“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.2
Ivana menatap bangunan sederhana di depannya. Beruntung, setiap kali datang ia selalu diizinkan masuk. Awalnya ia berniat menjenguk Daisy, tapi kakinya justru berbelok arah menuju rumah Damian—sekadar untuk mencari perhatian.
Ivana tersenyum ketika melihat seorang wanita paruh baya sedang menyiram tanaman kesayangannya.
“Selamat sore, Tante,” sapa Ivana dengan lembut.
“Sore, Ivana. Kamu datang,” sahut Diana, ibu Damian.
“Iya, Tante. Mau ketemu Damian. Apa dia ada di rumah?” tanya Ivana, masih dengan nada sopan. Ia belum tahu kalau Damian belum pulang.
“Oh, Damian masih di rumah sakit. Belum pulang,” jawab Diana, lalu mengajaknya masuk.
Tak lama kemudian, Diana meminta asisten rumah tangga menyiapkan minuman dan cemilan untuk tamunya.
“Rumah sakit?” Ivana berpura-pura terkejut. “Memang siapa yang sakit, Tante?”
“Bukan sakit. Daisy melahirkan,” jawab Diana, suaranya terdengar malas.
“Apa? Serius? Bukannya masih satu bulan lagi, loh!”
Diana kemudian menceritakan apa yang terjadi—tentang Daisy yang jatuh dari tangga setelah berdebat dengan Damian. Ia juga sempat mendengar bahwa setelah melahirkan, Daisy berencana pergi meninggalkan Damian dan anak mereka.
Ivana menatap Diana dengan tatapan sendu, sementara mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca.
“Tante hanya ingin yang terbaik untuk Damian,” ucap Diana lirih. “Tapi dia malah memilih perempuan seperti Daisy. Manja, selalu menghina, dan menjelekkan Damian. Ibu mana yang tidak sakit hati melihat anaknya diperlakukan seperti itu?”
Ivana segera meraih tangan Diana, mengusapnya lembut seolah mencoba menenangkan hati wanita itu.
“Tante harus sabar. Ana yakin, Damian akan berpisah dengan Daisy. Aku akan bantu, Tan. Aku akan buat mereka berpisah,” ujar Ivana penuh keyakinan.
“Terima kasih, Ivana. Kamu begitu baik. Seandainya kamu lebih dulu ada di hidup Damian, mungkin Tante sudah menikahkan kamu dengan anak Tante,” cetus Diana dengan nada menyesal.
Ivana tersenyum tipis. Ia merasa mendapatkan dukungan langsung dari Diana, dan itu membuatnya semakin yakin kalau jalannya untuk merebut Damian dari Daisy akan lebih mudah.
“Tan,” ucap Ivana pelan, seolah berpikir keras. “Aku jadi ragu... apakah anak yang dikandung Daisy itu benar-benar anak Damian? Bukankah kelahirannya terlalu cepat? Belum sampai delapan bulan, kan?”
Diana terdiam sejenak. “Tante juga sempat berpikir begitu, Ana. Tante juga meragukan anak itu.”
Padahal usia kandungan Daisy sudah memasuki delapan bulan. Namun Diana dan Ivana tidak benar-benar tahu pasti. Satu-satunya yang tahu kebenarannya hanyalah Damian.
Melihat Diana terdiam, Ivana segera mengajaknya jalan-jalan, mencari cara lain untuk semakin menarik perhatian ibu dari pria yang ia idamkan.
*****
Di rumah sakit, Daisy masih asyik memandang wajah bayi kecilnya. Bayi mungil itu terlelap pulas setelah kenyang menyusu.
“Anak pintar… cantik sekali,” gumam Daisy, lalu mengecup lembut kening putrinya.
Sementara itu, Damian pergi ke kantin rumah sakit. Daisy tiba-tiba ingin makan sesuatu yang berkuah, jadi ia menuruti keinginan istrinya.
“Sayang, maafkan Bunda. Dulu Bunda sempat mengabaikanmu…” lirih Daisy, matanya berkaca-kaca. Setiap kali mengingat masa lalu, hatinya terasa sesak.
Sebelum mobilnya terbakar hebat setelah jatuh ke jurang, ia masih terbayang jelas senyum manis Vio yang ceria bersama ibu tirinya.
“Bunda janji, hanya Bunda yang akan menjadi ibumu, Vio. Tidak ada yang lain.”
Pintu tiba-tiba terbuka. Daisy tersentak karena terlalu larut dalam lamunan.
“Sayang, bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Jasmin lembut.
“Hari ini aku baik, Mom,” jawab Daisy dengan senyum kecil.
Jasmin pernah menjadi orang yang paling hancur ketika kabar kematian Daisy sampai padanya. Bertahun-tahun ia sulit diajak bicara, bahkan Niklas sempat membawanya berobat ke luar negeri demi memulihkan luka batin itu.
“Kamu kenapa, Daisy? Apa ada yang sakit?” tanya Jasmin cemas melihat putrinya melamun.
“Aku nggak apa-apa, Mom,” sahut Daisy pelan.
“Kalau begitu, sini. Mommy mau gendong cucu Mommy,” ucap Jasmin sambil mengulurkan tangan, mengambil sang cucu.
“Baru juga tidur, Mom.” Keluh Daisy, namun Jasmin tidak menanggapi ucapan sang anak. Beruntung, Vio tidak terbangun sangat nyaman dalam dekapan Neneknya.
“Jangan jauh-jauh ya, Mom. Aku nggak mau jauh dari Vio,” cetus Daisy.
“Namanya Vio?” Jasmin mengulang, sedikit terkejut.
“Iya, namanya Vio. Memangnya kenapa? Jelek, ya?” Daisy tampak bingung. Nama itu ia berikan secara spontan.
“Tidak, bagus kok. Mommy suka. Tapi nama panjangnya apa?”
“Nah, kalau itu biar Damian saja yang memberi.” Daisy terkekeh, menggeleng pelan.
“Ih, kamu ini…” Jasmin akhirnya mengurungkan niatnya untuk keluar ke taman. Ia tetap di ruang rawat, lalu bersenandung menyanyikan lagu yang dulu sering ia dendangkan untuk Daisy kecil. Jasmin selalu menjadi tameng putrinya, terutama ketika Daisy melakukan kesalahan.
Bagaimanapun, Daisy adalah putri satu-satunya keluarga Wisnutama, setelah kakak lelakinya lebih dulu pergi menghadap Sang Pencipta.
Daisy kembali melamun, mengenang masa lalu yang getir bersama Damian. Hingga ia tak sadar kalau Damian sudah kembali membawa makanan.
“Mom,” sapa Damian seraya mendekat.
“Ini, Vio sudah tidur,” ujar Jasmin sambil menyerahkan bayi itu kepadanya.
“Vio?” Damian mengangkat alis.
“Iya, Daisy memberinya nama Vio. Bagaimana, kamu suka kan?”
Damian tersenyum, mengecup kening sang anak penuh kasih.
“Suka, namanya bagus.”
Jasmin memperhatikan Daisy yang kembali melamun, lalu memutuskan mengajak Damian bicara di luar ruang rawat.
“Damian, apa Daisy sering melamun akhir-akhir ini?” tanya Jasmin serius.
“Iya, Mom. Aku juga sering melihatnya menangis,” jawab Damian sambil melirik ke arah Daisy yang mulai tertidur.
“Apa mungkin dia terkena baby blues?”
“Aku belum tahu, Mom. Besok aku akan tanyakan ke dokter.”
“Ya, sebaiknya begitu. Biar cepat ditangani.” Jasmin mengangguk setuju.
“Oh ya, untuk nama panjang Vio, Daisy bilang itu urusanmu.”
“Viola Carla Hermawan. Bagaimana, Mom?” Damian menatapnya hati-hati.
“Bagus. Mommy suka. Seandainya bisa ditambah nama keluarga ayahnya Daisy…,” ujar Jasmin sambil terkekeh.
Damian hanya tersenyum. Setelah berbincang sebentar, Jasmin memutuskan pulang dengan janji akan kembali saat Daisy sudah diperbolehkan keluar rumah sakit.
“Hati-hati, Mom. Maaf aku nggak bisa antar sampai depan,” ucap Damian.
“Tidak apa-apa. Yang penting, jaga Daisy baik-baik.”
“Aku janji, Mom. Aku akan selalu menjaga Daisy.” Damian menatap mertuanya penuh keyakinan.
“Terima kasih. Walau terlihat kuat, Daisy sebenarnya sangat manja dan cengeng.” Jasmin tersenyum lalu memeluk menantunya.
Damian menatap Ibu mertuanya masuk ke dalam lift. Setelah pintu tertutup, ia kembali ke ruang rawat dan ikut berbaring di samping Daisy, rasa lelahnya perlahan menyeruak.
****
Villa keluarga Wisnutama
Jasmin duduk menatap foto anak lelakinya yang sudah lebih dulu pergi. Setiap tahun, mereka selalu mengenang kepergian itu dengan berbagi di panti asuhan.
Usapan lembut di bahu membuatnya menoleh. Niklas tersenyum dan duduk di sampingnya.
“Apa yang kamu pikirkan, sayang? Sejak pulang dari rumah sakit kamu banyak melamun,” ucap Niklas.
“Aku memikirkan Daisy,” jawab Jasmin.
“Kenapa? Apa dia baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja. Hanya saja… dia sering melamun dan menangis. Aku takut, Mas. Aku takut kehilangan dia,” lirih Jasmin.
Niklas segera memeluk istrinya, mengelus punggungnya penuh sayang.
“Jangan khawatir, sayang. Dia kuat. Anak kita pasti baik-baik saja.”
“Iya…” hanya itu yang mampu Jasmin ucapkan.
“Lalu bagaimana dengan Andreas? Apa kamu sudah menyelidikinya?” tanya Jasmin, kini nada suaranya lebih tajam.
“Sudah. Dia anak dari musuh kita,” jawab Niklas tenang.
“Siapa?”
“Alfa.”
Mata Jasmin langsung berkobar. Ia mengepalkan tangannya erat. Lelaki itu pula yang menjadi sebab ayah Damian meninggal.
“Kurang ajar! Lakukan sesuatu, Mas,” ucapnya penuh emosi.
“Kamu tenang saja. Jangan pikirkan hal itu lagi. Oke? Malam ini cukup layani aku,” goda Niklas sambil tersenyum nakal.
“Huh! Dasar. Udah punya cucu masih aja genit!” Jasmin memutar bola matanya malas.
“Loh, genit sama istri sendiri kan boleh. Atau kamu mau aku genit sama orang lain?” Niklas mengedip nakal, alisnya naik-turun.
“Ya jangan lah! Jangan macam-macam sama aku,” sahut Jasmin ketus, membuat Niklas tergelak.
“Gimana kalau kita tambah satu anak lagi? Kita masih cocok, kan…” bisiknya.
“Apaan sih, Mas!” Jasmin terpekik, pipinya memerah. Meski begitu, hatinya tahu—ia dan Niklas memang masih pantas menambah buah hati.
Tanpa berkata panjang, Niklas langsung mengangkat tubuh istrinya menuju pembaringan. Malam itu, mereka kembali berlayar di lautan asmara. Niklas tahu, Jasmin sudah tak lagi menggunakan pencegah kehamilan.
Bersambung ....