Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 : Bara di Balik Senyum
Pagi itu, rumah besar Adrian tidak seramai biasanya. Alira sibuk mondar-mandir dari kamar ke ruang tamu sambil membawa beberapa gaun yang ia pinjam dari butik.
“suami ku ! Kamu suka aku pakai yang merah, biru, atau yang hitam elegan gini?” teriaknya sambil memamerkan gaun di depan cermin.
Adrian yang sedang membaca dokumen di sofa hanya melirik sekilas. “Semua terlihat sama.”
“Eh, gimana bisa sama? Lihat ini, yang merah bikin aku kayak bintang pesta, yang biru bikin aku kayak putri raja, dan yang hitam… hm, kayak janda kaya raya.”
Adrian menutup dokumen, menatapnya datar. “Kau tidak perlu terlalu heboh. Itu acara bisnis, bukan kontes fashion.”
Alira manyun. “Tapi aku harus tampil bagus dong, biar semua orang tau istrimu itu cantik.”
“Kau sudah cukup mencolok bahkan tanpa usaha.”
“Hei! Itu pujian atau sindiran?”
Adrian berdiri, merapikan jas yang sudah melekat rapi di tubuhnya. “Itu kenyataan. Cepat bersiap, kita harus berangkat.”
Satu jam kemudian, mereka tiba di ballroom hotel megah. Lampu kristal menyinari ruangan, musik klasik mengalun lembut, dan para tamu dalam setelan jas serta gaun anggun berbincang sopan.
Alira mendesah kagum. “Wow… aku kayak masuk film. Semua orang keliatan mahal banget.”
“Jangan bicara keras-keras,” bisik Adrian dingin.
“Kenapa? Mereka kan juga manusia, bukan alien.”
Beberapa tamu menoleh karena suara Alira, tapi senyum simpul Adrian membuat mereka cepat kembali ke obrolan masing-masing. Ia memang selalu berhasil menjaga wibawa—sayangnya istrinya justru kebalikannya.
Mereka baru sebentar berdiri ketika seorang pria menghampiri. Tingginya hampir sama dengan Adrian, wajah tampan dengan senyum hangat yang mudah disukai siapa saja.
“Adrian,” sapanya ramah. “Senang bertemu lagi. Lama tak berjumpa.”
“Mr. Seto.” Adrian menyalami singkat, tatapannya tetap tenang meski rahangnya sedikit mengeras.
Pria itu lalu menoleh ke Alira. “Dan tentu saja, ini Alira. Aku ingat betul dari pertemuan kemarin.”
Alira langsung tersenyum lebar. “Hai, Mr. Seto! Wih, kamu makin ganteng aja, ya. Jangan-jangan kamu pakai skincare rahasia?”
Beberapa tamu yang berdiri dekat mereka sempat tertawa kecil. Adrian menoleh cepat, menatap Alira dengan tajam.
“Alira.” Suaranya rendah, seperti peringatan.
“Apa? Aku kan cuma nanya,” bisik Alira sambil cengengesan.
Mr. Seto tampak terhibur. “Kau benar-benar berbeda, Alira. Kebanyakan orang di sini bicara dengan penuh formalitas. Tapi kau… segar.”
Alira mengedip manis. “Ya kan? Aku memang beda.”
Adrian menegakkan tubuh, ekspresinya semakin datar. “Kau terlalu banyak bicara.”
Pelayan datang membawa sampanye. Alira buru-buru meraih satu gelas, menyesapnya dengan penuh gaya.
“Hmmm… rasanya kayak jus anggur basi,” komentarnya tanpa sadar.
Beberapa tamu menahan tawa, Mr. Seto tersenyum, dan Adrian menutup mata sejenak.
“Alira.”
“Eh, apa lagi? Aku kan cuma review jujur.”
“Diamlah sebentar,” ucap Adrian datar.
Mr. Seto mengangkat gelasnya, menahan senyum. “Kau benar-benar jujur, Alira. Itu menarik.”
Jamuan berlanjut, Adrian sibuk berbincang dengan beberapa investor. Tapi matanya selalu mencari keberadaan Alira—dan menemukan gadis itu tengah berdiri di meja makanan bersama Mr. Seto.
Pria itu dengan sopan menyodorkan piring kecil. “Coba ini, salmonnya segar. Cocok dengan seleramu, mungkin.”
Alira menerima dengan riang. “Wah, makasih! Aku suka ikan, asal nggak amis.”
“Tenang saja, kalau amis biar aku ganti.”
“Kamu perhatian banget, ya.”
Adrian merasakan kepalanya berdenyut. Ia segera menghampiri, menahan ekspresi.
Alira menyuap sepotong salmon, lalu berseru, “Enak banget! Adrian, kamu harus coba juga.” Ia menyodorkan garpu berisi salmon ke arah mulut Adrian.
Semua orang menatap.
Adrian terdiam, tapi akhirnya membuka mulut sedikit, menerima suapan itu.
“Gimana?” tanya Alira dengan mata berbinar.
“…Biasa saja.”
“Eh, dasar kamu! Sekali-kali bilang enak gitu loh. Kalau Mr. Seto yang coba pasti bilang enak.”
Adrian menatapnya tajam. “Kau sebaiknya berhenti membandingkan saya dengan orang lain.”
Alira langsung manyun, sementara Mr. Seto hanya tersenyum samar, seolah menikmati ketegangan itu.
Musik berganti menjadi lebih riang. Pasangan-pasangan mulai berdansa di lantai dansa.
Alira bersorak kecil. “Aku mau ikut juga!”
Sebelum Adrian sempat bicara, Mr. Seto sudah mengulurkan tangan. “Mau menari denganku, Alira?”
Alira refleks hendak menyambut, tapi Adrian menahan tangannya cepat. “Kau menari dengan saya.”
Alira membelalakkan mata. “Eh? Serius?”
Adrian hanya menatap tanpa berkedip.
“Ya ampun, oke deh,” gumam Alira, lalu menggandeng Adrian ke lantai dansa.
Mereka mulai berdansa mengikuti alunan musik. Alira menatapnya sambil tersenyum nakal. “Ternyata kamu bisa juga nari, ya. Kupikir kamu kaku kayak robot.”
“Diam dan ikuti langkah saya.”
“Hei, jangan galak. Aku kan istrimu, bukan bawahanmu.”
Pasangan di sekitar mereka sempat menoleh, beberapa menahan tawa. Adrian tetap menjaga wajah dinginnya, tapi genggamannya di pinggang Alira terasa lebih kuat.
Dari jauh, Mr. Seto memperhatikan mereka, senyumnya samar, matanya tajam.
Tarian usai, Alira menepuk tangan Adrian. “Bagus! Aku kasih nilai delapan setengah.”
“Nilai?”
“Iya, nilai pasangan dansa. Kalau Mr. Seto yang nari sama aku, mungkin bisa sembilan.”
Adrian berhenti sejenak, tatapannya menusuk. “Alira, jangan ulangi itu lagi.”
Alira terdiam, tak menyangka nada suaranya sedingin itu.
Acara hampir berakhir. Ketika sebagian tamu mulai pulang, Mr. Seto kembali menghampiri. Kali ini ia menatap Alira dengan serius namun tetap tersenyum hangat.
“Alira, kau menyenangkan sekali. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Bagaimana kalau kita bertemu lain kali, hanya berdua?”
Udara seketika menegang.
Alira membelalakkan mata. “Eh?”
Adrian langsung berdiri setengah langkah ke depan, wajahnya keras. “Permintaan yang tidak pantas, Mr Seto.”
Pria itu mengangkat bahu ringan. “Aku hanya bercanda… atau mungkin tidak.”
Alira bingung, menatap keduanya bergantian. Adrian langsung menggenggam tangannya erat.
“Kita pulang,” ucap Adrian tegas.
“Tapi—”
“Saya bilang kita pulang.”
Tatapannya membuat Alira tak berani membantah.
Mereka meninggalkan ruangan, meninggalkan Mr. Seto yang meneguk sampanye dengan senyum samar. Matanya mengikuti langkah mereka, menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
Mobil Adrian melaju kencang menembus jalanan malam. Hening tebal menyelimuti.
Alira akhirnya membuka suara, pelan namun penuh rasa ingin tahu. “mas… kamu cemburu ya?”
Pria itu tetap menatap lurus ke depan. “Diam, Alira.”