Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Sebuah rumah yang dibangun di dataran tinggi tampak indah dan menenangkan.
Halaman depan dipenuhi rumput hijau dan tanaman bunga yang indah. Di kedua sisinya, pepohonan lebat berdiri, dataran terhampar luas, dan gunung-gunung terlihat di kejauhan.
Itu adalah pemandangan yang tidak dapat dilihat di kota. Di kampung inilah tempat Ayah Almaira tinggal.
Berbeda dengan nuansa harmonis di luar.
Suasana di dalam ruang tamu rumah itu tampak suram. Mungkin karena ada seseorang yang berjaga di luar pintu.
Pertemuannya dengan Ayah Almaira diadakan di ruang pribadi yang terhubung dengan ruang kerja Ayah. Di atas meja, dipenuhi dengan makanan mewah kelas atas.
Seorang ajudan diam-diam meletakkan cangkir kopi di depan Ayah Almaira, lalu melangkah keluar, tampak gemetar saat kembali ke posisinya.
Suasana hati Yaga saat menatap Ayah Almaira tidak main-main.
"Silahkan dinikmati. Semuanya enak sekali Ayah." katanya, sambil menunjuk makanan dengan anggun dan tersenyum sopan.
Mengenakan setelan jas yang rapi, Yaga menghadap Ayah mertua yang duduk di seberang.
Meski mengenakan pakaian sederhana Ayah masih bersikap seperti mantan eksekutif yang terpelajar.
Namun ada sesuatu tentang cara Yaga memandangnya berbeda dari cara dia memperlakukan orang lain.
"Ayah pasti lapar kan? Makanlah."
"Aku tidak percaya pada kebaikan tanpa imbalan. Aku lebih suka mendengar apa yang ingin kamu katakan di sini lebih dulu Yaga."
Jawab Ayah, menolak sendok yang ditawarkan Yaga. Dia hanya menunggu dalam diam untuk jawabannya.
Yaga mengusap keningnya yang berkerut, lalu meletakkan sendoknya kembali dan bersandar ke sofa.
Sambil meletakkan kedua tangannya yang terkepal di pahanya, dia bicara dengan suara datar dan hati-hati.
"Kudengar Ayah menolak kunjungan dari keluarga ku. Tampaknya itu benar dilihat dari betapa sedikitnya pengetahuan Ayah"
"Cih, aku tidak peduli."
"Almaira merindukan mu Ayah."
Begitu namanya disebut, sudut mata Ayah memerah. Seolah-olah dia telah menunggu lama untuk mendengar nama itu.
"Almaira?"
Seolah namanya telah memicunya, bahu Ayah bergetar kaget
"Almaira, merindukan ku?"
"Ya, aku kenal Almaira dengan baik Ayah. Dia juga istri yang sangat kusayangi."
"Hmm, aku mengerti. Bagaimana kabarnya dia sekarang?"
"Dia akan segera datang."
"Maksudmu… Almaira putriku dia akan datang ke sini? Jangan bohong padaku Yaga."
"Ya Ayah, Almaira sedang dalam perjalanan ke sini. Dia akan tiba sebentar lagi."
"Hmm, Lalu, apa tujuan mu jauh-jauh datang kesini? Jika kamu mau bicara soal Amera. Itu bagus, ceraikan putriku sekarang juga."
"Amera? Hhh, bukan Nama itu yang mau ku dengar Ayah. Seharusnya Ayah bertanya kenapa Almaira diperlakukan seperti ini? Namun sebelum kita membahasnya, Ayah harus tahu, alasan ku pergi bukan karena Amera, Ayah."
"Hm, aku tidak percaya. Semua orang di rumah mu bilang begitu."
"Aku pergi, karena Ibu yang melarang ku berhubungan Ayah. Hubungan badan, Ayah paham kan?"
"Hmm, apa gunanya kamu mengucapkannya sekarang setelah sekian lama Yaga? Jangan beri aku harapan palsu."
"Harapan palsu?" Yaga tertekan, suaranya datar "Benarkah itu yang Ayah pikirkan?"
Yaga mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, kedua tangannya saling menggenggam. Matanya gelap dan tenang seperti air yang dalam, memancarkan hawa dingin yang tajam.
"Lihat, apa yang sudah aku lakukan pada keluarga mu Ayah. Perhatikan baik-baik di mana posisi Ayah saat ini. Lihat apa yang ada di depan Ayah. Makanan apa yang ada di meja itu, semua makanannya Ayah sukai bukan?"
Sesuatu tampaknya berkelebat dalam benak Ayah, matanya mulai melembut saat dia menatap Yaga
"Almaira, sekalipun kau jangan sakiti dia Yaga. Kau harus berjanji padaku. Dia satu-satunya putriku yang paling berharga."
"Hanya itu yang ingin kudengar Ayah. Aku berjanji dan sekarang, jangan biarkan makanan enak nya jadi dingin. Almaira yang memilih semua yang ada di meja. Dia bilang Ayah pasti senang memakannya."
"Hmm, Almaira ya? Bagaimana keadaannya?"
Saat meraih sendok, kewaspadaan Ayah sudah memudar secara alami. Duri dalam suaranya sudah mereda. Sambil mengunyah nasi dia membawa irisan teryaki ke atas piringnya.
"Dia baik-baik saja dan sehat. Dia akan segera datang. Kita akan bicara dengannya disini."
Yaga mengamati Ayah yang diliputi emosi, mulai memakan suapan demi suapan, membayangkan putrinya di setiap kunyahannya.
Sesekali, Yaga memberinya senyum keramahan yang dibungkus dengan sopan santun.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Ayah berbalik bersamaan saat Almaira masuk ke dalam.
"Ayah…?"
Sosok putri yang dulu sama, bahkan setiap mengucapkan kata ayah tetap sama, lembut dan menenangkan.
"Almaira"
Sekarang dia berhadapan langsung dengan putrinya yang dulu dia bersumpah akan selalu membahagiakannya.
Tidak tahu siapa yang bergerak lebih dulu. Mereka berlari ke arah satu sama lain, saling berpelukan, tangan mereka dengan panik menyentuh wajah satu sama lain.
"Ayah… kenapa Ayah kurusan…?"
"Ayah tidak kurus sayang. Lihat Ayah baik-baik, Ayah lebih kuat sekarang dan lebih sehat kan?".
"Aira minta maaf Ayah, tiga tahun lamanya, Aira sangat menyesal karena Aira baru bisa bertemu dengan Ayah."
"Kamu salah Aira. Ayah yang seharusnya minta maaf. Ayah sudah membuatmu menderita. Karena selama ini ayah mengabaikan mu. Aira Ayah sangat, sangat menyesal…"
"Tidak, Ayah. Jangan minta maaf. Aira baik-baik saja... Dan berkat kebaikan Om dan Tante, kami semua baik-baik saja. Sungguh…"
"Dengarkan Ayah Almaira, kamu tidak bersalah, Ayah lah yang tidak tahu apa-apa. Ayah sangat mencintaimu."
Yaga yang melihat dari tempat duduknya, masih menopang dagunya dengan tangannya. Mungkin sedikit terkesan, mungkin juga sedikit kesal.
Saat Almaira memusatkan pandangan pada ayahnya, bahkan dia tidak meliriknya sekali pun, entah kenapa kecemburuan melonjak hebat di balik sikap tenangnya.
* * *
Di dekat ruang tamu
Almaira membasuh tangannya berulang-ulang di wastafel kamar mandi.
Di cermin, dia melihat bayangan ayahnya, memutar ulang kunjungan di dalam benaknya.
Itu tidak berlangsung lama, bahkan saat Yaga menariknya pergi, Ayah tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.
Dia tampak seperti seseorang yang akhirnya memiliki keberanian untuk menghadapi keluarganya lagi. Seperti seseorang yang kini dapat dia kunjungi tanpa rasa takut.
Dalam banyak hal, Yaga sangat murah hati.
Almaira kembali ke ruang kerjanya untuk mengucapkan terima kasih. Saat dia masuk, Yaga meliriknya, lalu segera mengalihkan pandangan.
Di ruang kerja itu, Yaga sedang merapikan dokumennya. Almaira menyingsingkan lengan bajunya untuk membantu, tapi Yaga menghentikannya dengan mengangkat tangannya.
Dia diam-diam menurunkan tangannya dan melipatnya di depannya, membungkuk sopan saat berbicara dari lubuk hatinya.
"Terima kasih, karena Kak Yaga membawa Aira berkunjung ke rumah Ayah. Jujur Aira tidak menyangka ini akan terjadi. Aira tidak menyangka Kak Yaga mau datang jauh-jauh ke kampung untuk bertemu dengan Ayah."
Yaga belum bicara apa-apa, terus merapikan dokumennya di meja tanpa menatapnya. Keheningan itu membuat Almaira merasa canggung
"Aira akan pergi sekarang. Sampai jumpa nanti di kamar ya?"
Kata-kata itu bahkan mengejutkannya
Dulu, Aira canggung tidur berdua di kasur yang sama dengan Kak Yaga. Dan sekarang Aira bilang sampai jumpa di kamar seolah kami sudah terbiasa. Kenapa bisa begini?
Saat Almaira meraih gagang pintu, dia mendengar suaranya tenang dan damai, seperti permukaan air musim dingin.
"Apa itu menyenangkan? Bertemu ayahmu?"
"Ya" Almaira berbalik dan tersenyum bahagia
Melihat senyumnya, Yaga menegakkan tubuh dan bersenandung penuh makna.
"Kamu tahu… tiba-tiba aku agak menyesal."
"Kenapa Kak Yaga menyesal?"
Yaga mendekat ke arahnya, bertingkah layaknya suami yang menjunjung tinggi kesetiaan
"Apa yang akan kamu lakukan petang ini? Mau jalan-jalan di luar?"
"Hanya kita berdua?"
"Apa aku harus mengundang semua orang di rumah ini juga?"
"Ah, Aira sebenarnya punya rencana dan mau minta izin Kak, maaf."
"Dengan siapa?"
"Anna" Almaira tahu jika dia tidak mengatakan yang sejujurnya dia akan marah lagi,
Anehnya, Yaga tidak mendesak lebih jauh. Dia mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan kartu hitam pada Almaira dengan cuma-cuma.
"Belilah sesuatu yang nyaman untuk dipakai bersama temanmu."
"Apa?"
"Aku bilang, manjakan dirimu dengan sesuatu yang menyenangkan."
"Kak Yaga tidak salah makan obat kan? Kenapa tiba-tiba..?
"Hahaha." Yaga tertawa mendengar ucapannya "Kamu benar-benar mengucapkan apa yang terlintas di pikiranmu, ya?"
"Tentu saja, Aira kan memang begitu."
"Aku lelah, Anggap saja suami kesayanganmu lagi membelanjakan mu."
"Tapi Aira benar-benar tidak..."
"Aku tahu. Tapi kamu menginginkannya kan?"
Yaga melangkah lebih dekat, sementara Almaira harus mendongakkan kepalanya untuk melihat matanya.
"Dan setengah hari. Anggap saja aku lagi memberi mu kebebasan setengah hari. Paham kan?"
Dia mencondongkan tubuhnya sambil tangannya menyelipkan kartu ke dalam saku celana jinsnya Almaira
"Gunakan sesuka mu, tidak ada batasan. Jika terjadi sesuatu beri tahu aku. Dan biarkan supir yang menghantar mu."
"Ya Kak, terimakasih" kata Almaira dengan pipi yang memerah
"Hmm" Yaga berbalik dan kembali merapikan dokumennya.