NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:354
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mas Rizal

Nadine membeku sejenak, seolah tidak percaya adik tirinya berani membalas. Namun detik berikutnya...

Plak.

Tamparan keras mendarat di pipi Yuna.

Yuna terhuyung, memegangi pipinya yang panas, matanya membulat namun tidak berkaca-kaca.

“Kamu berani melawan aku?” Desis Nadine dengan rahang mengeras.

Yuna menatap balik, pipinya memerah karena tamparan, tapi suaranya tetap tenang.

“Iya. Karena kali ini, aku punya alasan untuk melawan.”

Nadine menggertakkan gigi, lalu berbalik meninggalkan kamar sambil membanting pintu.

Yuna terdiam lama, memegang pipinya sambil menarik napas dalam. Rasanya sakit… tapi untuk pertama kalinya, ia tidak menyesali keberaniannya.

Keesokan paginya di kantor, Yuna sedang menuang kopi di pantry ketika Rizal masuk tanpa suara. Dia memperhatikan dari jauh, sorot matanya langsung mengerut saat melihat samar-samar rona merah di pipi kanan Yuna.

“Yuna…” Panggilnya pelan.

Gadis itu menoleh cepat, sedikit terkejut.

“Hmmm?”

Dia buru-buru menunduk, berusaha menyibukkan diri dengan mengaduk kopi agar tatapan Rizal tidak terlalu lama tertuju padanya.

“Itu… di pipimu kenapa?” Rizal melangkah mendekat, matanya tajam memeriksa.

Yuna membeku, tangannya yang memegang sendok sedikit gemetar.

“Nggak apa-apa, cuma... kejedot lemari.”

“Kejedot?” Nada suara Rizal meninggi sedikit. Tangannya terangkat, nyaris menyentuh pipi Yuna, tapi ia urungkan.

“Jangan bohong sama aku.”

Yuna menghela napas, tetap menghindari tatapannya.

“Serius. Ini bukan masalah besar.”

Yuna menggigit bibir, hatinya hangat sekaligus takut. Dia tahu kalau Rizal tahu Nadine yang melakukannya, semuanya bisa berantakan, terutama hubungan antara keluarga mereka.

Jadi, dia memilih menunduk.

“Aku… bisa jaga diri.”

Rizal menatapnya lama, jelas tidak puas dengan jawaban itu.

“Baik. Tapi ingat, Yuna… selama aku ada, kamu nggak perlu hadapi apa pun sendirian.”

Saat Rizal pergi, Yuna menghela napas berat. Dia tahu, cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap dan saat itu terjadi, badai pasti membuat Rizal kecewa.

Sepeninggal Rizal, Yuna hanya berdiri terpaku di ruang kerjanya. Matanya menatap cangkir kopi yang masih mengepulkan aroma hangat di meja. Dalam hatinya, terjadi tarik ulur. Bagian dirinya ingin sekali memanggil Rizal kembali, menceritakan semuanya. Namun bagian lain menahan, dia tidak ingin terlihat lemah, apalagi bergantung pada siapa pun… bahkan pada Rizal, calon suaminya sendiri.

Namun, pikiran itu segera ia tepis. Tanpa sempat memikirkan lagi, Yuna bangkit, meninggalkan kopi yang baru saja diseduhnya, dan berlari keluar ruangan.

Langkahnya terhenti di lobby. Nafasnya memburu dan dari kaca pintu utama ia hanya sempat melihat punggung Rizal masuk ke mobil bersama Kevin. Mobil itu melaju pergi sebelum Yuna sempat memanggil.

Sejak siang hingga jam pulang kerja, Yuna terus menunggu. Tapi Rizal tidak kembali ke kantor. Pesan yang ia kirim tak dibalas, panggilannya tak diangkat. Bahkan saat ia mencoba lagi, suara operator menjawab ponsel Rizal sedang tidak aktif.

Perasaan gelisah itu membuat pikirannya tak tenang.

Menjelang malam, langit mencurahkan hujan deras. Yuna menatap jalanan dari jendela, ragu untuk pulang. Di kepalanya hanya ada satu keinginan, menemui Rizal. Meski hujan, meski mungkin dianggap nekat.

Dia memanggil taksi. Saat naik dan turun, hujan menyapunya tanpa ampun, hingga sebagian yang di pakainya basah.

Begitu taksi berhenti di depan rumah besar itu, Yuna menarik napas dalam-dalam. Tangannya sempat ragu mengetuk pintu.

Tak lama, daun pintu terbuka, menampilkan Wika yang terkejut melihat sosok Yuna berdiri di ambang pintu. Rambutnya lembap, ujung bajunya meneteskan sisa hujan.

“Yuna? Astaga… kamu kehujanan?” Tanya Wika, suaranya penuh keheranan sekaligus khawatir.

 “Maaf, Tante… saya mau ketemu pak Rizal.” Yuna menunduk sopan.

“Masuk dulu, sayang. Kamu bisa masuk angin kalau begini.” Wika segera mempersilakan Yuna masuk ke ruang tamu yang hangat.

“Rizal lagi mandi. Mama ambilin handuk, ya.” Imbuhnya.

Yuna hanya mengangguk pelan, mencoba mengatur napas sambil berdiri kikuk di tengah ruangan.

Wika kembali sambil membawa handuk. Setelah menyerahkan pada Yuna, ia menatap calon menantunya itu dengan senyum samar.

“Daripada nunggu di sini, mending kamu naik saja. Kamarnya Rizal di lantai dua, paling ujung kiri.” Ucap Wika lembut.

“Dia kalau mandi suka kelamaan… kayak anak gadis baru jatuh cinta. Dari dulu memang begitu. Keringetan habis kerja, tapi tetap wangi.”

“Tapi… Tante...” Yuna sempat menatap ragu. “

“Sudah, Yuna. Mama percaya sama Rizal. Dia bukan tipe yang macam-macam, apalagi sama kamu.” Wika menepuk pelan punggung Yuna, mendorongnya untuk naik.

Dengan langkah pelan, Yuna menaiki tangga menuju lantai dua. Setiap langkah terasa aneh di hatinya, degup jantungnya makin keras. Ujung koridor itu membawa ke sebuah pintu dengan papan nama kecil bertuliskan Rizal.

Dia menarik napas sebelum memutar kenop. Aroma maskulin bercampur wangi sabun memenuhi ruangan. Mama Wika benar, suara air dari kamar mandi masih terdengar.

Yuna berdiri kaku di ambang, matanya menyapu isi ruangan yang rapi tapi terasa hidup. Sofa abu-abu di sudut menjadi pilihannya untuk duduk. Tangannya menggenggam erat ujung handuk, mencoba menenangkan diri. Ini pertama kalinya ia berada di kamar seorang laki-laki… selain kamar ayahnya sendiri.

Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Rizal keluar sambil mengusap rambut dengan handuk, tubuhnya dibalut kaos putih tipis dan celana santai. Dia berhenti seketika, menatap ke arah sofa.

“Yuna…?” Kedua alisnya berkerut, lalu matanya membesar, suaranya terdengar nyaris ragu.

“Aku… berhalusinasi atau kamu beneran di sini?”

Yuna mengangkat kepala, tersenyum tipis tapi canggung.

“Beneran, Pak. A-aku… mau ketemu sama pak Rizal.”

Rizal mematung beberapa detik, seperti memastikan bahwa ini nyata. Senyum samar muncul di bibirnya, disusul tatapan yang sulit ia sembunyikan, antara terkejut, senang dan sedikit tak percaya.

Rizal masih berdiri di dekat pintu kamar mandi, tatapannya tak lepas dari Yuna yang duduk canggung di sofa. Beberapa detik pertama ia bahkan lupa kalau sebelumnya sedang kesal padanya.

Namun, begitu kesadarannya kembali, ekspresinya berubah. Ia meletakkan handuk di gantungan, lalu berjalan ke arah lemari pakaian tanpa menoleh ke Yuna.

“Kok diem?” Yuna mencoba membuka percakapan.

“Nggak ada yang perlu dibicarain, kan? Kamu udah sibuk sama dunia kamu sendiri.” Ucapnya datar, jelas nada merajuknya.

Rizal pura-pura fokus mencari kaus di lemarinya.

Yuna terdiam, sedikit menunduk. Dalam hati ia tahu, Rizal sedang memainkan mode ngambek-nya.

Suasana kamar mendadak sepi, hanya suara hujan dari luar jendela yang terdengar. Sampai akhirnya, Yuna memberanikan diri. Dengan suara pelan namun jelas, ia memanggil,

“Mas… Rizal…”

Rizal yang beralih pura-pura merapikan buku di rak langsung menghentikan gerakannya. Panggilan itu terdengar lembut, seperti mengetuk pintu hatinya yang terkunci rapat. Ia menoleh perlahan, tatapannya berubah, tak lagi setegas tadi

“Ulangi...!” Gumamnya pelan.

“M-mas Rizal…” Yuna tersenyum tipis, sedikit malu.

Sudut bibir Rizal terangkat tanpa ia sadari. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di sofa, tepat di sebelah Yuna.

“Hati-hati, sekali lagi kamu manggil aku gitu… aku bisa lupa kalau tadi lagi marah.”

“Memang aku maunya gitu…” Yuna menunduk, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.

Rizal terkekeh kecil, rasa kesalnya mulai luruh.

“Dasar nakal, bikin Mas nggak bisa lama-lama marah sama kamu.”

Panggilan ‘mas’ sengaja Rizal ucapkan dengan penuh penekanan dan itu membuat semburat merah di pipi Yuna.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!