Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#11
Happy Reading...
.
.
.
Rania berjalan keluar dari lobi gedung dengan langkah gontai. Tubuhnya terasa ringan tak bertenaga, seolah tubuhnya sedang melayang tanpa arah. Penampilannya terlihat sangat kacau, rambut yang biasanya ia sisir rapi kini kusut, kemeja putihnya berlipat dan kotor, bahkan terdapat beberapa memar yang tampak jelas di wajah serta lengannya. Ia tidak peduli bagaimana orang memandangnya. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana ia harus menjauh dari tempat itu.
Dengan penampilan seperti itu ia tidak bisa pulang ke rumahnya. Rania bingung sekarang ia harus kemana? Apakah ia harus kembali ke kantor dan mengadukan perbuatan Ridwan kepada dirinya? Tapi apakah ada yang akan percaya kepadanya?
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
.
.
.
Rania memutuskan untuk kembali kekantor dan meminta bantuan siapapun. Langkah kakinya terhenti saat melihat sosok Arkana pemilik perusahaan yang sedang berjalan menuju parkiran mobil. Rania sedikit bernafas lega seolah untuk pertama kalinya dunia memihak kepadanya.
Arkana hendak membuka pintu mobilnya, tiba-tiba Rania datang dan langsung naik ke kursi penumpang tanpa izin.
Arkana terkejut bukan main.
“Hey! Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan nada tajam. Ia memandang Rania dari ujung rambut hingga ujung sepatu, jelas terlihat bahwa Ia tidak mengenal perempuan ini.
Rania menunduk. “Maaf, Pak… saya hanya butuh waktu sebentar. Mohon jangan usir saya dulu..”
Arkana memicingkan mata, lalu duduk perlahan di kursi penumpang tepat disisi Rania dengan ekspresi penuh kewaspadaan. “Baik. Lima menit. Jelaskan cepat sebelum saya memanggil keamanan.”
Rania menggenggam kedua tangannya, berusaha keras menahan emosi yang hampir meledak.
“Saya… saya hampir menjadi korban pelecehan, Pak.” Ucap Rania.
Alis Arkana langsung naik. “Pelecehan?”
“Ya…” suara Rania bergetar. “Oleh salah satu petinggi anda... Pak Ridwan.”
Untuk sesaat, Arkana hanya diam. Tidak ada keterkejutan seperti yang Rania harapkan. Tidak ada rasa peduli. Tidak ada simpati. Ia hanya menatap lurus.
“Apa maksudmu? Jelaskan detailnya.” Nada suara Arkana datar, bahkan terlalu datar.
Rania menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. “Tadi, setelah meeting, Awalnya Pak Ridwan mengajak saya ke salah satu ruangan untuk makan. Setelah itu beliau mengajak saya untuk mampir ke apartemen beliau. Tapi tiba-tiba dia mengunci pintunya dan mencoba… mencoba menyentuh saya. Saya melawan, Pak. Saya berteriak.. Saya berhasil kabur ketika ada staf cleaning yang mengetuk pintu karena mendengar teriakan saya.”
Arkana menghela napas panjang dan menutup mata sejenak.
“Lalu?” katanya akhirnya. “Apa kamu punya bukti?”
Rania menatapnya dengan mata melebar, tidak percaya bahwa itu pertanyaan pertama yang keluar.
“Bukti?” ulangnya lirih. “Saya… tidak punya bukti pak. Saya hanya kabur. Bapak bisa lihat luka memar saya ini...”
“Memar tidak bisa membuktikan apa pun,” potong Arkana tegas. “Kecuali ada rekaman CCTV, saksi langsung yang..."
“Pak, saya tidak mungkin berbohong tentang hal seperti ini…” Potong Rania tidak percaya dengan ucapan pemilik perusahaannya.
Arkana menggeleng pelan. “Saya tidak menuduh kamu berbohong. Tapi saya tidak bisa menjatuhkan petinggi perusahaan hanya karena satu staf yang datang tanpa bukti jelas. Kamu harus mengerti posisi saya.”
Rania terdiam. Di dadanya, rasa sesak mengembang perlahan.
Arkana kembali bicara. “Jika tuduhan seperti ini bocor keluar tanpa bukti, reputasi perusahaan akan hancur. Media akan menggila. Investor bisa menarik dananya. Ini bukan masalah kecil.”
“Jadi… Apa itu berarti saya harus diam saja?” tanya Rania, suaranya bergetar antara sedih dan marah.
“Ya.” Jawaban Arkana keluar tanpa ragu sedikit pun. “Kalau kamu punya bukti bawa padaku. Tapi kalau tidak ada bukti maka lupakan masalah ini. Anggap tidak pernah terjadi.”
Rania menunduk. Air matanya jatuh mengenai pangkuannya.
“Sekarang turunlah,” ucap Arkana. “Saya tidak ingin masalah ini berkembang lebih jauh.”
Dengan langkah yang berat, Rania keluar dari mobil. Pintu tertutup, dan suara mesin mobil menyala.
Ketika Arkana pergi meninggalkan area parkir, Rania berdiri sendirian. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut tapi karena kecewa. Ia baru saja menyadari bahwa di tempat kerja ini… tidak ada seorang pun yang benar-benar akan melindunginya.
Bahkan pemilik perusahaannya pun memilih citra perusahaan dibandingkan keselamatan satu karyawan yang baru ia temui. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada memar di tubuhnya.
.
.
.
Rania berjalan tanpa tujuan yang jelas. Setiap langkah terasa kosong, seolah hanya mengikuti arah angin malam. Setelah beberapa menit, barulah ia tersadar bahwa dirinya tidak mengenali jalan tempat ia berada sekarang. Lampu-lampu toko di sepanjang trotoar tampak meredup, beberapa bahkan sudah mulai tutup. Hawa dingin menusuk tubuhnya perlahan, membuatnya menggenggam tasnya semakin erat.
Pandangan Rania kemudian terhenti pada sebuah kafe kecil di ujung jalan. Papan kayu bertuliskan “The Last Cup” tergantung sedikit miring, diterangi lampu kuning temaram yang justru memberikan kesan hangat. Ia tidak tahu mengapa, tetapi langkah kakinya bergerak menuju tempat itu tanpa banyak pertimbangan, seperti ada sesuatu yang memanggilnya untuk masuk ke dalam sana.
Ketika pintu kafe terbuka, aroma kopi yang pekat langsung menyambut indra penciumannya. Ruangan itu kosong. Hanya ada seorang lelaki berjas hitam yang duduk di sudut ruangan dengan segelas kopi panas di hadapannya. Ia tampak santai, seperti seseorang yang sudah terbiasa dengan kesunyian. Rania sempat mengedarkan pandangan, memastikan bahwa tidak ada orang lain sebelum ia memilih untuk duduk di meja yang cukup jauh dari lelaki itu.
Namun ketika tatapan mereka bertemu, lelaki itu tersenyum. Senyuman yang hangat, sopan dan tidak berlebihan. Rania buru-buru mengalihkan pandangannya, tidak ingin terlibat dalam percakapan apa pun malam ini. Ia hanya membutuhkan segelas kopi dan ketenangan.
Beberapa menit berlalu. Seorang pelayan datang membawa minuman pesanannya. Di saat yang sama, Rania dapat merasakan seseorang berjalan mendekatinya. Ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa. Detak langkahnya mantap. Ketika lelaki itu akhirnya berdiri di sebelah mejanya, Rania mendongak sekilas.
“Permisi,” ujar lelaki itu dengan suara yang tenang. “Bolehkah saya duduk di sini?”
Rania tidak langsung menjawab. Ia hanya memandangi wajah lelaki itu sejenak. Tatapannya teduh, berbeda dari kesan pertama yang ia dapatkan. Lelaki ini tidak terlihat mencurigakan, namun tetap saja Rania merasa ragu.
“Ada perlu apa?” tanya Rania dengan nada hati-hati.
Lelaki itu tersenyum tipis. “Tidak ada. Hanya saja kamu terlihat... tidak baik-baik saja. Saya Adrian.”
Rania mengerjap, sedikit terkejut dengan pernyataan langsung itu. “Rania,” jawabnya singkat.
Adrian menarik kursi pelan, memastikan suaranya tidak mengganggu suasana sunyi kafe. “Senang berkenalan dengan kamu, Rania.. Apa kamu tahu? Kebanyakan orang datang ke sini ketika mereka ingin merasa ingin menjauh dari sesuatu. Atau sudah merasa lelah dengan hidupnya...”
Rania menunduk, menggenggam cangkirnya yang masih panas. "Apa itu berarti aku tidak salah memasuki cafe ini?
Adrian tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya mengangguk perlahan, seolah memahami sesuatu tanpa perlu dijelaskan. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Rania merasa ada seseorang yang hadir tanpa menuntut apa-apa darinya.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...