Laras Sagita, gadis kampung yang polos, lucu, dan blak-blakan, merantau ke kota untuk mengubah nasib. Di hari pertamanya melamar kerja sebagai sekretaris, ia tanpa sengaja menabrak mobil mewah milik seorang pria tampan yang ternyata adalah calon bosnya sendiri, Revan Dirgantara, CEO muda yang perfeksionis, dingin, dan sangat anti pada hal-hal "tidak teratur"—alias semua yang ada pada diri Laras.
Tak disangka, Revan justru menerima Laras bekerja—entah karena penasaran, gemas, atau stres akibat energi gadis itu. Seiring waktu, kekacauan demi kekacauan yang dibawa Laras membuat hari-hari Revan jungkir balik, dari kisah klien penting yang batal karena ulah Laras, hingga makan siang kantor yang berubah jadi ajang arisan gosip.
Namun di balik tawa, perlahan ada ketertarikan yang tumbuh. Laras yang sederhana dan jujur mulai membuka sisi lembut Revan yang selama ini terkunci rapat karena masa lalu kelamnya. Tapi tentu saja, cinta mereka tak mudah—dari mantan yang posesif,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Clara kembali. Setelah bertahun-tahun menghilang bersama sahabat Revan—yang sekarang sudah bangkrut dan kabur entah ke mana—tiba-tiba ia muncul di kantor Revan. Dengan make-up tebal, high heels menjulang, dan senyum sok anggun seperti dalam sinetron.
Tujuannya jelas: merebut kembali Revan.
Yang tidak ia tahu... sekretaris Revan sekarang bukan wanita biasa.
Pagi di Kantor Revan Corp
Arga lari terbirit-birit ke ruang Laras.
“Laraaaas! Badai level 10 datang!” seru Arga
“Apa? Audit mendadak?” tanya Laras
“Lebih parah. Clara.., si manipulatif itu. Dia... ada di lobi! Dan... dia bawa kue.” jawab Arga
Laras menutup laptopnya dengan tenang.
“Dia pikir bawa kue bisa beli simpati? Kasih tau dia, kita di sini diet.” jawab Laras
Arga tertawa gugup. “Aku... takut kalau dia nyakar kamu.”
“Aku udah siap. Kuku aku lebih tajam.” jawab Laras
Di Ruang Tamu Kantor
Clara duduk manis, menyilangkan kaki, memamerkan cincin palsu seukuran meteorit. Revan turun dari lantai dua, langsung mengernyit.
“Clara? Ngapain kamu di sini?” tanya Revan kaget
Clara berdiri, tersenyum memelas.
“Revan... I heard you’re doing well. I just wanna say... I miss you.” jawab Clara dengan senyum manisnya
Belum sempat Revan menjawab, Laras masuk dengan gaya santai sambil bawa toples kacang.
“Oh, Clara? Gak nyangka ya, mantan bisa mendadak jadi fans. Udah di usir masih aja balik lagi” ujar Laras
Clara melirik tajam. “Kamu gak usah ikut campur ?”
Laras duduk di samping Revan, dengan santainya mengambil kacang.
“Aku gak usah ikut campur? Oh tidak bisa, aku sekretaris, penjaga kantor, bendahara darurat, tukang kopi, dan pacar dia. Multifungsi, Kan.” jawab Laras
Revan cuma bisa senyum menahan tawa.
Clara tersenyum sinis. “Wah, Revan... kamu sekarang suka yang... blak-blakan ya?”
Laras menoleh, senyum licin. “Lebih baik blak-blakan daripada suka menusuk dari belakang kayak kamu ke Revan, dulu.”
Clara mulai tak nyaman. “Aku... aku datang cuma mau berteman lagi.”
“Oh ya? Sayang, daftar teman Revan sekarang udah penuh. Nggak ada slot buat mantan pengkhianat.”
Arga yang nonton dari balik pintu hampir semaput menahan ngakak.
Clara menegakkan badan. “Aku nggak mau ribut. Aku hanya merasa... kami punya sejarah.”
Laras berdiri dan berjalan mendekat.
“Sejarah itu tempatnya di museum, bukan di kantor kami. Dan kamu? Udah jadi fosil.” jawab Laras penuh penekanan
Clara berdiri, nyaris melotot. “Aku nggak nyangka kamu bisa sejahat ini.”
Laras tertawa. “Oh, ini belum jahat. Ini baru babak pemanasan. Kalau kamu masih di sini lima menit lagi, aku bisa bacain seluruh daftar dosa kamu dari A sampai Z—dengan power point.”
Clara akhirnya pergi. Dengan langkah terhuyung, dan wajah kalah telak.
Setelah Kepergian Clara
Revan menatap Laras sambil terkekeh. “Kamu... luar biasa.”
“Yaiyalah. Mau kamu dicakar mantan di kantor?” tanya larang
“Kamu marah?” tanya Revan
“Marah? Enggak. Cuma sebel aja, tahu-tahu mantan gila nongol bawa kue. Mending dia bawa surat permintaan maaf resmi dan bukti pertobatan!” jawab Laras
Revan menarik Laras ke pelukannya.
“Terima kasih, ya.”
Laras menyender sebentar, lalu bergumam, “Kalau mantan kamu balik lagi... aku siap bawa senjata level berat.”
“Kayak?” tanya Revan
“Bukan cutter. Bukan golok. Tapi... sindiran bertingkat dan kalimat menusuk hati.” Jawab Laras
Revan tertawa. “Aku suka pacaran sama kamu. Rasanya kayak punya bodyguard... sekaligus komika.”
Dan sejak hari itu, Clara tak pernah muncul lagi. Mungkin sedang memulihkan diri dari "badai Laras".
Tapi Revan tahu satu hal pasti: dia sudah memilih dengan benar. Wanita yang tak hanya melindunginya... tapi juga mampu menertawakan hidup bersama.
Dengan kacang di tangan dan sarkasme di lidah—Laras adalah kekacauan terbaik yang pernah ia cintai.
“Weekend ini kita liburan, fix.” ujar Revan
Revan bersandar di sofa ruang kerja dengan wajah kelelahan. “Aku butuh rehat dari dunia yang penuh invoice dan mantan psikopat.”
Laras menoleh cepat dari meja kerjanya. “Aku gak denger kata ‘liburan’ dari kamu. Ini serius?”
“Sangat serius. Kamu ikut.” jawab Revan
Laras berdiri dramatis. “Revan, kamu yakin ngajak aku? Aku tuh... orangnya ribet kalau packing. Nanti bawa masker, sheet mask, kacamata renang, charger 3 biji, minyak angin...”
“Laras.” panggil Revan
“Ya?” jawab Laras
“Justru itu yang bikin seru.” jawab Revan
Sabtu Pagi, Perjalanan Dimulai
Revan nyetir, Laras duduk di sebelah sambil bawa tas jinjing penuh cemilan dan playlist yang... sangat random.
Dari lagu dangdut remix, soundtrack kartun, sampai suara affirmasi sukses:
"Saya sehat, saya bahagia, saya dicintai Revan.” seru Laras
Revan sempat melirik. “Kamu... masukkan affirmasi cinta di playlist liburan?”
Laras pura-pura sibuk buka chiki. “Halah, itu ketekan sendiri.”
Mereka menuju dataran tinggi bernama Bukit Angin Rindu. Tempat romantis, tenang, dan terkenal karena bunga liar dan kabut tipisnya.
Tapi sekitar satu jam sebelum sampai...
“Rev, kamu yakin ini jalannya?”tanya Laras penuh penasaran
“Maps bilang ke kanan.” jawab Revan tidak yakin
“Kanan itu... gang masjid tua yang sempit banget.” jelas Laras
“Tapi panah biru gak mungkin bohong.” jawab Revan
Tiga menit kemudian, mereka resmi nyasar.
Di Tengah Desa, Tanpa Sinyal
Mobil berhenti di depan bangunan tua yang dulunya mungkin masjid, sekarang setengah jadi tempat jemur gabah.
Laras panik. “Aku gak dapet sinyal. Ini sinyal ilang atau Tuhan bilang, ‘kalian bodoh’?”
Revan garuk kepala. “Tenang, kita cari warga.”
Seorang pria tua melambaikan tangan. “Anak muda, nyari rumah Pak Lurah?”
Revan: “Enggak, Pak. Kami mau ke Bukit Angin Rindu... tapi...”
“Ohh, situ nyasar jauh. Itu mah arah barat, kalian ke timur.”
Laras langsung nyender ke mobil. “Barat timur... kenapa sih Google gak kasih GPS dengan suara emak-emak? ‘Awas ya, salah belok, tuh udah dibilangin!’”
Malam di Rumah Warga
Karena hari mulai gelap dan jalanan tidak memungkinkan, mereka menginap di rumah Pak RT yang baik hati.
“Anggep aja bulan madu dadakan,” kata istri Pak RT sambil nyuguhin teh panas dan sambal terpedas di semesta.
Laras makan dengan hati-hati, tapi Revan langsung nyendok besar.
Lima detik kemudian:
“Laras... bibirku mati rasa.”
Laras tertawa terbahak. “Kamu tuh... CEO global, tapi kalah sama sambal.”
“Ini bukan sambal. Ini pelajaran hidup.” jawab Revan
Malam Hari
Kamar sederhana dengan ranjang bambu dan selimut motif bunga besar.
Revan rebahan, menatap langit-langit. “Ini bukan liburan yang aku rencanakan. Tapi... seru juga ya.”
Laras duduk di lantai, menyisir rambutnya. “Kamu tahu? Sejak kecil aku gak pernah bisa santai. Selalu harus rapi, sesuai rencana, kerja keras.”
“Dan sekarang?”tanya Revan
“Sekarang aku nyasar bareng bos sendiri, minum teh desa, dan tidur di rumah orang. Tapi... aku bahagia.” jawab Laras dengan senyumnya
Revan menatap Laras, senyum kecil muncul. “Aku juga.”
Laras menyipitkan mata. “Tapi besok, kamu yang nyetir. Dan dengerin aku soal arah.”
“Oke, Bu GPS.” jawab Revan
Esoknya: Kolam Ikan Ajaib
Sebelum pulang, mereka diajak ke kolam ikan desa yang katanya bisa ‘membaca hati’.
“Kalo ikannya nyamperin kamu, tandanya kamu orang baik,” kata Pak RT.
Laras duduk di tepi kolam. Belum lima detik, ikan-ikan ngumpul di bawah kakinya.
“Wihhh, aku disukai ikan! Liat, Rev!”
Revan ikut duduk. Tapi... tak satu pun ikan yang datang.
Laras ngakak. “Fix. Kamu CEO jahat. Ikan aja trauma.”
“Apa jangan-jangan mereka takut ketampanan?”
“Yaelah, ikan punya standar kecantikan?”
Perjalanan Pulang
Akhirnya mereka kembali ke mobil, kali ini dengan peta kertas dari Pak RT (karena “Google kadang goblok,” kata beliau).
Revan sambil nyetir, tiba-tiba berkata, “Laras.”
“Hmm?”
“Kalau nanti kita nyasar lagi... kamu masih mau ikut aku gak?”
Laras berpaling, menatap serius.
“Asal bukan nyasar ke pelaminan sama orang lain... aku ikut.”
Mereka tertawa. Suara tawa itu mengiringi perjalanan mereka, lebih indah dari pemandangan manapun.
Bersambung
🌹🌹🌹🌹🌹