Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Ke Sekolah Karena Terjebak Rumor
Niatnya, sih, mau libur sampai luka di wajahnya dapat tersamarkan dengan baik. Tapi sepertinya, Meta tidak akan tenang jika laki-laki bernama Aksel masih berada di dunia yang sama dengannya. Selain itu, alasan yang membuatnya harus masuk sekolah hari ini adalah karena kabar yang kurang enak didengar.
Biang keroknya adalah Aksel, cowok gila itu memposting foto hasil pemaksaannya di akun sosial media miliknya. Parahnya lagi, Aksel menuliskan caption, "Candu" yang akan membuat penduduk SMA Gemilang salah paham.
Hal yang paling membuat Meta naik darah adalah foto yang memperlihatkan sebagian sisi rumahnya, yang entah kapan cowok itu jepret karena berhasil lolos dari pantauan, ikut menjadi sasaran Aksel. Siapa yang tidak akan marah jika informasi pribadinya disebar tanpa izin? Tidak salah, kan, jika saat ini, Meta telah memukul dan menghantam Aksel sampai terpelanting ke dinding kelas. Senyuman sambutan yang ia tunjukkan tadi lenyap, berganti dengan ringisan kesakitan.
Renata dan Kayla bergegas berdiri dari tempat duduknya menuju kedua sisi Meta, prihatin atas apa yang Aksel alami akibat perlakuan kasar sahabatnya. "Ta, lo gila, ya? Masih pagi udah bikin satu sekolah panik. Lo mau, orang tua lo ikut dipanggil ke sekolah karena ini?" bisik Renata, menarik lengan sahabatnya untuk segera mundur.
Kesadaran Meta mengisi kembali raganya, menepis sentuhan Renata di lengannya. "Gue nggak suka cara dia untuk ngedapetin gue, Ren. Gue memang bukan apa-apa, status gue lebih rendah dari kalian semua. Tapi gue berhak mempertahankan harga diri gue."
"Ya, gue tau. Tapi nggak gini caranya untuk ngasih tau dia, Ta, kasian Aksel. Tempat duduk lo itu, dia yang jagain saat yang lain rebutan karena nggak kebagian tempat paling strategis buat molor. Pagi-pagi dia udah ada di sini, dan karena lo nggak masuk hari itu, dia ikutan bolos. Apa yang salah?"
"Karena dia posting foto gue dan bikin orang-orang salah paham!" bentak Meta, menatap Aksel amat marah. Cowok itu dalam posisi meringkuk di lantai, merasakan nyeri pada tulang-tulangnya yang remuk.
Kayla menyenggol Meta, mengingatkan cewek berambut pendek itu lagi untuk memelankan suaranya. Atau akan ada banyak siswa yang penasaran, semua masalah ini akan bertambah kacau. Orang-orang akan membicarakan mereka selama beberapa hari, situasinya akan lebih rumit jika Meta tidak segera berhenti.
"Foto apa, Ta? Kenapa nggak ada yang ngasih tau gue kalau ada gosip tentang lo?" Kayla segera mengeluarkan ponselnya, matanya bertemu dengan Aksel sebelum itu. Cowok berperawakan seperti bule itu telah berdiri, berjalan mendekat ke arah Meta. Kayla mencoba acuh, jarinya bergerak menggeser tombol di ponselnya.
"Nggak akan ada di grup kelas, mereka nggak akan ngegosipin gue secara terang-terangan."
"Iya, sih. Serigala betina nyeremin kalo lagi nggak waras. Tapi setidaknya untuk saat ini, waras, Ta. Hari pertama lo."
Meta mendelik tajam pada Kayla yang secara tidak langsung telah menga-ngatai dirinya, hingga cewek itu pun urung untuk memeriksa ponselnya dan memilih bungkam. Lantas di detik kemudian, Aksel berdiri di hadapan Meta dengan jarak yang sangat dekat, kelas sudah sangat sesak dan ramai. Banyak yang penasaran apa yang terjadi di kelas ini, lalu muncul kebingungan di kepala mereka setelah melihat Aksel dan Meta bertengkar. Karena di foto yang Aksel posting semalam, mereka seperti pasangan yang baru jadian.
Aksel berdiri baik-baik di hadapan Meta, mengusap bibirnya yang pecah dan sedikit mengeluarkan darah, karena sebelumnya sempat mendapat pukulan dari Meta. Memperlihatkan kepada Meta, kemarahannya itu bukan apa-apa baginya.
"Hapus postingan foto gue di instagram lo, gue bukan cewek murahan yang bisa lo pamerin sana-sini!"
Bola mata Kayla hampir melompat keluar mendengar kalimat sarkastik Meta, kalau cewek itu berbicara baik-baik, malah terdengar lebih aneh lagi. Sejauh yang ia kenal, Meta adalah benteng bagi dirinya sendiri dan teman-teman dekatnya. Baginya, jika tak diusik, ia tak akan menjadi monster yang dapat menelan hidup orang-orang.
Aksel bersikap acuh, mencoba memprovokasi Meta. "Gue nggak pernah berpikir serendah itu untuk setangkai berlian, Ta. Lagipula gue nggak ngerasa ada yang salah, postingannya nggak akan gue hapus," paparnya enggan.
"Jangan nguji kesabaran gue! Lo harus dapat izin gue sebelum posting foto itu."
"Kalau lo maksa, gue akan kasih tau mereka tentang rumah di foto itu."
Ancaman Aksel memukul mundur perlawanan Meta yang sialnya ia kerahkan dengan sekuat tenaga, berharap Aksel akan tunduk padanya dan membiarkannya hidup dalam ketenangan. Tapi justru yang Meta dapatkan adalah masalah yang tiada henti, membuatnya mau tak mau menerima dipermalukan.
Meta memajukan langkahnya, mendekatkan bibirnya pada telinga Aksel. "Lo akan mati, Sel. Gue yakin lo mau lebih dekat sama Tuhan," ujarnya mengerikan, membuat bulu kuduk Aksel meremang merasakan kegilaan Meta jika sudah kepalang marah.
"Justru gue lagi berusaha lebih dekat sama lo. Supaya kita bisa ngadep Tuhan bareng-bareng," balas Aksel, membuat wajah Meta merah padam. Emosinya tersulut, tapi ia menahan dirinya agar masalah ini tidak semakin rumit.
Karena Aksel berhasil memegang kendali atas Meta, ia mencoba bersikap santai, mengabaikan ancaman Meta sebab ada yang lebih penting dari itu semua. Meta mengenyampingkan egonya walau terpaksa, ia terima jika harus menerima Aksel sebagai teman sebangkunya pada barisan paling belakang selama dua semester. Cewek itu menjatuhkan tubuhnya dengan kesal, mencoba menebalkan muka saat ratusan orang mengamati pergerakannya.
Melihat hal itu, Aksel menjadi sangat senang, padahal hanya hal kecil tapi ini pertama kalinya ia berhasil mengalahkan Meta. "Menggali lebih dalam, gue akan temukan lebih banyak. Kita lihat siapa yang menang, Ta. Karena gue percaya, bukan karena nggak bisa, tapi karena lo menutup rasa."
Renata dan Kayla ikut berlalu meninggalkan Aksel, tetapi Kayla dengan senyuman miringnya memberikan acungan jempol pada cowok itu. Jelas Aksel merasa diapresiasi, ia merasa usahanya dihargai dan mendapatkan dukungan dari teman-teman Meta. Sejauh ini sudah cukup, usahanya mulai menggambarkan hubungannya dengan Meta meski masih samar.
"Lo nggak mau duduk? Tendangan gue tadi masih belum nyadarin lo?" Meta bersuara saat kerumunan siswa mulai membubarkan diri, menarik Aksel dari lamunan.
"Cara lo memperhatikan orang lain beda, ya, Ta. Lewat kemarahan, omongan kasar, judes, kayak nggak punya hati," komentar Aksel setelah duduk di sebelah Meta, sementara cewek itu berdekatan dengan dinding kelas. Dekat dengan jendela agar bisa memandang ke luar saat jenuh dengan pelajaran. Bayangkan saja sepengertian apa Aksel terhadap Meta, tapi reaksi Meta justru tak sesuai harapannya.
Meta berbeda, sangat. Mungkin itu jua yang membuat Aksel merasa berbeda.
"Nggak usah bacot! Lo mau gue lempar ke jendela?!"
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Pada mata pelajaran kedua sebelum jam istirahat pertama, Aksel mulai bertingkah. Cowok itu bersiul-siul genit bak laki-laki jalanan yang suka menggombal perempuan yang lewat. Posisinya saat itu, Bu Yuli sedang pergi ke ruang guru dan hanya meninggalkan tugas berupa catatan, dikumpulkan setelah bel istirahat berbunyi untuk diperiksa. Kesempatan emas bukan untuk merilekskan pikiran?
Nah, salah satu cara Aksel untuk menyegarkan pikiran adalah dengan mengganggu gebetan di sampingnya, dengan terus menggeser kursi sampai membuat Meta terpojok ke dinding. Sengaja mencari kegaduhan, dipikirnya Meta akan meladeni dengan senang hati?
"Geser dikit, jangan mepet terus. Lo mau anu lo gue tendang?!" Mata Meta melotot garang pada Aksel, seakan tidak main-main dengan ucapannya.
Aksel balas menggeleng, kembali menyandarkan punggungnya ke kursi dan tidak melanjutkan catatannya yang hampir selesai. "Gue nggak nyangka, ternyata lo membosankan dalam bidang percintaan," cibirnya pelan agar tak didengar oleh Meta yang sedang fokus menulis.
Aksel senang suara pertama Meta menyayat gendang telinganya lagi setelah sejak tadi tidak bicara, lantaran takut dengan guru yang sedang mengajar. Tapi sekarang situasinya sudah tidak terlalu menegangkan, hal itu pula yang membuat Aksel memiliki ide usil untuk menjaili Meta.
Merasa tak tenang karena memikirkan luka di wajah Meta yang saat ini sudah tidak terlihat, Aksel menarik punggungnya lagi dari sandaran kursi. Merebahkan kepalanya ke atas meja, menatap maha karya Tuhan yang sempurna. Kulitnya memang tidak putih, warna kulit warga Indonesia pada umumnya, hitam manis. Matanya besar dan bibirnya kecil, hidungnya mancung dan ukurannya pas hingga membuatnya tampak seperti boneka hidup.
Tanpa sadar, Aksel tersenyum, bertepatan dengan lirikan yang Meta edarkan lewat ekor matanya. Membuat dahinya berkerut, merasa aneh dengan tatapan Aksel. "Apa lo liat-liat? Sambil senyum lagi, udah gila?" ketusnya.
"Gue? Senyum?" Aksel pura-pura tak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ya, wajar. Gue anaknya ramah, bisa senyum ke siapa aja. Nggak kayak lo, muka udah kayak tembok Cina, datar kayak body-nya!"
Meta menaikkan ujung bibirnya dengan kesal ketika Aksel melepas tawanya di akhir kalimat, jelas ia tidak terima dihina seperti itu. "Anjing lo! Nggak usah body shaming, dong, dasar kuda liar!" balasnya, tersulut api emosi.
"Lo ngatain gue apa? Kuda liar?"
"Iya, kenapa? Nggak suka?"
Meta memajukan tubuhnya, membuat Aksel refleks memundurkan tubuh. Wajah mereka cukup dekat, membuat Aksel sedikit salah tingkah.
"Suka, kok, apalagi sama orangnya."
"Najis! Jauh-jauh dari gue, gue alergi sama hama!"
"Sialan! Cakep-cakep gini dibilang hama, gue pacarin juga lo!" maki Aksel sambil tertawa renyah, mulut Meta sangat tajam dan berbisa. Tapi seperti yang ia bilang, Aksel tetap suka, kekurangan itu justru terlihat seperti keistimewaan baginya.
Perdebatan mereka membuat seisi kelas terpana dengan fokus yang memang hanya terpusat pada mereka, ketua kelas saja tidak berani menghentikan mereka lantaran akan menjadi sasaran perundungan. Hal itu bagus untuk Aksel, memang itu yang ia mau. Beberapa teman gengnya di kelas ini tertawa, seakan sangat terhibur oleh drama percintaan Aksel.
Meta kembali menulis, melanjutkan catatannya yang sudah sampai pada kalimat akhir. Mengabaikan teman-teman Aksel yang juga berisik sama seperti cowok itu, kelas sudah seperti pasar, banyak sekali kegiatan yang dilakukan. Sampai-sampai AC di dalam kelas tidak lagi terasa, anak-anak itu berlarian entah mengejar apa. Aksel tertawa melihat teman-temannya sambil memukul meja, membuat meja bergetar dan bergeser. Hal itu memicu pertengkaran lagi, Meta butuh tip-x segera.
"Lo bisa diem, nggak, sih?!" hardik Meta frustrasi melihat buku catatannya tak sengaja tercoret, memperlihatkan garis yang cukup panjang. "Cariin gue tip-x buruan, atau catatan lo gue lempar ke jendela?"
"Emang gue ngapain?" balas Aksel tercengang, tanpa tahu kesalahannya, ia diancam dan dititah semena-mena.
"Lo ketawa sambil mukul meja, sialan! Gue lagi nulis, lo pikir buat apa gue nyuruh lo nyariin tip-x?"
"Buset mulut lo keluar api. Nih, gue punya banyak di rumah, ambil aja!"
"Lo ngatain gue nggak modal?" serang Meta lagi, menatap marah tip-x dan pemiliknya bergantian.
"Lo sensitif banget, sih, hari ini? Ada kaitannya nggak sama luka di muka lo kemaren?"
Pertanyaan Aksel sukses membuat Meta terdiam dan menelan kembali kemarahannya. Sumpah serapahnya yang tadi mau keluar kembali tertarik ke dalam, Meta menelan ludahnya dan meraih tip-x gegas. Waktunya sudah terbuang sia-sia meladeni ketidakwarasan teman sebangkunya. Dan gawatnya, cowok itu sengaja membahas luka pada wajahnya di sekolah.
"Kenapa menghindar?" Aksel masih memperhatikan gelagat aneh Meta. Ada yang cewek itu tutupi darinya. "Nggak membahayakan buat lo, kan, Ta?"
Meta acuh, sibuk menghapus garis panjang di bukunya. Ia tahu sepasang mata masih mengamatinya, kemudian berdeham. "Kenapa lo harus peduli? Gue harap kepedulian lo itu nggak mendatangkan musibah buat gue," katanya.
"Kalau sebenarnya rapuh, nggak usah sok kuat. Gue yakin lo butuh seseorang. Pacar misalnya, gue mumpuni banget di bidang itu, Ta." Aksel mengatakannya sambil tersenyum, membuat Meta diam-diam ikut tersenyum lucu. Tetapi buru-buru melenyapkan senyuman tipis itu, takut Aksel makin besar kepala.
Saat Meta ingin menanggapi perkataan Aksel, bel istirahat berbunyi nyaring. Menandakan bahwa waktunya istirahat. Meta berhasil menyelesaikan catatannya, sementara Aksel tidak, pemuda itu terlalu malas melanjutkannya. Kemudian seorang laki-laki yang duduk di barisan paling depan menghampiri mereka. Menaruh setumpuk buku di atas meja.
Meta mengernyit, bingung mengapa buku-buku itu justru diletakkan di atas mejanya. "Apa-apaan, nih?" tanyanya.
"Sebagai hukuman karena lo berdua berisik di kelas, gue minta, anterin buku ini ke ruangan guru. Tepat di meja Bu Yuli. Tau, kan?" Sang ketua kelas bernama Ardan, si tegas yang menyebalkan, secara jelas dan sadar menghukum Meta serta Aksel. Yang mendadak jadi biang keributan.
"Gue aja!" Aksel menyerobot, mengangkat tumpukan buku setelah berdiri dari duduknya. Matanya mencari seseorang, lalu saat berpapasan, ia tersenyum. "Ndu, bantuin gue sini. Nanti pas pulang gue traktir tawuran sama anak sebelah, songong anaknya."
Laki-laki yang Meta ketahui bernama Pandu itu mengangguk, langsung bangun untuk menghampiri Aksel. Sementara Ardan langsung pergi, jelas tidak ingin mendengar kata-kata kasar dari Meta. Anak-anak kelas yang ketinggalan mulai mengumpulkan buku catatan mereka, saat semua sudah selesai, kedua pemuda itu pun beranjak. Bergegas mengantarkan buku-buku tersebut kepada Bu Yuli.
Meta memandangi punggung Aksel, hatinya berdebar aneh, apalagi saat cowok itu tertawa bersama Pandu, jantung Meta jumpalitan di dalam. Hingga teman-temannya datang, membuat Meta segera mengubah reaksi.
"Ta, kantin kuy!" ajak Kayla setelah tiba di dekat Meta.
"Ada banyak yang mau gue tanyain sama lo! Gila, ya, gue telepon nggak diangkat-angkat, gue pikir lo udah masuk rumah sakit kemaren!" seru Renata, sembari menarik sahabatnya itu untuk dekat.
Agak lama berpikir, Meta tersenyum samar. "Lo duluan, deh, nanti gue nyusul! Gue ada urusan bentar," ujarnya sambil menepuk pundak kedua sahabatnya itu. Kemudian kakinya melangkah, meninggalkan kelas entah mau ke mana.
Renata dan Kayla saling bertatapan melihat keanehan Meta, walau agak kepo akan apa yang membuat cewek berambut pendek itu berlalu, mereka terpaksa membiarkan Meta lolos. Rasa khawatir mereka muncul, kantin akan membeludak lagi seperti sebelumnya dan tidak menyisakan tempat bagi mereka untuk duduk dengan tenang jika datang terlambat. Alhasil, kedua gadis itu berlalu menuju kantin tanpa Meta.
"Meta aneh, ya, Kay. Kayak lagi nutupin sesuatu dari kita, tapi dari dulu dia emang tertutup banget, sih." Renata berjalan lebih dulu dari Kayla sambil mengira-ngira apa yang sedang terjadi pada Meta.
Kayla menyusul langkah Renata, ia baru saja bergabung dengan lingkup pertemanan Renata, Meta, Wulan dan Anin. Jelas ia tak tahu banyak hal, hingga hanya bisa diam sembari memikirkan. Tak menanggapi perkataan Renata.