“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Malam itu…
Jam menunjukkan pukul satu dini hari, namun mata Nayla masih terbuka lebar. Ia duduk membungkuk di sudut kamarnya, bersandar pada dinding yang dingin dan lembap, sementara suara napas ibunya dan adik-adiknya terdengar tenang dalam lelap. Dunia mereka tampak tenang, namun dunia di kepala Nayla berkecamuk bagai badai tak berkesudahan.
Pikirannya terus bergulat dengan kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Bukan karena ia ingin… tapi karena hidup memaksanya memilih jalan yang bahkan tak pernah terlintas dalam mimpinya sekalipun.
Sisa uang hasil ‘malam pertama’ bersama Elvino telah raib. dirampas ayahnya sendiri tanpa rasa bersalah.
Perlahan, ia bangkit. Kakinya melangkah menuju lemari kayu tua yang catnya mulai mengelupas. Di sana, ia menarik laci bawah dan mengambil tas selempang usang miliknya. Dengan tangan bergetar, ia membuka resletingnya dan mengeluarkan sebuah kartu ATM berwarna hitam mengilap. kartu yang diberikan Elvino setelah malam itu, tanpa banyak kata.
Ia menatap kartu itu lama, bibirnya gemetar. Dalam benaknya, suara hati mulai bergema lirih.
"Apa aku benar-benar akan menggunakan ini? Tapi aku tidak punya pilihan lain kan..."
"Aku benci ini tapi kalau aku tidak melakukannya, mereka tidak akan makan. Ibu bisa mati tanpa obatnya."
Ia mengepalkan jemarinya, lalu mengangguk pelan, seperti meneguhkan keputusan yang terasa seperti menelan racun demi tetap bisa bernapas.
...
Pagi harinya…
Sebelum matahari benar-benar terbit, Nayla sudah berjalan menuju ATM terdekat. Tangannya dingin saat memasukkan kartu. Ia mengetikkan PIN yang semalam diselipkan dalam secarik kertas oleh Elvino dan begitu layar menampilkan saldo, matanya membelalak.
Rp 500.000.000
“Gila…” bisik Nayla, nyaris tak percaya. Tangannya refleks menutup mulutnya.
Ia belum pernah melihat angka sebesar itu kecuali di sinetron atau iklan properti. Tapi kini, uang sebanyak itu berada dalam satu kartu kecil yang digenggam oleh gadis SMA dari kontrakan sempit yang bahkan tak punya uang jajan.
“Dia gila, kenapa dia kasih sebanyak ini ke orang yang baru dia kenal beberapa hari?”
Hatinya kembali bergolak. Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, ia menarik sejumlah uang secukupnya. cukup untuk bertahan hidup beberapa minggu ke depan.
Dengan cepat ia menuju minimarket, membeli susu, roti, sereal, dan sedikit lauk untuk ibunya. Ia ingin setidaknya pagi ini adik-adiknya sarapan layak seperti anak-anak lain. Lalu ia pulang sebentar, menyiapkan semuanya diam-diam agar ibunya tak curiga, lalu kembali bersiap pergi ke sekolah.
...
Namun ia tak tahu…
Begitu kakinya menginjakkan diri di halaman sekolah, ada yang berubah.
Langkah Nayla perlahan melambat.
Mata-mata itu… tatapan-tatapan aneh mulai menyapanya. Bukan tatapan biasa. Ada bisik-bisik lirih. Ada senyum mencibir. Ada sorot jijik yang menusuk lebih dari tamparan.
Nayla mengerutkan kening. Ia mencoba melangkah cepat, namun rasa tak nyaman makin menghimpit.
Hingga...
“Nayla.”
Suara berat itu memecah keraguan. Elang.
Sebelum Nayla sempat berpaling, tangan Elang telah mencengkeram pergelangan tangannya dan menariknya dengan langkah cepat. Nayla tersentak, nyaris terjatuh karena tak siap mengikuti langkah panjang dan cepat pria itu.
“Eh... Elang! Lepasin, sakit!” serunya tertahan.
Tapi Elang tidak menggubris. Wajahnya keras, rahangnya mengeras, dan sorot matanya... terbakar oleh sesuatu yang belum Nayla pahami.
Mereka tiba di belakang gedung perpustakaan. tempat yang sepi dan tersembunyi. Lalu dengan satu hentakan, Elang melepaskan cengkeramannya dan mendorong pelan tubuh Nayla ke dinding.
“Auh!” Nayla meringis, memegangi punggungnya.
“APA yang kau lakukan?!” bentak Nayla, nadanya tajam, matanya marah.
Namun Elang tak menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya dan mengangkat layar ponsel ke hadapan Nayla.
Nayla mematung.
Foto itu terpampang jelas: dirinya… mengenakan gaun merah marun yang terlalu pendek, duduk di sofa ruang karaoke, dikelilingi pria-pria dewasa dan botol-botol minuman keras.
Senyum miring. Mata sayu. Dandan menor.
Itu dirinya.
Nayla membeku.
Foto itu, kini tersebar luas. Di grup sekolah. Di antara teman-temannya. Mungkin... di antara guru-guru.
“Elang…” suaranya nyaris tak terdengar.
“Apa kau pikir aku nggak berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Nayla?” Elang bertanya dengan nada datar, namun rahangnya tegang dan sorot matanya penuh luka.
“Apa kau sadar gimana rasanya melihat ini?”
Nayla menatap mata Elang dalam-dalam. Ia tahu ini tak bisa dibohongi.
Dengan suara pelan namun penuh keteguhan, Nayla menjawab,
“Kau sudah lihat sendiri, kan? Masih perlu aku jelaskan lagi?”
Suasana hening.
Lalu Nayla menunduk sejenak. Air matanya nyaris tumpah… tapi ia menahannya. Ia tak ingin menangis di depan Elang. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang… entah sejak kapan, mulai menempati ruang hatinya.
Ia menatap Elang untuk terakhir kalinya sebelum berbalik pergi.
“Aku tak butuh penghakimanmu, Elang. Aku juga tak minta kau percaya. Tapi aku harap, kau tahu, kadang seseorang tak punya pilihan selain berjalan di jalan yang tak mereka inginkan.”
Langkah Nayla perlahan menjauh.
Dan Elang hanya bisa terpaku. Terdiam. Dunia seperti runtuh dalam dadanya.
...
Tak berselang lama...
Panggilan dari ruang BK terdengar lewat pengeras suara sekolah. Suara itu menyebut nama Nayla.
Dan sore itu, keputusan pun keluar.
Skorsing.
Nayla dilarang masuk sekolah untuk waktu yang belum ditentukan.
...
Di sisi lain sekolah, dari balik tirai ruang seni, seseorang tersenyum puas.
Mira.
Dengan ponsel di tangan, ia kembali memandangi foto yang kini telah menjadi alat penghancur reputasi Nayla. foto yang ia ambil diam-diam saat di ruang karaoke malam itu. Ia tau ini kejam, namun ia tak perduli. yang penting, Nayla jatuh.
Dan sekarang… Elang pun mulai menjauh.
“Selamat datang di neraka, Nayla,” bisiknya penuh kemenangan.
...
Langit mulai gelap saat Nayla melangkah keluar dari ruang BK. Langkahnya lambat, nyaris tanpa tenaga, seolah setiap tapak adalah beban. Surat skorsing itu tergenggam erat di tangannya, namun bukan selembar kertas itu yang membuat napasnya berat… melainkan bayangan wajah ibunya, yang mungkin akan hancur begitu mengetahui semuanya.
Ia berhenti sejenak di halaman sekolah. Angin sore mengacak-acak rambut panjangnya yang tak sempat ia sisir rapi pagi tadi. Matanya menatap gedung sekolah itu. tempat di mana ia pernah bermimpi menjadi seseorang. Tempat yang kini mengusirnya seperti penyakit yang tak diinginkan.
Lalu ia menunduk. Menyembunyikan air mata yang mulai membasahi pelupuk.
“Bagaimana kalau Ibu tahu?”
“Bagaimana kalau Ibu tahu aku diberhentikan sekolah?”
“Atau lebih buruk lagi… bagaimana kalau Ibu tahu aku menjual tubuhku demi menyambung hidup kami?”
Napas Nayla tercekat.
“Apakah Ibu akan membenciku?”
“Atau, akan menyerah pada hidupnya sendiri karena terlalu kecewa padaku?”
Hatinya bergemuruh. Kakinya gemetar. Tapi ia tahu satu hal: ia tidak boleh runtuh. Tidak di tempat ini. Tidak saat musuh-musuhnya masih mengintai dalam bayang.
Langkahnya kembali bergerak menyusuri trotoar yang sepi, tubuhnya sedikit limbung diterpa angin petang. Ia hanya ingin pulang. Menyelinap masuk tanpa suara. Mungkin tidur seharian. Mungkin... tidak bangun lagi.
Namun suara klakson tajam membuyarkan lamunannya.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di samping trotoar. Jendela kaca turun pelan.
Di baliknya, wajah itu muncul. Elvino.
Rambutnya rapi, kemeja hitamnya terlihat mahal, dan wajah dinginnya seperti biasa tak menunjukkan emosi.
“Masuk,” ucapnya singkat.
Nayla menoleh, sempat ragu, tapi lelah mengalahkan semua logikanya. Ia membuka pintu mobil dan masuk. Hening menyambut di dalam kabin. Hanya suara AC dan detak jantung yang ia dengar.
“Kenapa kau kelihatan seperti habis diseret keluar dari neraka?” tanya Elvino akhirnya, masih menatap ke depan.
Nayla menatap lurus ke kaca depan. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Tidak apa-apa,” jawabnya lirih.
Beberapa detik kemudian, ia menarik napas dalam-dalam.
“Maaf,” ucapnya. “Tapi kali ini, aku tidak bisa. Aku tidak sanggup melayanimu.”
Elvino menoleh perlahan, menatapnya. Dahi pria itu sedikit berkerut. Tapi Nayla tetap menunduk, membisu.
“Aku tahu… kau mungkin punya ekspektasi. Tapi hari ini, aku tidak bisa jadi milik siapa pun. Bahkan diriku sendiri pun sudah bukan milikku.”
Suara itu begitu pelan, seperti hujan pertama yang jatuh di malam sunyi.
Namun Elvino tidak membalas dengan kalimat murahan atau godaan seperti biasanya. Ia hanya menatap Nayla lama… sebelum akhirnya menekan pedal gas dan membawa mobil itu melaju pelan.
Tak ada kata-kata. Tak ada pertanyaan.
Dan itu… membuat Nayla sedikit lega.
Karena tak ada yang lebih menyakitkan daripada seseorang yang berpura-pura peduli hanya untuk mendengar kisah sedihmu.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭
tapi bnr2 Cinta sma Nayla