Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Apakah Zephyr Manusia?
Hujan malam itu masih membekas di kepalaku, malam saat Zea datang menangis dan menamparku di depan rumah.
Aku masih bisa mengingat semuanya dengan jelas. Suara petir, hujan yang menetes di kaca mobil, dan wajahnya yang penuh air mata.
Saat aku tiba di halaman, nyaris saja aku menabraknya. Aku buru-buru turun dan menghampirinya.
“Zea? Kenapa kau di sini?”
Dia tidak menjawab. Air matanya jatuh deras, lalu… tanpa diduga sebuah tamparannya mendarat di pipi kananku dengan keras.
(Serafim)
Aku ikut turun dari mobil, berjalan menghampiri mereka.
Zea memandangku tajam, nyaris menamparku juga kalau saja Zephyr tidak cepat menahan tangannya.
“Jadi kau lebih memilihnya, Phyr? Kau lupa janjimu padaku, kalau kau tak akan pernah meninggalkanku?”
Zephyr hanya diam. Ia membiarkan Zea mencengkeram kerah bajunya sambil menangis sesenggukan.
Lalu Zea menatapku, matanya memerah.
“Kau tahu, Fim? Kemarin dia memutuskanku. Delapan tahun hubungan kami, hancur karena dirimu. Puas sekarang?” teriaknya.
Aku terpaku. Kata-katanya menampar keras, lebih dari tamparan yang ia berikan pada Zephyr.
Zephyr meraih tangannya pelan.
“Maafkan aku, Zea.”
Zea menepis kasar.
“Kau akan dapat karmaku, ingat itu. Dasar bajingan!”
Ia pun berlari menuju mobilnya dan pergi di tengah derasnya hujan.
Aku masih mematung di tempat. Zephyr menggenggam tanganku, mengajakku masuk ke rumah.
Saat petir menyambar di langit, spontan aku memeluknya, refleks karena kaget.
Segera aku melepaskan diri dan berjalan cepat ke dalam. Dia hanya diam, lalu memasukkan mobil ke garasi. Aku berlari ke kamar mandi, membiarkan air hangat mengguyur tubuhku yang basah kuyup.
Di bawah guyuran air itu, rasa bersalah menekan dadaku.
Aku telah merusak hubungan orang lain.
(Zephyr)
Aku bisa mendengar suara tangisan Serafim dari kamarnya.
Dia pasti menyalahkan dirinya sendiri, padahal semua ini salahku.
Aku segera mandi, lalu turun ke dapur. Bibi Naureen ingin membantu, tapi aku menolak.
Aku ingin menyiapkan makan malam sendiri untuknya.
Aroma kaldu dan rempah mulai memenuhi dapur. Untung bahan yang kuminta tadi siang sudah disiapkan. Aku membuat serapinas, makanan favoritnya. Hanya untuk kami berdua.
Dari arah dapur, kudengar Bibi Naureen mengetuk pintu kamar Serafim. Ia memanggilnya pelan, tapi tak ada jawaban. Setelah beberapa saat, akhirnya Fim membukanya juga.
(Serafim)
Sebenarnya aku malas keluar kamar, tapi ART-ku terus mengetuk pintu.
Aku pun membukanya, menerima segelas air hangat darinya.
Setelah berterima kasih, aku menutup pintu kembali.
Kutatap pantulan wajahku di cermin, mata bengkak, pipi merah, bekas tangis belum hilang.
Aku meneguk air hangat perlahan, lalu menghela napas panjang.
“Kenapa Zephyr memutuskan Zea? Bukankah dia sangat mencintainya?” gumamku pelan.
Sayang sekali hubungan selama itu berakhir begitu saja.
Tiba-tiba suara Zephyr terdengar dari luar kamar.
“Fim! Ayo keluar dulu!”
Aku diam saja. Tapi dia terus memanggil.
Sampai akhirnya…
“Kalau tidak kubuka juga, aku akan mendobraknya!”
Aku mengembuskan napas kesal dan membuka pintu.
“Apa kau tidak bisa sehari saja tanpa mengancamku?”
Dia hanya tersenyum lembut.
“Ayo makan dulu. Aku baru buat Serapinas.”
Mendengarnya saja aku menelan ludah. Tapi aku pura-pura cuek.
“Aku tidak lapar. Kau makan saja sendiri.”
Saat hendak menutup pintu, dia menahannya dan menarik tanganku pelan hingga ke ruang meja makan.
“Duduk. Cepat makan. Sakit lambungmu bisa kambuh kalau terus menolak makan.”
Aku mendengus kecil tapi menuruti.
Dia menyendok semangkuk Serapinas yang masih mengepul untukku.
Aromanya harum sekali, hangat dan lembut, dan rasa gurih dari daging sapi giling semakin membangkitkan selera makanku, rasanya seperti masakan ibu.
Aku melihat Zephyr. Dia makan dengan lahap, padahal baru saja putus cinta.
Aku menatapnya tak percaya.
Apakah Dia benar-benar seorang manusia?
“Kenapa kau lihat aku seperti itu?” tanyanya sambil mengunyah.
Aku menggeleng. “Aku cuma heran. Kau baru putus cinta, tapi masih bisa santai begitu.”
Dia tersenyum kecil.
“Kenapa harus sedih? Aku harus melanjutkan hidupku. Aku yakin, Zea akan menemukan pria yang lebih baik dariku. Lagipula, aku punya rumah tangga yang harus kuselamatkan.”
Aku sampai batuk mendengar kalimat itu. Dia cepat-cepat menuangkan air putih.
“Pelan-pelan!”
Aku menatapnya sinis.
“Sepertinya kau harus ke dokter, Phyr. Siapa tahu hatimu sudah membusuk.”
Dia hanya tertawa pelan, lalu kembali makan dengan tenang.
Entah kenapa, di balik semua kekesalanku, senyumnya membuat dadaku sedikit lebih ringan.
Beberapa hari berlalu sejak malam itu.
Zephyr tetap bersikap hangat seperti biasanya. Ia selalu menyiapkan sarapan, mengantarkan makan siang ke kantorku, bahkan mengajakku jalan tiap akhir pekan.
Ayahku terlihat bahagia melihat perubahan itu—mungkin ia pikir hubungan kami mulai membaik.
Hari itu, Zephyr mengajakku ke Dunia Fantasi. Kami menaiki beberapa wahana sampai aku nyaris muntah.
“Sudah, Phyr! Aku tidak mau naik wahana lagi!”
Ia tertawa keras, memijit pelipis dan leherku.
Malamnya, ia mengajakku menonton film romantis di bioskop.
Saat adegan ciuman muncul, aku langsung menunduk, menutupi wajah dengan tangan.
(Zephyr)
Aku tersenyum melihat tingkahnya.
“Fim, bukannya kamu sendiri yang pilih film ini?”
“Iya, aku tidak tahu kalau ada adegan seperti itu…” suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Aku menahan tawa.
“Jadi gimana, Fin? Mau lanjut nonton, atau kita pulang saja?”
Serafim akhirnya memilih keluar.
Kami meninggalkan bioskop lebih dulu dari penonton lain.
Wajahnya masih merah padam.
“Kau sudah dewasa, bahkan sudah menikah. Kenapa masih merasa tidak nyaman?”
Dia tidak menjawab, hanya berjalan cepat.
Aku menyusulnya, mencoba menggenggam tangannya. Tapi dia menepis.
Kucoba lagi, kali ini kugenggam lebih erat.
“Phyr, sakit.”
“Makanya, jangan berontak.”
Dia mendengus pelan. “Ayo pulang!”
Kami menuju area parkir. Tapi langkahku tiba-tiba terhenti, ada yang aneh.
Perasaanku berkata, ada seseorang mengikuti kami.
Aku menoleh cepat, tapi lorong parkir sepi.
Begitu kami sampai di mobil, dari balik bayangan muncul seorang pria dengan pisau di tangannya.
Refleks, kutepis serangannya dan menendangnya mundur.
“Fim, masuk ke mobil! Kunci pintunya!” seruku.
Serafim menjerit, tapi dua orang lain muncul dari arah tiang parkir.
Aku memanfaatkan jeda kecil, membuka pintu, dan melompat ke dalam mobil.
Saat hendak meninggalkan area parkir, dari luar kulihat penjaga parkir diikat.
"Sial, ini jebakan."
Kuinjak pedal gas, menabrak palang keluar, dan melesat ke jalan.
“Phyr! Mereka masih ngejar!”
Aku menatap spion. Benar, lampu mobil mereka semakin mendekat.
“Jangan panik, Fim. Kita tidak bisa pulang. Mereka pasti tahu alamat rumah kita.”
“Terus ke mana?”
“Aku tidak tahu.”
Kuhentakkan setir ke kanan, masuk ke gerbang tol yang sepi. Ban berdecit keras, dan dalam hitungan detik kami melaju kencang, meninggalkan lampu kota di belakang.
Bersambung...