Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
“Andrian Zhou, kami akan menuntutmu, apa yang kau lakukan melanggar undang-undang!” teriak Jordan sambil suaranya bergetar. Tangannya masih gemetar, wajahnya penuh kemarahan yang bercampur takut.
Andrian menatap tajam, napasnya berat namun tenang seperti badai yang sedang menunggu meledak. “Berani bicara soal hukum denganku? Bukti semua penyiksaan yang kalian lakukan terhadap istriku ada di tanganku. Aku lebih memilih menggunakan caraku daripada hukum. Dikurung di dalam kandang hanya permulaan. Seterusnya masih banyak kejutan untuk kalian.” Suara Andrian rendah, berlapis amarah yang menahan ledakan.
Seorang anak buah melangkah maju dengan gugup. “Tuan, kami menemukan dua botol di laci meja ruang pribadinya,” lapornya, menyerahkan kedua botol itu kepada Kane.
Kane menerima botol-botol itu dengan gerakan cepat namun matanya memperhatikan setiap detail. Ia membuka tutupnya dan mencium aromanya, lalu menatap James yang kini hanya bisa duduk di dalam kandang dengan raut cemas.
“James Wu, cepat katakan yang mana obat dan yang mana racun yang biasa kau berikan pada nyonya!” perintah Kane tanpa menutup kemungkinan nada ancaman.
James menelan ludah, suaranya pecah ketika menunjuk salah satu botol putih di tangan Kane. “Yang botol itu… berikan saja penawarnya, Clara akan sembuh,” katanya tergagap, matanya tidak bisa menatap langsung ke Andrian.
Kane menatapnya dingin. “Penawar itu hanya untuk sementara, bukan? Kau sengaja gunakan cara ini untuk menyiksa dan mengendalikan nyonya,” katanya.
James terisak, suaranya melemah. “Andrian, tidak seperti itu. Racun itu ada obatnya. Yang penting Clara menelan setiap hari, selama sebulan. Maka racun itu akan hilang sepenuhnya,” ucapnya dengan terbata, seolah berusaha merangkum kebohongan menjadi kebenaran.
Andrian mengerutkan dahi, nadanya tajam. “Bukankah selama ini racunnya tidak ada penawar untuk menghilangkan racun, hanya ada obat pereda rasa sakit?”
James menunduk, mengakui dengan suara yang hampir hilang, “Aku… aku hanya berbohong pada Clara. Racunnya akan hilang, aku hanya memberinya penawar pereda rasa sakit agar ia bergantung padaku. Rasa sakit akan menyerang kalau setiap minggu dia tidak minum penawarnya. Dengan cara ini aku bisa mengendalikannya.”
“Yang kau berikan sama sekali bukan penawar, melainkan obat meredakan rasa sakit. Kau bisa menghancurkan organ dia secara perlahan karena sakit yang menyiksa. James Wu, apakah hatimu sudah dimakan oleh binatang sehingga tega melakukan hal ini? Siapa yang meracik racun ini?” tanya Andrian dengan nada yang mendidih.
James nyaris patah, suaranya mengerang. “Ada seorang tabib… seorang yang ahli dalam racun dan penawar,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Andrian berdiri dari sofa, gerakannya cepat, penuh otoritas dan matanya menatap keempat orang di depannya. “Beritahu alamatnya sekarang. Kalau sampai aku tahu kau berbohong lagi, kalian berempat akan mati secara perlahan!” ancamnya, suaranya berubah menjadi peringatan yang dingin.
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, anak buah Andrian mengangkat empat kandang itu satu per satu. Suara besi beradu dan rantai yang digoyangkan mengisi lorong.
James, istrinya, dan kedua anaknya meraung ketakutan, pakaian kusut, mata yang merah oleh tangis. Mereka yang dikurung di dalam kandang diangkut tanpa belas kasihan, dimasukan ke dalam mobil yang mesin dan bannya seolah tak mendengar jeritan-jeritan manusia.
***
Malam hari.
Andrian kembali ke apartemen tempat ia dan istrinya biasa tinggal bersama. Kane mengikutinya, langkah mereka bergema pelan di lorong yang sepi.
Di dalam apartemen, suasana terasa kosong, sisa-sisa kebersamaan yang dulu ada kini seperti pecahan kaca. Andrian memandang sekitaran ruangan itu. Bayang-bayang istrinya muncul di dalam ingatannya.
Ia lalu menoleh ke arah kamera CCTV yang terpaku di sana.
Ia kemudian duduk di meja kerjanya dan membuka laptop miliknya. Cahaya layar laptop di mejanya memantul pada wajahnya. Andrian menekan beberapa tombol, lalu memutar ulang rekaman hari-hari terakhir istrinya di rumah.
Di layar, Clara tampak duduk sendiri, tubuhnya merunduk, napasnya tersengal. Di beberapa kali rekaman sebelumnya, terlihat ia tersungkur di lantai ruang tamu, menggenggam perutnya, wajahnya memutih oleh rasa sakit.
Rekaman lain menunjukkan ia terhuyung menuju sofa, lalu terkapar, kemudian memegang dada di dapur sampai tak mampu lagi berdiri. Setiap kejadian terjadi berulang setiap minggu, seperti siklus yang mematahkan harinya.
Air mata mengalir perlahan di pipi Andrian—bukan cengeng tetapi air mata yang datang dari kemarahan sekaligus penyesalan yang mendalam. “Tiga tahun aku tidak tahu bahwa selama ini dia melawan rasa sakit yang luar biasa. Hidupnya dikendalikan oleh keluarga Wu. Sangat tragis,” bisiknya pelan.
Namun setelah beberapa detik hening, Kane menatap botol kecil yang masih digenggamnya dengan raut bingung. “Tuan, penawar ini…?” tanyanya ragu.
Andrian melirik botol itu, sorot matanya dingin namun terselubung kelelahan. “Itu hanya obat pereda sakit. Selama ini mereka membohongi Clara. Obat itu berguna untuk sementara, tapi tidak menghilangkan racunnya. Tabib itu besok sudah harus ditemukan. Perintahkan dia meracik penawar yang sebenarnya—dan pastikan dia tidak main ulah. Kalau dia berhasil, aku akan membayarnya dengan harga tinggi… asalkan Clara selamat dari racunnya!”
Nada suaranya mengeras di akhir kalimat. Kane hanya mengangguk dan segera meninggalkan ruangan dengan langkah cepat, membawa perintah yang tak boleh gagal.
Beberapa jam kemudian.
Jam dinding menunjukkan pukul 23.00.
Andrian melangkah masuk ke kamar istrinya. Cahaya lampu redup membuat bayangan tubuhnya memanjang di lantai. Di atas meja rias, matanya menangkap sebuah cincin pernikahan yang tergeletak di samping sepucuk surat.
Ia mendekat perlahan, jantungnya berdegup tak menentu. Tangannya gemetar saat mengambil surat itu, membuka lipatannya, lalu mulai membaca.
Tulisan tangan yang rapi namun lembut tergores di kertas putih itu:
“Terima kasih karena telah memberiku tempat tinggal yang nyaman selama ini.
Di sini adalah tempat yang paling aman bagiku.
Aku tahu kau membenciku dan tidak pernah menganggapku.
Tapi aku tetap ingin berterima kasih.
Aku pergi hanya membawa barang-barangku.
Semua barang pemberianmu aku kembalikan,
karena hanya wanita yang akan menjadi istrimu yang layak memilikinya.
Selamat tinggal.”
Andrian menatap surat itu lama sekali. Pandangannya kabur oleh air mata yang tertahan. Ia mengepalkan surat itu di tangannya, napasnya berat dan penuh sesal.
Ia membuka lemari dan laci satu per satu—set pakaian yang pernah ia belikan masih tertata rapi, sepatu, tas, perhiasan, semua pemberiannya tersusun seolah menunggu pemiliknya kembali. Tak satu pun dibawa pergi.
Andrian menatap benda-benda itu dengan pandangan kosong. “Semua hadiah ini…” katanya pelan, suaranya serak, “tidak bisa membuat hidupnya nyaman dan normal seperti orang lain.”