Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PESAN IBU
Malam tiba, dan jalanan kota telah menyerah pada keheningan. Di dalam mobil sedan hitam yang bergerak pelan, perasaan berkecamuk menyelimuti Asha dan Adit.
Adit tetap fokus mengemudi, tetapi pandangannya sesekali mencuri momen ke samping, pada Asha, yang matanya memantulkan cahaya jalanan seperti bintang kecil. Perjalanan pulang kali ini bukan sekadar mengantar, melainkan membawa sebuah janji yang perlu ia tanggung, bukan beban. Melainkan sesuatu yang justru memenuhi rongga dadanya dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Makasih ya, Mas." Kata Asha, memecah keheningan. Matanya menatap cincin yang melingkar di jari manis kirinya, sesekali menoleh menatap Adit. "Aku merasa... memiliki ini semua hanyalah mimpi."
Adit mendesis, nampak jakunnya bergoyang naik turun. Dengan hati-hati, jemari kokohnya menyentuh kepala Asha, mengusap helai rambut perempuan itu—pelan, ragu, namun begitu menenangkan.
Gerakan sederhana itu seperti bisikan sunyi, bahwa ucapan terima kasih tadi tidak perlu diucapkan. Bahwa kehadiran dan perhatian itu bukanlah kebaikan yang harus dibalas, melainkan sesuatu yang memang sudah seharusnya ia lakukan—dan ingin ia lakukan.
Asha terdiam, kelopak matanya berkedip pelan, tak percaya bahwa sentuhan itu bisa begitu hangat… begitu jujur.
"Mas..." Ucap Asha lagi, kali ini ia berhasil menarik wajah Adit. Sekejap, pria itu melirik ke arahnya dan kembali menatap jalanan. "A-Apa kamu yakin bahwa aku adalah wanita yang kamu cari selama ini?"
"Sayang," Jawab Adit, suaranya lembut seperti bisikan yang langsung menjalar ke seluruh tubuh. "Kamu udah sering menanyakan hal ini. Dan jawabanku... gak pernah berubah. Aku tetap pilih kamu."
"Ke—"
"Kenapa?" Potong Adit cepat. "Karena kamu istimewa buat aku. Aku cinta sama kamu, Asha. Untuk selamanya."
Asha tersenyum sipu, bibirnya menekuk kecil namun Matanya justru menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih dalam. Ia berpaling, tidak berani langsung menatap Adit—seolah takut pemuda itu akan melihat seluruh pergolakan yang sedang berloncatan di dadanya.
Pelan, kepalanya tertunduk, membiarkan beberapa helai rambut jatuh menutup wajah.
Namun tidak ada yang bisa benar-benar menutupi rona merah yang merayap naik ke pipinya, atau getaran halus di napasnya saat ia mencoba menenangkan diri.
“Adit…” Lirihnya, suara yang lebih terdengar seperti helai napas daripada kata.
Ia mengeratkan jemari di pangkuannya, seakan memeluk perasaannya sendiri.
Pengakuan itu—sederhana, lugas, namun terlalu tulus—menampar lembut hatinya.
Suara dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan lembut di antara mereka—nyaring, tak tahu diri, seolah sengaja menyela momen yang baru saja menghangatkan udara mobil. Asha refleks tersentak kecil dan menatap layar ponsel di pangkuan.
Perawat (Resti)
Nama yang tertera di sana lagi-lagi membuat jantungnya menegang. Asha segera menyentuh ikon hijau ke atas lalu menempelkan benda tipis itu di telinga. "Halo? Ada apa, Sus?" Sapanya bergetar.
Sementara, Adit, sesekali melirik ke arah wajah kekasihnya yang nampak cemas.
"Ibu Asha, bisakah Ibu ke rumah sakit sekarang? "
Bola mata Asha membulat, panik. "I-Ibu saya kenapa, suster?"
"Dokter akan menjelaskan, setelah Anda kemari."
"Tapi..."
Tuuuuut.
"Ibu kamu kenapa, sayang?" Tanya Adit Khawatir.
"Mas!" Asha menatap Adit. "Tolong anterin aku ke rumah sakit sekarang juga ya, Mas. Aku gak tahu Ibu kenapa, tapi Suster tadi bilang aku harus segera kesana."
"Oke. Kamu tenang dulu, ya." Adit menjawab cepat, tanpa ragu. DalaM hitungan detik, ia memutar setir tajam, bukan membanting, tapi tegas dan terarah—mengambil jalur untuk berputar ke lingkaran U.
Mobil berbelok dengan mulus meski gerakannya mendadak, dan Adit meningkatkan kecepatan tanpa kehilangan kendali.
Padahal rumah Asha tinggal beberapa meter lagi, tetapi arah tujuan mereka kini berubah seketika. Tak ada jeda untuk berpikir; hanya satu hal yang penting sekarang: membawa Asha dan kecemasannya ke rumah sakit secepat mungkin.
****
Begitu mobil berhenti dan pintu terbuka, bau khas rumah sakit langsung menyergap—campuran antiseptik tajam, udara dingin AC, dan jejak samar-samar kecemasan yang selalu menggantung di setiap lorongnya.
Asha tercekat. Aroma itu seperti menampar kenyataan ke wajahnya, membuat dadanya serasa diremas.
Ia melangkah turun dengan kaki sedikit goyah, sementara Adit cepat mengitari mobil, membuka pintu untuknya, lalu menahan lengannya agar tetap stabil.
"Sayang, aku di sini,” Ucap Adit pelan, namun tegas, memastikan wanita itu tidak merasa sendiri di tengah aroma dingin yang menusuk itu.
" Tapi, Mas. Ibu..."
"Sssst. Kamu gak perlu cemas berlebihan sebelum tahu Ibu kenapa." Suara Adit lembut namun mantap, seperti jangkar yang menahan Asha agar tidak tenggelam dalam kecemasannya sendiri.
Dan, Adit benar.
Ucapan itu—cara ia menenangkannya tanpa menghakimi, sikap dewasanya yang muncul pada saat paling genting—justru menjadi alasan yang selalu membuat Asha selalu jatuh cinta pada pemuda itu.
Sikap yang, entah bagaimana, sering kali lebih matang daripada dirinya sendiri.
Sikap yang membuatnya merasa aman… bahkan ketika dunia seakan goyah di bawah kakinya.
Mereka melangkah masuk ke rumah sakit. Berjalan menelusuri koridor menuju ke arah pintu kamar yang beberapa hari ini telah Ibunya tinggali. Semakin dekat ke arah kamar yang di tuju, langkahnya terasa semakin berat daripada sebelumnya, seakan bau rumah sakit itu sendiri membawa firasat yang tak ingin Asha dengarkan.
“Bu Asha,” Sapa seseorang begitu pintu kamar tempat ibunya dirawat terbuka. Seorang perawat keluar dan segera melangkah mendekat, ekspresinya serius namun tetap berusaha menenangkan.
"Ibu saya, Suster. Bagaimana kondisinya?"
"Ibu anda sekarang sedang berada di ruang ICU. Dan, dokter sedang memeriksanya."
A-Apa? ICU...?" Ulang Asha, suaranya patah di tengah jalan.
Sekujur tubuhnya langsung melemas, lututnya seperti kehilangan tulang, dan dunia berputar sepersekian detik. Untung saja Adit sigap—tangannya segera melingkari bahu Asha, menahannya sebelum ia benar-benar jatuh.
ICU. Kata itu terngiang lagi. Ia tahu betul ruangan itu adalah ketika manusia seolah ingin menyerah. Ruangan yang menjadi batas tipis antara hidup dan mati—tempat waktu berjalan berbeda, tempat harapan dan ketakutan bertabrakan tanpa henti.
Trauma masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur mendadak bangkit, menghantam tanpa ampun.
Ruangan ini, ICU—bukan sekadar tempat bagi Asha.
Ini adalah tempat di mana ia pernah kehilangan segalanya.
Tempat terakhir ia melihat Ayahnya terbaring dengan begitu banyak mesin, suara monitor yang menusuk telinga, dan harapan yang pelan-pelan dicabut dari dadanya.
Dan kini, berdiri di koridor yang sama, dengan aroma antiseptik yang sama, dingin AC yang sama menusuk kulitnya… rasa kehilangan itu kembali menghampiri. Bukan hanya menghampiri—mengguncang.
Asha memejam, napasnya tersengal, dadanya sesak seolah dirinya kembali menjadi gadis yang ketakutan di titik waktu itu.
Adit merasakan getaran di tubuh Asha, dan ia semakin mempererat pegangan pada bahu wanita itu. Ia mungkin tidak tahu seluruh kisahnya, tapi ia bisa merasakan luka yang sedang terbuka lebar di hadapannya.
Begitu mereka tiba di depan pintu ICU, suara langkah cepat terdengar dari dalam. Pintu bergeser terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah serius namun tidak mengintimidasi.
“Bu Asha?” Tanyanya, memastikan.
Begitu Asha mengangguk—meski goyah—dokter itu memberi isyarat lembut dengan tangan. “Silakan masuk. Keduanya boleh.”
Nada suaranya tenang, seolah sengaja dibuat demikian untuk menahan badai yang sedang mengamuk di dada Asha. Ia menangkap nada berbeda dalam gerak dan pandangan sang dokter. Ada sesuatu yang tak diucapkan, namun terasa begitu berat, seperti bayangan buruk yang bersembunyi di balik kata-kata yang tidak diutarakan.
Isyarat dokter itu memang tidak langsung, tapi begitu jelas bagi naluri mereka—mengirim peringatan halus, apa yang menanti di dalam ruangan itu mungkin lebih buruk dari yang bisa dibayangkan. Sementara itu, Adit segera merapat di sampingnya, menopang punggungnya dengan satu tangan.
Mereka kemudian melangkah masuk bersama, melewati ambang pintu ICU yang terasa seperti gerbang menuju masa lalu dan masa kini yang saling bertabrakan.
Semakin dekat, Asha semakin menunduk di sisi ranjang, matanya tak lepas dari tubuh ibunya yang terbaring lemas. Detak monitor terdengar semakin cepat, seolah meniru kecemasan yang membuncah di dada Asha. Tangan Asha gemetar saat mencoba menggenggam tangan ibunya.
"Ibu, ini Asha." Getir Asha. "Tolong tetap kuat, Bu."
Perlahan, satu jemari ibunya bergerak, menggenggam tipis tangan Asha. Detak monitor sejenak berubah, berdenting lebih cepat, seolah memberi isyarat bahwa ada tanda kehidupan. Asha menahan napas, matanya melekat pada gerakan itu, hatinya bergetar antara harapan dan ketakutan.
“Bu… Bu… kau dengar aku, kan?” Bisik Asha sambil menekan jemari itu dengan lembut. Ia menoleh ke arah Adit yang ada di belakang, "Mas... Ibu."
Di belakangnya, Adit berdiri tegak, Wajahnya tenang namun matanya menyorot penuh perhatian. Ia hanya mengangguk dengan senyuman tipis yang menjadi penguat bagi Asha.
"As... sha." Suara itu terdengar seperti bisikan yang bahkan nyaris tak terdengar, namun membuat keduanya menatap lurus sang Ibu. "Jadi... lah wanita yang... kuat."
Bip. bip... bip... biiiiiiiip....
Perlahan, jemari hangat sang Ibu terlepas dari genggaman. Matanya yang setengah terpejam, kini benar-benar terlelap.
Asha terkejut, napasnya tercekat. “Bu… bangun! Bu!” Serunya panik, suaranya pecah antara harap dan ketakutan. Tangannya mengguncang lembut bahu ibunya, mencoba membangkitkan reaksi, tapi tubuh yang terbaring itu tetap diam.
Adit segera bergerak sigap, menarik napas dalam sebelum menekan tombol panggil dokter.
Tak lama, suara langkah tergesa-gesa terdengar di koridor. Beberapa perawat muncul, membawa peralatan darurat. Monitor yang tadi diam kini menarik perhatian mereka, dan dokter masuk dengan ekspresi serius, cepat menilai kondisi sang Ibu.
Asha hanya bisa menatap, tubuhnya lemas, sementara Adit tetap di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat, memberinya pegangan dan keberanian di tengah kepanikan itu.
Dokter segera bergerak cepat, menatap monitor dan tubuh sang Ibu dengan fokus penuh. “Kita lakukan resusitasi sekarang!” Serunya tegas, sambil mengarahkan perawat untuk menyiapkan alat dan oksigen.
Tangan dokter menekan dada sang Ibu dengan ritme yang cepat dan teratur, sementara Asha menahan napas, matanya melekat pada setiap gerakan itu, hatinya berdebar antara harapan dan ketakutan.
Namun, setelah beberapa menit perjuangan yang menegangkan, monitor tetap menunjukkan garis datar. Wajah dokter menegang, lalu menghela napas berat sesaat sebelum mengunci wajah cemas Asha dan Adit. “Maaf… kami sudah melakukan semua yang bisa kami lakukan,” Katanya pelan, namun tegas. "Namun... Tuhan berkehendak lain."
"Suster," Lanjut dokter itu menoleh ke arah perawat yang sedari tadi bersamanya. "Buat laporan pasien meninggal pukul delapan lewat dua puluh lima menit malam."
Asha menjerit, tubuhnya lunglai, tangisannya meledak begitu saja. Ia benar-benar tak terima dengan pernyataan terakhir sang dokter. Adit kemudian menariknya ke pelukan, mencoba menahan kehancuran mereka berdua di antara sisa bunyi detak monitor lain di sekitar ruang ICU itu.
****