⚠️Mature Content (Harap bijak memilih bacaan)
“Dia hanya bosku… sampai aku terbangun di pelukannya."
Aku mencintainya apapun yang mereka katakan, seburuk apapun masa lalunya. Bahkan saat dia mengatakan tidak menginginkan ku lagi, aku masih percaya bahwa dia mencintaiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Priska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Gelap
Jonathan duduk di kursi kulit tua, ponselnya tergeletak di meja rendah, layar masih menyala menampilkan foto sebuah kotak hitam kecil—isi ancaman yang kembali dikirimkan padanya pagi tadi.
Ia tidak kembali ke Amsterdam setelah mengantar Anna pulang. Rumah kayu ini memberinya jarak, sekaligus kendali. Di sini, ia bisa memerintahkan dunia bergerak tanpa harus menampakkan wajahnya.
Jonathan menekan nomor tertentu di ponselnya. Hanya sekali dering, suara di ujung sana menjawab.
“Temukan siapa yang mengirimkan paket itu. Aku tidak peduli caranya.”
Tidak ada “tolong” dalam perintah itu, hanya nada dingin yang tak memberi ruang untuk ragu.
Beberapa jam kemudian, suara ketukan terdengar di pintu. Seorang pria berjaket gelap masuk tanpa bicara, menyerahkan amplop tipis ke tangan Jonathan. Di dalamnya, ada foto seorang pria berperawakan kurus, berkepala plontos, sedang merokok di luar sebuah gudang.
“Erik Vos,” kata pria itu singkat. “Mantan pelaut. Bayaran tunai, jejak uangnya mengarah ke salah satu perusahaan cangkang Lucas.”
Jonathan menatap foto itu lama. Rahangnya mengeras, tapi matanya justru terlihat tenang—tenang dengan cara yang membuat orang lain gelisah.
“Lucas selalu seperti ini,” gumamnya. “Terlalu pengecut untuk bergerak sendiri.”
Ia menaruh foto itu di meja, lalu berkata tanpa menatap bawahannya. “Buat dia mengerti bahwa mengancamku adalah kesalahan. Jangan bunuh. Biarkan dia cukup hidup untuk menceritakan ketakutannya… tapi pastikan cerita itu berhenti di bibirnya sendiri.” Titah Jonathan.
Pria itu mengangguk, lalu pergi menghilang ke dalam malam.
Jonathan menuang wiski ke gelasnya, duduk di dekat jendela besar yang menghadap laut. Ombak tampak menghitam di bawah cahaya bulan, seperti bayangan besar yang tak henti bergerak. Ia menyesap minumannya pelan, membiarkan rencana itu berjalan jauh dari tangannya—ia hanya perlu menunggu hasilnya.
Keesokan malamnya, telepon berdering.
“Sudah selesai,” suara di ujung sana melapor. “Vos ditemukan di pelabuhan Rotterdam. Tangannya patah, wajahnya remuk. Polisi pikir itu perkelahian antar pelaut.” Lapornya
Jonathan hanya mengangguk meski lawan bicaranya tidak bisa melihat. “Bagus. Sekarang, biarkan gosip itu mengalir. Aku ingin Lucas mendengarnya dari orang-orang yang takut menyebut namaku.”
Ia menutup telepon dan kembali menatap laut. Rumah kayu ini terasa sunyi, tapi pikirannya bergerak cepat, menghitung langkah berikutnya. Lucas mungkin mengira Jonathan sedang bersembunyi, tapi kenyataannya, ia sedang mengamati dari jauh—menunggu saat yang tepat untuk membalas, dengan caranya sendiri.
Dan di tempat sunyi ini, jauh dari keramaian Amsterdam, Jonathan merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan di kantor. Kebebasan untuk menjadi dirinya yang sebenarnya. Tanpa tatapan publik, tanpa protokol… hanya dia, pikirannya, dan kekuasaan yang ia pegang di ujung jarinya.
Di luar, ombak terus memecah karang tak kenal lelah, tak pernah mundur. Sama seperti dirinya.
Jonathan duduk dekat jendela besar, segelas wiski di tangan. Sejak sore ia menimbang-nimbang, dan akhirnya menekan nama yang sejak tadi terpikir di benaknya.
Telepon berdering beberapa kali sebelum diangkat.
“Mr. Jonathan?” suara Anna terdengar pelan, mungkin karena ia tak menyangka akan menerima telepon di jam seperti ini.
“Sedang mengganggumu?” tanya Jonathan, nadanya datar.
“Tidak… saya hanya sedang memeriksa beberapa catatan untuk besok,” jawab Anna. “Bagaimana keadaan anda di sana?”
Jonathan menatap gelombang yang pecah di karang.
“Sepi. Hanya ada suara laut dan angin. Kadang rasanya seperti dunia di luar sini tidak ada.”
“Sepertinya… menyenangkan,” ucap Anna, suaranya mengandung rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Menyenangkan untuk beberapa hari, mungkin. Tapi terlalu lama di sini membuatku rindu suasana kantor,” ujar Jonathan sambil memutar gelas di tangannya. “Rapat yang berlarut-larut, tumpukan laporan… bahkan dering telepon yang tidak pernah berhenti.”
Anna tertawa kecil, spontan. “Itu terdengar seperti hal yang semua orang ingin hindari, Mr. Jonathan.”
“Mungkin. Tapi kurasa aku tidak dibuat untuk duduk diam terlalu lama.”
Mereka terdiam beberapa detik, hanya ada suara ombak di sela percakapan. Jonathan kemudian bertanya, “Bagaimana semua berjalan tanpaku?”
“Sejauh ini… stabil. Walaupun beberapa hal terasa lebih rumit tanpa Anda,” jawab Anna, mencoba terdengar profesional.
“Hm.” Jonathan menatap gelombang sekali lagi, lalu berkata dengan nada ringan, “Besok aku kembali bekerja.”
Ada jeda singkat di seberang sana, lalu suara Anna terdengar sedikit lebih cerah dari biasanya. “Itu… kabar baik.”
“Kau terdengar senang,” komentar Jonathan, nadanya setengah menggoda.
Anna buru-buru meredam nada suaranya. “Saya hanya berpikir pekerjaan akan lebih mudah dengan Anda di tempat.”
“Kalau begitu, siapkan dirimu. Meja kerja itu akan kembali penuh dengan catatan revisi dariku,” ucap Jonathan pelan, nyaris terdengar seperti senyum.
Anna membalas dengan nada yang ia usahakan tetap datar, “Baik, Mr. Jonathan.”
Jonathan menatap api yang hampir padam. “Sampai jumpa besok, Anna.”
“Sampai jumpa besok,” jawab Anna, kali ini suaranya sedikit lebih lembut.
Panggilan terputus. Anna masih memegang ponselnya beberapa saat, menyadari ia tersenyum—lalu cepat-cepat menghapusnya, kembali menatap layar laptopnya seolah tidak terjadi apa-apa.
Di rumah kayu itu, Jonathan meneguk sisa wiskinya. Dan entah kenapa, di tengah malam yang sunyi, itu membuat bibirnya membentuk senyum tipis yang tidak ia sadari.