju selangkah, menurunkan suara. “Karena dia berada di club tadi malam, bersama Lucian. Apa dia sudah mengenal Lucian?”
Alfian terdiam. Rahangnya mengeras. Ada keraguan yang jelas di wajahnya, meski hanya sekejap.
“Radit,” katanya akhirnya, suara lebih rendah, “kau terlalu banyak berpikir. Fokus saja pada tugasmu. Jangan terjebak dengan asumsi.”
“Tapi Komandan...”
“Cukup!” potong Alfian. Nada suaranya tegas, hampir seperti ancaman. “Aku akan tangani sisanya. Kau hanya perlu memastikan jejak Lucian tidak menghilang. Mengerti?”
Raditya mengangguk pelan, meski hatinya penuh tanya. Saat Alfian pergi meninggalkan ruangan, Raditya menatap punggung atasannya itu dengan tatapan curiga.
Raditya meraih ponselnya, membuka pesan terakhir dari Amara. Tidak ada. Ia sama sekali tidak menghubunginya setelah pergi. Padahal biasanya Amara selalu memberi kabar. Itu semakin memperkuat kecurigaannya.
Dengan gerakan cepat, Raditya mengenakan jaket kulit hitamnya. Ia tidak bisa duduk diam menunggu instruksi. Jika memang ada yang disembunyikan Komandan, dan Amara berada tepat di tengah lingkaran itu, maka ia harus menemukan jawabannya sendiri.
Di parkiran, Raditya menyalakan mobilnya. Lampu dashboard menyala, mesin meraung halus. Namun sebelum melajukan kendaraan, ia menatap spion sebentar.
Bayangannya sendiri menatap balik mata yang penuh keraguan. "Kalau memang Amara terlibat dengan Lucian… aku yang akan menghentikannya. Dengan tanganku sendiri."
Ia menginjak pedal gas, membawa mobilnya keluar dari markas menuju jalanan malam yang padat. Di tangannya, ponsel sudah siap dengan aplikasi pelacak. Ia masih menyimpan akses ke GPS motor Amara, sebuah kebiasaan lama mereka saat bekerja dalam misi berpasangan.
Titik hijau berkedip di layar ponsel, bergerak menuju pelabuhan kota.
Raditya mengepalkan tangan di atas setir. “Amara… apa yang sebenarnya kau lakukan?”
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....