Nabila Fatma Abdillah yang baru saja kehilangan bayinya, mendapat kekerasan fisik dari suaminya, Aryo. Pasalnya, bayi mereka meninggal di rumah sakit dan Aryo tidak punya uang untuk menembusnya. Untung saja Muhamad Hextor Ibarez datang menolong.
Hextor bersedia menolong dengan syarat, Nabila mau jadi ibu ASI bagi anak semata wayangnya, Enzo, yang masih bayi karena kehilangan ibunya akibat kecelakaan. Baby Enzo hanya ingin ASI eksklusif.
Namun ternyata, Hextor bukanlah orang biasa. Selain miliarder, ia juga seorang mafia yang sengaja menyembunyikan identitasnya. Istrinya pun meninggal bukan karena kecelakaan biasa.
Berawal dari saling menyembuhkan luka akibat kehilangan orang tercinta, mereka kian dekat satu sama lain. Akankah cinta terlarang tumbuh di antara Nabila yang penyayang dengan Hextor, mafia mesum sekaligus pria tampan penuh pesona ini? Lalu, siapakah dalang di balik pembunuhan istri Hextor, yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Ibu ASI
"Kami akan buatkan yang cepat jadi, jadi tunggu saja." Wanita itu mendorong Nabila keluar. Mau tak mau, Nabila terpaksa kembali ke kamar. Saat melangkah mendatangi tangga, ia tak sadar ada seorang wanita tengah memperhatikannya dari ruang tengah.
"Hextor, itu siapa?"
Hextor menoleh. "Oh, itu ibu sussu untuk Enzo. Untung aku cepat menemukannya. Kalau tidak, aku tidak tahu cara menenangkan anak itu. Dia tidak mau sussu botol sama sekali!"
"Bayi memang harus diajarkan lagi kalau makanannya diganti. Helena tidak mengajarkan itu 'kan, pada Enzo?" Wanita paruh baya yang berkerudung abu-abu itu terus memperhatikan Nabila. "Tapi, apa Enzo cocok dengannya?"
"Aku tidak tahu, Bu. Bukankah harusnya bisa?"
"Coba panggil dia ke sini."
Hextor kembali menatap Nabila yang hampir mencapai tangga. "Nabila!"
Nabila menoleh. Ia terkejut sudah ada Hextor dan sepasang suami-istri paruh baya di sana.
"Ke sini!" Hextor menggerak-gerakkan tiga jari tengahnya ke atas agar Nabila mendekat.
Nabila tampak bingung sambil menunjuk dirinya.
"Iya, kamu!"
Dengan sedikit membungkuk, Nabila datang menyambangi. Pikirannya bercampur aduk. Kenapa ia dipanggil saat Hextor sedang berbicara dengan tamunya? Siapa juga wanita yang berkerudung sedikit panjang itu? "Iya, Pak." Nabila berdiri di hadapan mereka bertiga.
Hextor malah melirik ibunya. Seorang wanita asli Indonesia yang menikah dengan pria keturunan, ayahnya. Ibu Hextor malah melihat kagum pada Nabila, yang menjaga sopan santunnya sebagai wanita. "Bagaimana dengan baby Enzo?"
"Baik. Maksud Ibu, apa ya?" Nabila tampak bingung dengan pertanyaan wanita itu.
"Iya, apa dia mau menyussu padamu?"
Nabila melirik Hextor. Apa informasi ini bisa diberikan?
Hextor seperti tahu apa yang dipikirkan Nabila. "Dia ibuku. Katakan saja."
"Oh, rupanya ini ibunya Pak Hextor. Pria disamping ibunya pasti ayah Pak Hextor karena bule. Kalo dilihat-lihat, Pak Hextor lebih mirip ibunya daripada ayahnya." "Eh, iya, Ibu. Sekarang baby Enzo sedang tidur."
"Syukurlah. Jaga cucuku baik-baik, ya."
"Iya, Bu." Nabila lega hingga mulai tersenyum.
"Hextor, coba tolong carikan dia baju yang lembut. Aku tidak ingin cucuku gatal-gatal habis digendong olehnya." Wanita itu menoleh pada anaknya.
"Ibuu ...." Hextor tampak mulai pusing.
Nabila memeluk lengannya. Ia merasa pakaiannya begitu kumuh padahal ia rajin mencuci baju-bajunya. Namun, bajunya bukan makin bersih tapi malah makin hilang warna karena sudah lama tak pernah ganti.
"Belikan saja yang baru, Hextor. Atau ibu yang belikan?" Wanita itu mengeluarkan ponselnya. "Ibu bisa pesan online karena lebih cepat dan tidak pusing harus membawanya." Ibu Hextor, Herlina, melirik Nabila sambil mengira-ngira ukurannya. "Ukuranmu mungkin M ya."
Nabila melihat ke bawah. "Eh, iya, Bu." Ia menjawab dengan sopan.
"Bu, biar aku saja yang beli." Ternyata Hextor buru-buru membuka ponselnya.
"Sini. Biar ibu yang pesan." Herlina menyodorkan tangan.
Hextor terdiam dan menghela napas. Terpaksa ia menyerahkan ponselnya pada sang ibu. Lagipula saat ini ia tak bisa berkonsentrasi dengan benar.
"Mmh ... ada nih, beberapa yang bagus. Biar ibu pesan ya." Jemari wanita itu bergerak lincah di atas layar ponsel. Tak lama, ia melirik lagi Nabila. "Berapa nomor behamu?"
"A-apa?" Wajah Nabila seketika memerah. Ia bahkan menyilang tubuhnya dengan tangan karena malu.
Dari jauh, Lani mengintip dengan mengangkat kepalan kedua tangannya karena geram. Ia kesal karena wanita baru itu mendapat banyak bantuan. Padahal dulu waktu ia pertama kali kerja di rumah itu, itu butuh perjuangan. Di sana-sini ia harus bekerja keras. Ia tak rela wanita itu mengambil pekerjaan incarannya, yaitu mengurus baby Enzo. Dulu, Helena pernah hampir menjadikannya babysitter karena sering membantunya mengurus baby Enzo, tapi sekarang sepertinya tidak mungkin. Padahal, mengurus baby Enzo adalah pekerjaan yang menyenangkan karena tangannya tak harus menyentuh barang-barang kotor di dapur. Ya, pekerjaannya masih jadi tukang bersih-bersih karena ia tidak bisa masak di dapur.
Terdengar bunyi azan Ashar. Nabila terlihat panik. "Ah, maaf ya, Bu. Saya ke dapur dulu."
"Untuk apa?" Herlina melirik Nabila dengan dahi berkerut.
"Aku lupa pinjam mukena untuk sholat."
"Oh, pinjam punyaku saja." Herlina menyodorkan tas kecil berisi mukena pada Nabila.
Nabila tampak bingung. "Tapi nanti kotor, Ibu ...."
"Tidak apa-apa. Jadi aku pesankan juga mukena untukmu ya." Herlina menggerakkan ponsel di tangan.
Nabila begitu terharu. Sambil mengambil tas dari tangan Herlina, ia berucap, "terima kasih, Bu. Nanti ini aku kembalikan."
"Iya, santai saja. Aku akan di sini agak lama."
Nabila buru-buru kembali ke kamar Enzo sedang Herlina sibuk dengan ponsel Hextor.
Hextor bahkan bingung, ibunya tengah membeli apa saja. "Ibu kenapa lama?"
"Ya, lihat-lihat lah, baju anak muda sekarang banyak yang bagus-bagus terutama untuk pakaian muslimnya."
"Ibu ... berapa banyak yang ibu beli sebenarnya, Bu?" Hextor jadi penasaran.
"Yaa ... sekitar 10 potong atasan, 10 potong rok, 10 potong celana panjang, 10 potong ...."
"Ibu, kenapa banyak sekali ...." Hextor sampai melongo.
"Itu tidak banyak. Daripada dia balik ke rumahnya untuk cari baju ganti karena baju gantinya sedang dicuci? Apa kamu mau baby Enzo menangis karena ibu sussunya belum kembali?"
Hextor memejamkan mata sambil menyentuh kening. Bertengkar dengan ibunya hanya membuat kepalanya pening. "Ya udah, terserah ibu saja. Silahkan, lakukan saja. Asal ibu senang."
"Gitu dong! Lagian, Nabila itu cukup manis, kok! Apa kamu tidak mau menikahinya?"
"Ibu!" Hextor langsung merengut. "Aku baru kehilangan istri, Bu. Mana mungkin aku memikirkan ini."
"Daripada dia pergi? Kamu nanti pusing, lho! Lagipula, Nabila itu orang islam, seagama dengan kita. Jadi bisa menuntun anakmu Enzo dengan agama yang sama. Tidak seperti istrimu itu, beda agama. Sekarang kita bahkan tidak bisa melakukan tahlilan karena orang tuanya melarang. Apa kalau kita berdoa padanya, doa kita bisa sampai?"
"Ibu ...." Ayah Hextor akhirnya ikut bicara. "Doa dari siapa pun itu pasti sampai. Tak mungkin tidak."
Hextor hanya menghela napas. Saat ini ia belum bisa berpikir dengan benar, karena kepergian istrinya yang begitu tiba-tiba. Karena itu ia tidak ingin berdebat sebab ia takut salah bicara. Apalagi pada ibunya.
"Ya, mungkin kamu bisa pikirkan ucapan ibu." Herlina menatap ponsel di tangan sambil menaikkan kedua alisnya. Ia ingin Hextor menikah dengan sesama muslim. Apalagi, wanita itu cocok dengan baby Enzo. Ia ingin Hextor menemukan istri yang tepat karena ia kecewa Hextor memilih Helena sebagai istri.
"Ibu ... Nabila itu sudah menikah, Bu," keluh Hextor.
Herlina terkejut dan melirik Hextor. "Jadi, bukan cerai?"
"Memangnya aku bilang begitu? Aku menemukannya karena anaknya baru saja meninggal, Ibuu ...," keluh Hextor lagi.
Herlina menatap ke arah pintu kamar Enzo. Ia merasa iba.
***
"Ini, Bu. Mukenanya." Nabila mengembalikan mukena milik Herlina. "Terima kasih."
"Oh, kamu tidak perlu berterima kasih. Ini hanya pinjam mukena saja."
"Maksudku, Ibu membelikan aku pakaian." Terang Nabila lagi.
"Oh ... kamu harus berterima kasih pada Hextor. Dia yang membelikanmu pakaian."
Kini Nabila melirik Hextor. "Terima kasih, Pak."
Hextor yang baru menaruh cangkirnya ke meja, merapikan jasnya saat menegakkan punggung. "Pastikan saja, tidak ada masalah dengan baby Enzo, kalau tidak, aku pasti akan sangat kecewa."
"Eh iya, Pak. Semoga bisa." Nabila menganggukkan kepalanya dengan sopan.
"Ya sudah, kamu bisa pergi." Hextor mengusirnya dengan gerakan tangan.
Bersambung ....
😀😀😀❤❤❤😘😍😙
😍😙😗😗❤❤❤
ngeriiiu...
😘😍😍😙😗❤❤❤❤❤
satang Enzo tapi salah strategi..
😀😀❤❤😘😍😙
😀😀😀❤❤😘😍😙😙
❤❤❤😘😙😗😗
❤❤❤😘😍😙😙
jangn2 lani naruh serbuk gatal do pakaian Enzo..
untung Hextor tau lani melakukan sesuatu di lwmari anknya ..
jadi gak bisa nuduh nabila..
😀😀❤❤❤😍😙😗
❤❤😍😙😗
karena dia ingin hextir jadi miliknya...
😀😀😘😍😙😗❤❤❤😡