Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Nadine di Balik Seragam Cleaning Service
Bab 12: Nadine di Balik Seragam Cleaning Service
Nadine merapikan meja di salah satu ruangan kantor dengan cekatan. Tugasnya hampir selesai, hanya tinggal memastikan semua meja bersih sebelum ia lanjut ke ruangan lain. Namun, langkah kaki yang mendekat membuatnya berhenti.
Ketika menoleh, jantungnya sedikit berdebar.
Randy.
CEO muda itu berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan rapi dengan dasi yang sedikit longgar. Wajahnya tenang, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Nadine merasa waspada.
"Kamu sibuk?" tanyanya santai.
Nadine buru-buru menggeleng, meskipun sedikit canggung. "Tidak, Pak. Ada yang bisa aku bantu?"
Randy menghela napas dan menyilangkan tangan di dadanya.
Randy tersenyum. "Aku cuma mau bilang terima kasih."
Nadine mengerutkan kening. "Terima kasih?"
Randy mengangguk. "Untuk kemarin. Sudah mau menemani makan siang."
Nadine terkejut. Dia tidak menyangka pria sekelas Randy masih mengingat hal kecil seperti itu.
"Oh... sama-sama," jawabnya pelan.
Sejujurnya, kemarin adalah kejadian yang tidak ia rencanakan. Saat itu, Nadine sedang membersihkan pantry kantor ketika tanpa sengaja bertemu dengan Randy yang tampak sedang menatap ponselnya dengan wajah bosan.
"Aku butuh teman makan siang," katanya tiba-tiba.
Nadine sempat mengira dia sedang berbicara dengan orang lain, tetapi saat menoleh, Randy benar-benar menatapnya.
"Aku?"
"Ya. Kenapa? Kamu sibuk?"
Saat itu, Nadine sempat bimbang. Dia hanya seorang cleaning service, sementara Randy adalah CEO. Tapi pria itu tampak begitu santai, seolah-olah status mereka tidak berarti apa-apa. Akhirnya, tanpa banyak berpikir, Nadine menerima ajakan itu.
Dan kini, Randy kembali mencarinya hanya untuk mengucapkan terima kasih?
"Kemarin... kamu terlihat tidak begitu suka makan sendirian," ucap Nadine.
Randy tersenyum kecil, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Aku belum pernah makan siang dengan seseorang yang membuatku merasa nyaman tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain."
Nadine menatapnya, sedikit terkejut dengan kejujuran itu. Selama ini, dia hanya melihat Randy dari jauh—sebagai sosok pemimpin yang disegani, dikelilingi banyak orang tetapi tampak selalu menjaga jarak.
Ternyata, di balik itu semua, ada rasa sepi yang ia sembunyikan.
"Kalau begitu... mungkin kita bisa makan siang lagi lain kali?" ucap Nadine tanpa berpikir panjang.
Randy terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku akan menunggu ajakan itu."
Sebelum Nadine bisa membalas, Randy sudah berbalik dan berjalan pergi.
Nadine tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung pria itu hingga menghilang di balik pintu.
***
Hari itu berlalu dengan cepat, tetapi Nadine masih memikirkan pertemuannya dengan Randy.
Saat jam istirahat, dia berjalan menuju pantry untuk mengambil air. Namun, sebelum sempat menuangkan air ke gelas, dua rekan sesama cleaning service mulai berbisik-bisik di belakangnya.
"Kamu lihat nggak tadi? Pak Randy datang ke lantai ini dan ngobrol sama Nadine."
"Iya! Kayaknya bukan urusan kerjaan. Apa mungkin dia tertarik sama Nadine?"
Nadine membeku sejenak.
Mereka tidak menyadari kalau yang sedang mereka bicarakan ada di dekat mereka.
Dengan cepat, Nadine menyelesaikan urusannya dan pergi sebelum obrolan itu semakin memanas.
Hatinya mulai dipenuhi keraguan. Apakah dia baru saja membuat kesalahan dengan membiarkan Randy semakin dekat dengannya?
***
Beberapa hari berlalu, dan Nadine mencoba menghindari Randy.
Dia berusaha tidak muncul di tempat yang bisa mempertemukan mereka secara kebetulan. Saat membersihkan ruangan yang biasanya dilewati Randy, dia memastikan dirinya sudah pergi sebelum pria itu datang.
Namun, usaha itu ternyata sia-sia.
Suatu sore, ketika Nadine tengah menyusun peralatan kebersihan di gudang kecil, suara langkah kaki mendekat.
"Nadine."
Jantungnya langsung berdebar ketika mendengar suara itu. Pelan-pelan, dia berbalik.
Randy berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh selidik.
"Kamu menghindariku?" tanyanya langsung.
Nadine menggigit bibirnya. Tidak ada gunanya berbohong, karena Randy jelas menyadarinya.
"Aku hanya... tidak ingin ada kesalahpahaman," jawabnya akhirnya.
Randy terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku mengerti."
Nadine menatapnya dengan sedikit rasa bersalah. "Aku cuma nggak mau jadi bahan omongan."
"Apa itu satu-satunya alasan?"
Pertanyaan itu membuat Nadine terdiam. Ada alasan lain yang ia sembunyikan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar takut salah paham.
Dia tidak ingin Randy tahu siapa dia sebenarnya.
Karena jika Randy tahu, mungkin dia akan menjauh.
Namun, sebelum dia bisa menjawab, Randy tiba-tiba berkata, "Kalau aku yang mengajak makan siang duluan, kamu masih akan menghindar?"
Nadine menelan ludah. "Pak..."
Pria itu tersenyum kecil. "Aku cuma ingin makan siang. Seperti kemarin."
Nadine menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas. "Baiklah."
Randy tersenyum lebih lebar, lalu mengangguk puas. "Sampai ketemu besok, Nadine."
Saat pria itu pergi, Nadine tahu satu hal—dia sedang melangkah ke dalam sesuatu yang mungkin akan berbahaya.
Tapi untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan, dia tidak ingin berhenti.