Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13_Bibit Cemburu
Pagi itu udara terasa lebih segar dari biasanya. Jakarta baru selesai diguyur hujan semalam, dan langit tampak lebih bersih. Dari balkon apartemen itu, Namira memandangi hamparan gedung-gedung yang perlahan disinari matahari.
Ia menyentuh cangkir kopinya yang masih hangat. Matanya secara refleks melirik ke bawah, ke area taman apartemen dn di sanalah ia melihat sesuatu yang membuat perutnya terasa aneh.
Sean sedang berbincang dengan Bu Yulia, salah satu tetangga mereka. Wanita paruh baya yang terkenal cerewet tapi periang. Wajah Sean tampak lebih santai, bahkan sesekali tersenyum. Senyum yang jarang sekali ia tunjukkan saat bersama Namira.
Percakapan mereka tampak ringan, tapi cukup akrab. Bu Yulia tertawa sambil menepuk lengan Sean dengan akrab, dan Sean hanya membalas dengan gaya khasnya, kalem dan santun.
Namira mendesah pelan. Ia tidak mengerti apa yang mengusik perasaannya. Tapi satu hal yang jelas, ada perasaan asing yang menyesakkan di dada.
Saat pintu apartemen terbuka, Sean masuk sambil menenteng kantong belanja.
“Kamu sudah sarapan?” tanyanya sambil meletakkan kantong di dapur.
Namira menjawab tanpa menoleh, “Sudah.”
Sean diam sejenak, lalu mengeluarkan beberapa bahan makanan.
“Aku beli sayur kesukaanmu. Tumis toge dan tahu goreng,” katanya.
Namira hanya mengangguk, lalu bangkit dari kursi.
Nada bicaranya terdengar dingin saat berkata, “Sepertinya kamu lebih tahu selera orang lain dibanding aku.”
Sean mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Kamu terlihat nyaman sekali ngobrol dengan Bu Yulia tadi pagi. Sepertinya lebih hangat dari biasanya.”
Sean menatapnya.
“Kami cuma ngobrol. Dia minta tolong bantu bawa galon air ke unitnya.”
Namira menyilangkan tangan di dada.
“dan itu harus diselingi tawa dan sentuhan juga?”
Sean tampak terkejut dengan nada itu.
“Namira, kamu bicara seolah aku melakukan sesuatu yang tidak pantas.”
“Kamu juga terlalu mudah dekat dengan orang lain,” ujar Namira tajam.
“Seolah-olah... kamu tidak sadar statusmu sekarang.”
Sean meletakkan bungkusan tahu dengan sedikit bunyi. Suasana langsung tegang.
“Kamu sedang cemburu?” tanyanya hati-hati, tapi suara Sean tetap tenang.
Namira mendesis.
“Jangan membalikkan keadaan. Aku hanya... aku tidak suka kalau suamiku terlihat terlalu ramah dengan wanita lain. Bahkan jika itu cuma tetangga.”
Sean menatap Namira lama.
“Suamimu?” gumamnya.
“Jadi sekarang kamu mulai menganggap aku suamimu?”
Namira merasa terjebak oleh kalimatnya sendiri. Ia tidak berniat menyebut Sean seperti itu, setidaknya belum secara sadar. Tapi lidahnya terlanjur lebih jujur dari pikirannya.
“Kamu tahu maksudku,” ujarnya cepat, mencoba mengalihkan.
Sean menyandarkan tubuh ke meja dapur.
“Tidak, aku tidak tahu. Karena selama ini kamu selalu bersikap seolah aku hanya bagian dari kesepakatan.”
Namira terdiam. Ia tidak suka pertengkaran. Tapi ia juga tidak suka perasaan ini. Ia tidak suka melihat Sean tersenyum pada wanita lain. Ia tidak suka... bahwa Sean bisa membuatnya merasa kecil hanya dengan tetap tenang.
“Sudahlah,” ucap Namira akhirnya.
“Aku tidak mau berdebat lebih jauh.”
Sean mengangguk pelan.
“Ya. Lebih mudah bagimu untuk menghindar.”
Tanpa menunggu jawaban, ia masuk ke kamarnya. Menutup pintu pelan, tapi tetap tegas. Meninggalkan Namira sendiri di ruang tengah dengan pikiran yang berantakan.
***
Siang itu, Namira duduk di ruang kerjanya sambil membuka laptop. Tapi matanya tak benar-benar membaca email apa pun. Ia merasa kosong dan bersalah.
Sejak kapan aku mulai peduli dengan siapa Sean bicara? tanya hatinya.
Satu pesan masuk di ponsel.
Bima: Aku di Jakarta minggu ini. Aku ingin bicara, Mir. Sekali saja.
Namira menatap pesan itu lama. Ia masih belum menjawab sejak pesan kedua yang dikirim beberapa hari lalu.
Apakah ini waktu yang tepat?
Di saat perasaannya terhadap Sean masih belum jelas. Di saat emosinya campur aduk antara marah, bingung, dan... takut.
Ia kembali mengingat momen di balkon beberapa malam lalu, ketika Sean mengatakan bahwa ia tidak akan menahan, tapi juga tidak akan menjadi pelarian. Kata-kata itu kini terasa membekas.
Ia menatap bayangannya sendiri di kaca, wanita sukses, mapan, mandiri, tapi sedang kacau karena dua pria: satu dari masa lalu, dan satu lagi yang sedang berdiri diam di masa kini.
Malam itu, suasana apartemen sunyi. Mereka berdua tidak bicara sejak pagi. Sean memilih makan di kamar, dan Namira tidak menegurnya.
Menjelang tengah malam, Namira berdiri di depan pintu kamar Sean. Ragu. Tangannya terangkat untuk mengetuk... tapi urung. Ia berbalik, lalu berjalan menuju balkon. Angin malam menampar wajahnya lembut, menenangkan sekaligus menggelisahkan. Tanpa ia sadari, Sean muncul di ambang pintu.
“Kamu belum tidur?” tanya Sean, suaranya pelan.
Namira menggeleng. “Kepalaku penuh.”
Sean berjalan pelan ke sampingnya. Menjaga jarak.
“Kamu ingin bicara soal tadi pagi?” tanyanya hati-hati.
“Aku minta maaf,” kata Namira tanpa menoleh.
“Aku tidak tahu kenapa aku bisa semarah itu.”
“Karena kamu cemburu.”
Namira terdiam.
Lalu berkata, “Mungkin. Tapi aku tidak suka perasaan itu.”
“Karena itu membuatmu lemah?” tebak Sean.
“Karena itu membuatku... kehilangan kendali,” bisik Namira.
“Aku terbiasa mengatur semua hal dalam hidupku. Bahkan perasaan. Tapi kamu... kamu membuat segalanya tidak terduga.”
Sean menoleh. “Aku hanya jadi diriku sendiri.”
“Itu yang membuatku bingung,” ucap Namira jujur.
“Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu begitu tenang, santun, hampir tidak pernah menunjukkan emosi. Tapi di sisi lain... kamu juga bukan orang yang mudah ditebak.”
Sean tersenyum tipis.
“Mungkin karena aku sudah terlalu sering hidup dalam ketidakpastian. Aku belajar untuk tidak menunjukkan semuanya.”
Mereka diam beberapa detik.
Lalu Namira berkata, “Kalau suatu hari... aku bilang ingin mengenalmu lebih dari sekadar kontrak. Kamu akan percaya?”
Sean menoleh, menatap matanya.
“Kamu sedang mencobaku?”
Namira menggeleng.
“Aku hanya sedang... mencoba jujur.”
Sean tidak menjawab. Tapi dalam tatapannya, ada sesuatu yang melunak. Namun sebelum keheningan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih hangat, ponsel Namira kembali bergetar. Ia melihat layar.
Bima: Aku akan menunggu di tempat biasa. Besok jam tujuh malam. Datanglah, kalau kamu juga merasa kita masih perlu bicara.
Namira menatap layar itu lama. Lalu menyimpan ponsel di saku.
Sean mengamati gerak-geriknya. Tidak bertanya apa pun. Tapi atmosfer yang mulai mencair tadi, kini kembali dingin.
Namira berdiri dari kursinya.
“Aku masuk dulu. Selamat malam.”
“Selamat malam,” jawab Sean, datar.
Ketika Namira menutup pintu balkon dan masuk ke dalam, ia bersandar pada dinding. Matanya memejam dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, ia merasa takut. Takut membuat keputusan yang salah. Takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum ia miliki sepenuhnya.
***
Esok harinya, tepat pukul tujuh malam, Namira berdiri di depan sebuah kafe kecil di sudut kota. Tempat yang dulu sering mereka datangi, ia dan Bima.
Di dalam, Bima sudah menunggu. Wajahnya tidak banyak berubah. Gaya elegan, senyum percaya diri, mata yang selalu tajam menilai. Ketika mata mereka bertemu, Bima berdiri dan tersenyum.
“Kamu datang juga,”
dan di saat itu, hati Namira berbisik pelan.
Tapi kenapa aku merasa... aku meninggalkan seseorang yang lebih penting di rumah?
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.