Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Dia Om Saya!
"Hai Dek Lala," kemunculan Kak Rama pagi itu tidak hanya mengejutkan Syahla, tapi juga semua mahasiswa di kelas itu.
"Ha-Hai Kak," Syahla menjawab gugup. Ia belum terbiasa dengan pandangan orang-orang yang memperhatikannya.
"Nih, laptopnya. Jaga baik-baik ya. Dia anak gua satu-satunya,"
Syahla tertawa canggung. Menerima tas berisi laptop itu sambil tersenyum. "Pinjam dulu ya Kak,"
"Oke, santai aja La. Habis ini Lo masih ada kelas nggak? Anak-anak Persma ngajak ngumpul di kantin,"
"Oh, kebetulan kosong sampai jam 10 sih Kak," Syahla melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Nanti setelah ini saya langsung ke kantin aja."
"Oke, Gua tunggu ya Dek Lala," sambil berlalu, Kak Rama mengusap kepala Syahla. Jelas teman-temannya berteriak shock, apalagi Syahla, dia terkejut bukan main.
"Eh, eh, sejak kapan Lo deket sama Kak Rama?"
"Lo siapanya Kak Rama? Kenapa bisa kenal?"
"Gue boleh minta nomernya nggak?"
Syahla kelabakan mendengar pertanyaan beruntun teman-teman sekelasnya.
"Sorry temen-temen, aku—"
"Norak banget sih, kalian semua!" Anggika yang berada di samping Syahla berteriak kesal. "Kalau mau minta nomernya Kak Rama, minta aja sendiri! Jangan gangguin temen Gue!"
Kelompok gadis-gadis itu tersentak mendengar teriakan Anggika, lalu langsung mundur teratur. Saling berbisik mencibir.
"Apaan sih, nggak jelas banget."
"Sok kecakepan,"
Syahla merasa tidak enak hati mendengar cemoohan mereka pada Anggika.
"Maaf ya Nggi, gara-gara aku.."
"Stop! Nggak usah minta maaf segala! Emang bener kok kata Gue, mereka itu norak! Cuma perkara cowok aja langsung heboh,"
Syahla mengusap-usap punggung temannya agar emosinya teredam.
"Lagian, kok Lo bisa kenal sama orang kaya begitu sih?"
"Orang kaya begitu? Memangnya Kak Rama bagaimana?"
"Dia itu terkenal playboy tahu,"
"Oh iya?" Syahla mengerutkan keningnya. "Tapi kelihatannya dia baik kok,"
"Duh, Syahlaku sayang. Jangan cuma lihat orang dari luarnya aja. Nih ya, dia emang kelihatannya ganteng, baik, perhatian. Tapi aslinya, ceweknya dimana-mana! Cewek-cewek norak itu juga suka sama dia cuma karena lihat mukanya doang! Padahal mah aslinya zonk,"
Syahla meringis mendengar ucapan blak-blakan Anggika. Dia khawatir teman-teman yang lain akan mendengar perkataan itu dan malah semakin membenci Anggika.
Untunglah, dosen segera masuk ke kelas mereka. Meredam emosi Anggika dan lirikan tajam para pemuja Kak Rama.
...----------------...
"Sini La!" Kak Rama melambaikan tangan saat Syahla memasuki kantin. Kak Rama tampak duduk bersama beberapa mahasiswa lainnya.
"Anak baru ya? Sini duduk samping Gue," tukas seorang mahasiswa laki-laki dengan rambut gondrong. Syahla meringis, dia tidak terbiasa duduk bersama laki-laki, pada akhirnya memilih duduk di antara para mahasiswi.
"Halo Kak," Syahla menyalami para mahasiswi yang jumlahnya lima orang itu. Mereka balas menyalaminya dengan ramah.
Selanjutnya, mereka memesan makanan dan mulai rapat kecil-kecilan tentang kegiatan mereka. Karena saat ini sudah masuk akhir bulan, mereka mulai mempersiapkan penerbitan majalah kampus di awal bulan depan.
"Lagi nggak ada topik hot nih," Amel, salah satu anggota Persma mengeluh.
"Gimana kalau membahas dosen yang dicurigai korupsi?" usul Kak Hasan, salah satu anggota Persma yang lain.
"Jangan," cegah Kak Rama. "Kebenarannya belum terungkap. Jangan sampai kita menggiring opini ke arah yang salah."
Syahla mengangguk-anggukkan kepalanya. Perkataan Kak Rama benar, mereka tidak boleh menyebarkan suatu berita berdasarkan dugaan semata.
"Eh, lihat tuh," Tunjuk Amel dengan wajah terpesona. Syahla yang duduk di seberang Amel terpaksa membalikkan badan demi melihat apa yang ditunjuk gadis itu. Saat menoleh, ia terkejut ternyata yang dimaksud adalah Ustadz Amar.
"Dia itu dosen baru di Fakultas Gue. Sumpah, orangnya ganteng banget, tapi sayangnya galak luar biasa!" Celetuk Kak Anne, yang memang kuliah di jurusan kimia.
Syahla menelan makanannya sambil mendengarkan dalam diam.
"Gimana kalau kita bikin berita tentang doi aja?" Amel tampaknya merasa idenya sangat cemerlang. Lain halnya dengan Syahla yang jantungnya sudah berdebar tak karuan.
"Kita bisa wawancara dia soal kehidupan pribadinya! Soal pendidikan, agama, atau pasangannya!"
"Uhuk!" Syahla tersedak kuah bakso yang sedang ia seruput mendengar ide luar biasa dari Amel.
"Eh, eh, kenapa Lala? Nih, minum, minum," Kak Rama menyodorkan es jeruknya kepada Syahla. Syahla meminumnya sampai habis.
"Ide bagus sih," tukas Kak Anne. "Tapi, Pak Amar itu terkenal dingin banget kaya kulkas. Memang Lo yakin bisa mewawancarai dia?"
"Duh, gue suka deh yang dingin-dingin begitu," Amel tersenyum genit.
Syahla mulai ketar-ketir. Dia harus segera menyuruh Ustadz Amar untuk menolak diwawancara!
...----------------...
Keluar dari gedung Fakultas, mobil Ustadz Amar sudah menunggu dengan manis. Syahla benar-benar sudah dibuat jantungan beberapa kali hari ini. Saat dia mau menghampiri mobil itu, Kak Rama datang dengan motor besarnya.
"Hai Lala," sapa Kak Rama setelah membuka helmnya. "Ayo, biar Gua antar."
"Ah.. Itu Kak, Saya—" Belum selesai Syahla menjawab, Ustadz Amar keluar dari dalam mobil. Syahla semakin panik. Ngapain sih harus keluar dari mobil segala?
"Kenapa diem? Tenang, Gua udah punya SIM kok,"
Bukan itu masalahnya! Syahla ingin sekali menyuruh Kak Rama cepat-cepat pergi dari situ. Tapi sudah terlambat karena Ustadz Amar sudah berdiri di depan mereka.
"Ada apa ya?" Tanya Ustadz Amar.
Kak Rama menoleh mendengar suara laki-laki yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Dahinya berkerut saat melihat siapa yang bicara.
"Loh, bapak kan?"
"Amar, dosen Fakultas MIPA." Ustadz Amar mengulurkan tangan meminta bersalaman.
"Oh, halo Pak, saya Rama, kakak tingkat Lala sekaligus Ketua organisasi Persma." Kak Rama menyalami Ustadz Amar dengan senyum lebar.
"Lala?" Ustadz Amar melirik tajam ke arah sang istri yang malah menoleh ke arah yang lain.
"Oh, itu nama panggilan saya buat Syahla. Biasa pak, panggilan kesayangan," ujar Kak Rama berseloroh.
Mata Ustadz Amar melotot mendengar ucapan Kak Rama. "Kalian ini ada hubungan apa ya?"
"Nggak ada hubungan apa-apa kok!" Syahla mengelak cepat. "Kita cuma senior dan junior saja!"
"Oh ya? Sekarang senior sama junior pulangnya bisa bareng ya?"
"Loh, Lala kenal sama Pak Amar?" Kak Rama malah merasa keheranan mendengar percakapan akrab kedua orang itu.
"I-iya. Pak Amar itu, Om Su—Om saya!"
Ustadz Amar langsung menatap istrinya dengan tatapan tajam. Syahla yang sudah tidak sanggup menatap balik sang suami akhirnya segera mendekati Ustadz Amar.
"Maaf ya Kak, saya memang tinggal sama Om saya. Jadi untuk pergi dan pulang ke kampus, saya selalu bareng Om saya. Kita permisi dulu ya Kak,"
Tanpa menunggu jawaban Kak Rama, Syahla langsung menarik lengan Ustadz Amar. Cepat-cepat membawanya masuk ke mobil.
Kak Rama yang ditinggalkan hanya bisa melihat mereka dengan heran. "Jadi, Pak Amar itu oomnya Lala? Kenapa tadi waktu di kantin dia nggak bilang apa-apa?"
apalagi suaminya lebih tua