Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 2 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
PROLOG
Miska Izzatunnisa.
Nama yang indah, sarat makna, pemberian dari kedua orang tua yang berharap ia tumbuh menjadi gadis yang berakhlak baik dan menjaga izzah/kehormatannya sebagai seorang muslimah.
Namun, harapan itu perlahan pudar seiring dengan bertambahnya usia Miska.
Terlahir dari keluarga terpandang, Miska adalah anak tunggal dari pasangan Rasyid dan Farida, pengusaha sukses yang juga dikenal sebagai keluarga yang taat beragama.
Ayahnya, seorang pengusaha tekstil, adalah pria yang selalu mengenakan peci dan tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid.
Ibunya, seorang dosen di universitas Islam ternama, adalah perempuan anggun yang tidak pernah terlihat keluar rumah tanpa hijab panjangnya.
Bahkan, hampir seluruh anggota keluarga besar mereka adalah orang-orang yang meniti jalan agama dengan penuh ketaatan.
Kakek dan neneknya adalah ulama terpandang, para paman dan bibinya aktif berdakwah, dan sepupu-sepupunya adalah santri atau hafidz Quran.
Tak ada satu pun dalam garis keturunan mereka yang berperilaku seperti Miska.
Gadis itu bak duri dalam mawar, berbeda dari yang lain.
Miska tumbuh menjadi sosok yang sulit dikendalikan. Cantik, mempesona, dan memiliki aura yang membuat siapa pun menoleh, tapi juga liar, keras kepala, dan berjiwa pemberontak.
Sejak kecil, ia selalu merasa terkekang oleh aturan keluarganya yang ketat, yang menurutnya terlalu membatasi kebebasan.
Jilbab yang seharusnya menutupi auratnya hanya dikenakan semaunya, kadang ada, kadang tidak. Rok sekolahnya selalu lebih pendek dari aturan yang ditetapkan sekolah Islamnya.
Ia lebih suka nongkrong di jalan sepulang sekolah, menghabiskan waktu dengan teman-teman yang jauh dari nilai-nilai yang ditanamkan keluarganya.
Bagi Miska, agama hanyalah sesuatu yang dipaksakan kepadanya. Ia tidak pernah benar-benar memahami esensinya, apalagi merasakannya.
Baginya, hidup harus dinikmati, bukan diatur dengan sekian banyak aturan yang membuatnya merasa seperti burung dalam sangkar emas.
Namun, sekuat apa pun ia berlari dari keluarganya, seberapa jauh pun ia berusaha memisahkan diri dari ajaran yang mereka pegang teguh, takdir memiliki cara tersendiri untuk menariknya kembali.
Miska belum tahu, bahwa hidupnya akan berubah. Bahwa orang tuanya telah menyiapkan keputusan besar yang akan mengguncang dunianya.
**
Langit masih gelap, angin pagi berembus pelan melalui celah jendela kamar Miska. Di luar, suara jangkrik mulai mereda, digantikan oleh kicauan burung yang riang menyambut fajar.
Suasana rumah mulai hidup. Umi Farida sibuk di dapur menyiapkan sarapan, sementara di ruang tamu, Abi Rasyid baru saja kembali dari masjid setelah shalat subuh berjamaah.
Namun, di kamar Miska, suasana masih sunyi. Hingga beberapa saat kemudian...
Kring! Kring! Kring!
Alarm ponselnya berbunyi nyaring, memenuhi kesunyian kamar yang remang-remang. Dan jam digital di nakas pun sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB.
Alarm itu bukan sekadar pengingat biasa, melainkan sudah diatur setiap hari untuk membangunkannya sebelum adzan subuh berkumandang.
Tapi, seperti biasa, tak ada reaksi dari Miska. Gadis itu tetap saja terlelap meski suara bising memekakkan telinganya.
Wajahnya tertimbun bantal, selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya. Hanya suara napasnya yang terdengar, tenang dan tidak terganggu, yang terkadang beserta suara dengkuran halus yang selang seling.
"Khhhookk!... Khhhookk!...."
Sementara itu, di luar kamar, suara adzan subuh sudah lama berlalu. Umi Farida yang sedang menuang teh tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ya Allah, Miska…” desisnya, lalu bergegas menuju kamar putrinya.
Begitu masuk, ia menghela napas seraya memegangi dadanya. Umi Farida melihat anak gadisnya masih tidur seperti bayi yang tidak berdosa.
Dengan sedikit gemas, Umi Farida menggoyangkan tubuh Miska lalu berseru, “Miska, bangun. Sudah adzan subuh.”
Namun guncangan itu seakan tidak berpengaruh sehingga tidak ada reaksi apapun. Yang sedikit terdengar hanya gumaman kecil dari bibir Miska yang masih setengah sadar.
"Masih ngantuk...."
Umi Farida kembali menggoyangkan tubuh Miska dan kali ini lebih keras. “Astagfirullaah... Anak ini, selalu susah kalau dibangunkan. Miska!," serunya dengan sedikit membentak.
Miska pun mengerjapkan mata dengan malas dan sedikit mengangkat kepalanya yang terasa berat. Ia merengut kecil sebelum akhirnya duduk dengan rambut yang berantakan.
“Iya, Umi… Aku bangun,” gumamnya dengan suara serak.
Umi Farida menatap Miska sejenak untuk memastikan bahwa anaknya benar-benar sadar dan akhirnya merasa lega. “Jangan tidur lagi, langsung ke kamar mandi, ya. Umi nggak mau lihat kamu ketiduran lagi," pesannya.
Miska pun hanya mengangguk asal.
Setelah memastikan putrinya tidak akan kembali tidur, Umi Farida pun keluar dari kamar.
Tapi begitu pintu tertutup…
GUBRAK!!
Miska langsung membanting tubuhnya kembali ke kasur dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
“Lima menit lagi…” gumamnya pelan.
Namun, lima menit berubah menjadi sepuluh. Lalu dua puluh. Sampai akhirnya, matahari mulai naik dan suara hiruk-pikuk dari luar kamarnya mulai terdengar.
**
Sementara itu di meja makan, Abi Rasyid duduk dengan tenang sambil membaca koran. Sesekali ia menyeruput teh yang sudah disediakan istrinya.
Suara piring dan sendok beradu, tanda bahwa Umi Farida tengah sibuk menyiapkan sarapan.
“Miska sudah bangun, Umi?,” tanya Abi Rasyid tiba-tiba.
Umi Farida yang tengah mengatur piring hanya melirik jam dinding sekilas lalu menjawab, “Sudah, tadi Umi bangunkan.”
Abi Rasyid pun mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 05.45 WIB. Tapi matanya tiba-tiba menyipit curiga.
“Sudah shalat?,” tanyanya lagi.
Umi Farida terpaku sejenak. Ia juga mulai ragu lalu berujar, “Harusnya sudah, Bi… tapi…”
Keduanya pun saling berpandangan.
"Hm!."
Abi Rasyid mendengus pelan, lalu melipat korannya dan berdiri. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kamar Miska.
Tok tok tok!!!
"Miska?."
Tok tok tok!!
"Miska?."
Beberapa panggilannya berlalu begitu saja tanpa sahutan dari dalam. Lalu, tanpa mengetuk pintu lagi, Abi Rasyid langsung membuka pintu.
Ceklek!!
Dan di sanalah ia menemukannya. Putrinya yang masih tertidur pulas dengan meringkuk di balik selimut seperti tidak terjadi apa-apa.
GUBRAK!
Suara pintu yang terbuka dengan keras membuat Miska tersentak. Ia lalu membuka mata dengan kaget dan mendapati sosok ayahnya berdiri di ambang pintu dengan wajah yang serius.
“Bangun.”
Hanya satu kata, tapi nadanya cukup untuk membuat bulu kuduk Miska meremang.
"Emmmh...." Miska mengerang malas lalu berujar, “Abi… sebentar lagi…”
Namun, Abi Rasyid tidak menggubris. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Miska.
“ABI!!,” pekik Miska. Tubuhnya menggigil karena udara pagi yang masih dingin.
“Shalat subuh bukan pilihan, Miska.” ucap abinya tegas. “Bangun. Sekarang.”
Miska nampak kesal. Tapi ia tidak bisa melawan. Dengan malas, ia akhirnya bangkit dari kasur, lalu menyeret kakinya menuju kamar mandi.
Tapi sebelum menutup pintu, ia melirik ke arah abinya dengan kesal dan menggerutu, “Kenapa sih harus sekaku ini? Nggak bisa santai dikit?.”
“Ini bukan soal santai atau tidak. Ini soal tanggung jawabmu sebagai seorang muslim," jawab Abi Rasyid seraya menatapnya tajam.
"Huh!."
Miska membuang napas dengan kasar lalu menutup pintu kamar mandi dengan keras.
BLUG!!
Abi Rasyid hanya bisa menggelengkan kepalanya dan merasa tidak habis pikir.
Adapun di luar kamar, Umi Farida sudah menunggunya dengan tatapan penuh arti. “Dia tetap saja seperti itu, Abi," ucap Umi Farida, seolah merasa putus asa.
“Dia butuh lebih dari sekadar diingatkan," jawab Abi Rasyid.
Umi Farida pun hanya manggut, seolah mengerti makna di balik kata-kata suaminya.
BERSAMBUNG...