Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Hanya Sandiwara
Hendro terus berusaha membujuk Debby, merayu, bahkan mengancam agar wanita itu kembali padanya. Namun, Debby tetap teguh pada pendiriannya. Rasa takutnya pada Hendro kini bercampur dengan kejijikan. Ia tidak sudi kembali pada pria yang telah berbohong, meneror, dan kini menculiknya.
"Debby, kumohon. Aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu. Kita bisa bahagia bersama di sini. Tidak ada yang akan mengganggu kita," ujar Hendro dengan nada memelas, mencoba meraih tangan Debby yang masih terikat.
Debby menarik tangannya menjauh sebisanya. "Cinta katamu? Ini bukan cinta, Hendro. Kamu sakit jiwa! Lepaskan aku!" bentak Debby dengan keberanian yang tersisa.
Kekesalan Hendro semakin memuncak mendengar penolakan Debby yang begitu keras. Ia tidak menyangka, meski sudah diculik dan disekap, Debby tetap tidak gentar dan terus melawannya.
"Kenapa kamu begitu keras kepala, Debby?! Apa kurangnya aku?! Aku melakukan semua ini demi kamu!" bentak Hendro frustrasi.
"Kurangnya kamu? Kamu pembohong, peneror, dan sekarang penculik! Aku tidak sudi kembali padamu!" balas Debby dengan tatapan tajam.
Amarah Hendro mencapai puncaknya. Ia berdiri, menatap Debby dengan geram. "Kamu akan menyesal, Debby! Kamu akan menyesal karena menolakku!" ancam Hendro.
Namun, belum sempat Hendro melakukan tindakan lebih jauh, suara sirene polisi terdengar sayup-sayup dari kejauhan, semakin mendekat. Wajah Hendro langsung pucat. Rupanya, keberadaannya di villa terpencil itu sudah terendus oleh pihak berwajib.
Tak lama kemudian, pintu villa didobrak paksa oleh beberapa anggota polisi bersenjata. Mereka langsung mengamankan Hendro yang tampak terkejut dan panik.
"Polisi! Anda ditangkap atas tuduhan penculikan!" ujar salah satu petugas sambil memborgol tangan Hendro.
Debby merasa lega bukan main melihat polisi datang tepat waktu. Air matanya kembali menetes, namun kali ini adalah air mata kelegaan. Ia melihat Hendro yang meronta-ronta saat digiring keluar oleh polisi.
"Debby!" teriak Hendro putus asa sebelum benar-benar dibawa pergi.
Debby hanya bisa terisak, merasa trauma namun juga bersyukur semuanya telah berakhir. Ia melihat ke arah pintu, berharap Agus baik-baik saja setelah kejadian penabrakan itu. Kini, ia berharap keadilan akan ditegakkan dan Hendro akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Kebebasannya kembali, namun luka dan trauma akibat ulah Hendro pasti akan membekas dalam ingatannya. Ia berharap bisa segera pulih dan melanjutkan hidupnya dengan tenang.
****
Kabar buruk kembali menghantam Naura dan keluarganya. Belum sempat mereka menata kembali kehidupan di rumah kontrakan, pemilik rumah, Bu Ratih, mendatangi mereka dengan wajah tidak enak. Rupanya, hasutan Fathia telah berhasil. Bu Ratih, yang awalnya bersimpati, kini termakan oleh cerita bohong dan ketakutan yang ditanamkan Fathia.
"Naura, Ibu minta maaf sebelumnya," ujar Bu Ratih dengan nada serba salah. "Tapi setelah saya pikir-pikir, mungkin memang lebih baik kalian mencari tempat tinggal lain."
Naura, Subeni, dan Haryati saling pandang dengan wajah terkejut dan kecewa. Mereka sudah menduga ini pasti ulah Fathia.
"Kenapa begitu, Bu?" tanya Naura lirih, hatinya kembali terasa perih. "Kami tidak pernah membuat masalah di sini."
Bu Ratih menghela napas. "Saya... saya hanya merasa tidak enak. Ada beberapa hal yang saya dengar dari tetangga desa kamu dulu. Saya jadi khawatir..."
Naura mengerti. Pasti Fathia yang telah meracuni pikiran Bu Ratih. "Itu semua tidak benar, Bu. Itu hanya fitnah," jelas Naura mencoba membela diri.
Namun, Bu Ratih tampak sudah terpengaruh. "Saya mohon maaf sekali, Naura. Tapi saya rasa ini keputusan terbaik. Saya beri waktu beberapa hari untuk kalian mencari tempat lain."
Hati Naura hancur. Lagi-lagi ia harus terusir, kali ini dari tempat yang baru saja memberikannya sedikit harapan. Ia tidak habis pikir dengan kebencian Fathia yang begitu mendalam.
Saat Naura dan keluarganya dengan lesu mengemasi barang-barang mereka, Fathia muncul di depan rumah kontrakan dengan senyum kemenangan yang lebar. Ia menatap Naura dengan tatapan merendahkan.
"Bagaimana, Naura? Enak bukan terusir-usir seperti ini? Kamu memang pantas mendapatkannya," ejek Fathia dengan nada menghina.
Naura hanya bisa menatap Fathia dengan rasa sakit hati yang tak terperi. Ia tidak menyangka sepupunya itu begitu kejam.
"Apa salahku padamu, Fathia? Kenapa kamu begitu membenciku?" tanya Naura dengan suara bergetar.
Fathia tertawa sinis. "Salahmu adalah kamu ada! Kamu selalu sok baik, sok suci, padahal kenyataannya..." Fathia sengaja menggantungkan kalimatnya. "Lihatlah sekarang! Tidak punya rumah, terusir, menyedihkan!"
Air mata Naura akhirnya tumpah. Ia tidak bisa lagi menahan kesedihannya. Subeni dan Haryati berusaha menenangkan putri mereka, namun hati mereka sendiri juga terluka.
"Kamu benar-benar tidak punya hati, Fathia," ucap Subeni dengan nada kecewa.
Fathia hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Yang penting aku senang melihat kalian menderita." Ia kemudian tertawa puas dan berlalu pergi, meninggalkan Naura dan keluarganya yang kembali harus menghadapi ketidakpastian. Dendam Fathia benar-benar membutakannya dari rasa kemanusiaan. Naura kembali harus menelan pil pahit kehidupan, terusir dan tanpa tempat berlindung yang pasti, akibat kebencian seorang sepupu yang tak henti-hentinya berusaha menghancurkannya.
****
Kondisi Nirmala yang semakin kritis membuat Reksa mengambil keputusan berat. Ia mendatangi kantor polisi dan menggunakan pengaruh serta kekayaannya untuk membebaskan Hendro. Dengan air mata memohon, Reksa berjanji bahwa Hendro tidak akan melarikan diri dan akan bertanggung jawab setelah ibunya membaik. Hendro, yang pandai bersandiwara, menunjukkan penyesalan di depan polisi, membuat penahanannya akhirnya ditangguhkan.
Reksa membawa Hendro kembali ke rumah sakit, berharap kehadiran putranya bisa memberikan semangat bagi Nirmala. Namun, begitu sampai di depan ranjang ibunya yang terbaring lemah, Hendro justru menunjukkan sisi gelapnya lagi. Ia menatap Nirmala dengan senyum sinis.
"Ibu masih lemah saja," ujar Hendro dingin, tanpa sedikit pun nada iba dalam suaranya.
Reksa terkejut dengan sikap putranya. "Hendro! Apa yang kamu katakan?! Ibumu sedang sakit!"
"Dia sakit karena terlalu memikirkan hal yang tidak penting," balas Hendro acuh tak acuh. Pikirannya masih tertuju pada Debby. "Yang penting sekarang aku bebas. Aku harus segera menemui Debby."
Nirmala yang mendengar ucapan putranya, meskipun dalam kondisi lemah, merasakan hatinya kembali tertusuk. Betapa egoisnya Hendro, bahkan di saat ibunya sedang berjuang melawan sakit, ia masih memikirkan wanita lain. Kesedihan yang mendalam kembali menyerang Nirmala. Ia merasakan sesak di dadanya, dan pandangannya perlahan menggelap. Nirmala kembali pingsan.
"Ibu!" seru Reksa panik melihat istrinya tak sadarkan diri lagi. Ia menatap Hendro dengan tatapan penuh amarah dan kekecewaan. "Lihat apa yang kamu lakukan, Hendro! Kamu benar-benar tidak punya hati!"
Namun, Hendro tidak menunjukkan reaksi berarti. Ia hanya mendengus pelan. "Aku tidak punya waktu untuk ini. Aku harus pergi," ujarnya sambil berbalik hendak meninggalkan ruangan.
"Hendro!" bentak Reksa, menahan langkah putranya. "Ibumu sedang sekarat! Apa kamu tidak punya perasaan?!"
"Perasaanku hanya untuk Debby," jawab Hendro tanpa menoleh, lalu melangkah pergi meninggalkan ayahnya yang terpukul dan ibunya yang tak sadarkan diri.