Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tristan pergi
Dinda melotot seperti orang kerasukan.
Bagaimana tidak, jadwal yang disusun Daren benar-benar ful. Tak ada waktu untuk tetap duduk di kantor dan mengerjakan pekerjaan di dalam ruangan.
"Gila nih, punya dendam apa bapak sama saya?" Dinda menatap kesal dan itu terlihat lucu.
"Eh, berani protes lu?" Daren menatapnya lekat.
"Aku tahu ya, aku sekertarisnya Pak Tristan. Tapi nggak gini juga."
"Nggak gini apanya?" Daren nyolot dan Tristan menatap mereka bergantian.
"Masa jadwal Pak Tristan non stop begini, tiap hari ada aja meeting di luar, ini lagi, ada survey pabrik segala, masa itu juga jadi tugas saya?"
"Jadi lu ngga mau? Lu ngeluh nih ceritanya?" Daren kini berdiri tepat di hadapannya.
"Kalau lu nggak mau, ya gampang. Kasih aja tugas ini pada orang lain. Lagi pula jika semuanya selesai sesuai jadwal, dia akan dapat bonus tambahan."
"Bonus?" Dinda segera mendekat. Daren meliriknya sinis dan membuang wajah.
"Kenapa lu?" Dinda tak bisa melewatkan apapun jika itu berhubungan dengan uang.
"Kira-kira, bonusnya berapa ya Pak?"
Tristan menatapnya dari jauh.
"Kalau duit aja cepet lu nanya. Dasar mata duitan." Di cecar seperti ini bukannya down Dinda justru semakin menggebu.
"Oh iya dong, jaman sekarang siapa yang gak suka uang. Apapun jika ada uangnya dan gak jual diri, aku jabanin." Daren menghela nafas.
"Pak, ngomong dong, berapa bonusnya?"
"35 juta Dinda," ucap Tristan membuat Dinda menoleh ke belakang.
"35 juta untuk bonus, uang transport 10 juta, dan uang makan entah berapa."
"Ada uang makan nya juga?" Dinda terkesiap.
"Ada, andai kamu bisa menyetir. Aku pasti memberimu mobil dinas untuk memudahkan mu kemana-mana. Sayangnya kamu belum bisa nyetir kan?"
"Iya, Pak. Belum bisa."
Dinda tak percaya mendengar bonus yang bisa dia terima.
"Gimana? Lu bisa ngga?" Daren mencibir dengan sengaja.
"Bisa, bisa! Tenang aja, Pak. Saya usahakan untuk bisa."
"Padet loh jadwalnya, lo jangan main-main." Daren meragukan kemampuan Dinda.
"Sepadet apapun kalau ada duitnya ma ngga akan pernah berasa."
"Lo bilang apa?"
Dinda tersenyum percaya diri.
"Tidak ada, oke kita lihat saja nanti. Jika ternyata aku mendapatkan kesulitan, aku pasti akan menghubungi kalian."
Tristan suka semangatnya. Semangat itulah yang membuatnya tergerak untuk menerimanya bekerja.
"Oke."
Malam itu, Tristan dan Daren sibuk menyiapkan barang. Dinda menuju ke balkon dan menatap pemandangan halaman yang luas dari sana.
Lama dia berdiam diri menikmati kesunyian, memikirkan pekerjaan dan juga neneknya.
Tiba-tiba di tengah kesendiriannya, Tristan datang menyusul ke tempat itu.
"Melamun ya, melamunkan apaan sih?"
Dinda tersadar lalu menoleh. Gadis itu bahkan melihat ke belakang mana tahu Daren ada di sana.
"Dia sudah tidur, Daren memang tukang tidur."
"Oh, aku ngga bisa tidur. Tadi sore tidur siangnya kebablasan."
"Aku tahu, makanya aku di sini menemanimu."
Tristan sangat peduli, Dinda ditinggalkan sejak kecil bukan kah itu keterlaluan. Di matanya Dinda adalah gadis yang kuat.
"Kamu laper? Mau makan sesuatu?"
Dinda menggelengkan kepala.
"Aku kekenyangan setelah makan besar tadi sore. Terimakasih untuk semuanya ya Pak Bos. Bos baik banget sama saya."
"Sama-sama, Din." Mereka berdiri cukup lama dalam diam. Semilir angin berhembus menegaskan keheningan.
"Jadwal yang dibuatkan Pak Daren sangat padat, full satu bulan, apa ini artinya selama satu bulan nanti Pak Bos ngga pulang?"
"Bisa jadi, aku memang jarang menetap di negeri ini. Aku lebih banyak di luar negeri dan mengatasi bisnis besar.'
Ada yang pilu saat Tristan mengatakan itu.
"Pak Bos kalau pergi, emang ngga kangen pulang."
"Kangen? Kadang orang itu kangen pulang jika di tempat itu ada yang spesial, ini kan ngga ada. Di sana perkejaan di sini juga pekerjaan. Sama saja kan?"
Dinda tertegun, semua yang dikatakan Tristan adalah benar. Dia benar dan Dinda sadar hal itu.
"Kalau saya pergi, kamu kangen ngga?" Godanya.
Dinda tertunduk lalu menggelengkan kepala. Itu terlihat menggemaskan di mata Tristan.
"Kamu ngga kangen? Wah, jahat banget."
Gadis itu pun menatapnya, ada kesedihan yang tersirat dalam sorot matanya.
"Walau ngga kangen, tapi kan aku punya hutang."
"Iya benar, kamu harus bayar hutangmu padaku, secara tunai. Kamu ngga boleh lupa itu." Tristan tertawa membuat Dinda ikut tersenyum.
"Kalau kamu sampai lupa, nanti ada sanksinya."
"Sanksi?" Raut wajah Dinda berubah serius.
"Iya sanksi."
"Aku pasti bayar, Pak Bos. Aku akan menyimpan uang itu untuk bayar hutang, kalaupun bos ngga pulang bulan depan, aku akan transfer ke rekening pribadi pak Bos."
"Emang kamu tahu rekening pribadi saya?"
"Gampang, nanti saya tinggal minta sama Pak Daren."
Tristan mengangguk percaya.
"Sudah larut malam, tidurlah." Tristan tiba-tiba menyentuh kening Dinda. Gadis itu terkejut dan menatapnya lekat.
"Aku ingin tahu apa demamnya sudah hilang atau tidak, minumlah obat sekali lagi, biar besok bangunnya lebih segar."
Dinda mengangguk patuh.
"Besok, Pak Bos berangkat jam berapa?"
"Jam sembilan. Kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Bangunlah jam tujuh, saya ingin antar kamu pulang ke rumah nenekmu sebelum menuju bandara."
"Tidak usah, Pak. Saya bisa kok, pulang naik taksi."
"Saya yang mau, setidaknya nanti kalau saya ngga di sini kamu bisa inget, kalau saya ini pimpinan yang bertanggung jawab."
"Baiklah Pak Bos."
Dinda mengangguk. Malam itu mereka berpisah di ruang tengah, Tristan masuk ke kamarnya dan Dinda juga istrahat di kamar tamu.
Daren tidur di sofa dan mengawasi dua kamar itu dalam diam.
Dinda tak dapat tidur malam ini, setelah minum obat segala kebersamaannya dengan Tristan berputar bagai kaset rusak di kepalanya.
Dua Minggu bersama di Paris.
Makan bersama, jalan bersama.
Saat dia sakit pun, bosnya begitu baik dan ikut merawatnya.
Dinda bahkan di izinkan menginap di rumahnya. Di tatapnya gelang couple yang masih dia pakai. Saat Tristan menyentuh keningnya, Dinda jelas melihat jika sang Bos masih memakai benda itu.
Sebaliknya Tristan juga tak dapat tidur.
Dia telah menyingkirkan semua kenangan Nana dari hatinya, cerita masa lalu benar-benar telah berakhir. Dia memutuskan untuk membuka lembaran baru, kisah baru, cerita cinta yang baru.
****
Saat pagi menjelang.
Orang pertama yang bangun adalah Daren. Pemuda itu telah siap dan menunggu di sofa. Tepat jam 7 pagi sesuai janji Tristan.
Dinda keluar dari kamar membawa kopernya begitupun dengan sang tuan rumah. Keduanya saling menatap dan memperhatikan penampilan masing-masing.
"Wah, kalian sangat kompak." Daren bertepuk tangan dan Dinda segera menarik kopernya keluar.
"Apaan sih?" Tristan melewatinya begitu saja.
"Apa? Emang ada yang salah?"
Dinda memilih duduk di belakang begitupun dengan Tristan. Sedang Daren akan duduk di depan tepat di samping pak supir.
"Jadwal berangkat jam 9, tapi ini baru jam 7 dan udah otw, apa mungkin kita akan sarapan di luar?" Daren memecah kesunyian saat mobil bergerak meninggalkan rumah.
"Tristan, halooo. Lu denger ngga sih?"
Dinda melirik Daren dan Tristan sengaja bersandar dan menyentuh lengan gadis itu.
"Aku akan mengantarkan Dinda sampai di rumahnya."
"What! Ngapain? Dia hanya sekertaris Bro, dia bukan tuan putri. Lagi pula, hari ini dia udah mulai kerja sesuai jadwal."
"Diamlah atau aku akan melemparmu keluar."
Daren melirik Dinda dari kaca spion, gadis itu menyadari tatapannya lalu lantas tertunduk.
"Jangan dengarkan dia, dia memang ngeselin."
Dinda mengangguk. Gadis itu melihat pemandangan di luar jendela sedang Tristan terus menatapnya dari samping.
Daren memergoki mereka dan Tristan menyadari itu.
"Belok kiri, Pak."
Tristan terkejut mengetahui Daren tahu alamat rumah asistennya.
"Sebelum pom bensin, ada lampu jalan berhenti di situ, itu rumah dia."
"Kok lu bisa tahu?"
"Tahu lah, orang gua pernah jemput dia sekali untuk ngurus paspor."
Dinda menoleh menatap Tristan saat mobil berhenti.
"Terimakasih Bos, semoga perjalanan anda lancar dan selamat sampai tujuan." Dinda tersenyum manis dan Tristan tiba-tiba, menyentuh tangannya.
"Aku antar sampai ke depan pintu."
Mendengar itu, baik Dinda maupun Daren menatapnya aneh.
"Ngapain lu? Jadi kang paket lu sekarang?"
"Diem!" Tristan mengabaikan Daren dan melangkah turun, dia akan membukakan pintu mobil untuk Dinda namun gadis itu merasa sungkan dan bergegas keluar sebelum Tristan menyambutnya layaknya seorang yang penting.
"Rumah kamu dimana?"
"Bos, sebaiknya anda tidak perlu mengantarku, rumah saya sangat jauh melewati lorong nanti anda tersesat."
"Tidak apa-apa."
"Bos." Dinda tidak mengizinkan. Apalagi dia memiliki beberapa tetangga yang bermulut tajam.
"Baiklah aku hanya antar sampai sini."
Dinda tersenyum dan mengulurkan tangan.
"Hati-hati, semoga nanti bisa kembali lagi ke Indonesia."
Tristan mengangguk dan menyalaminya.
"Terimakasih Sekertaris Dinda, semoga. Ke depannya kamu betah bekerja di kantor."
"Terimakasih, Pak."
Dinda mendadak canggung, bagaimana tidak, Tristan terus menatapnya tanpa bergerak meninggalkan pijakannya.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" tanya Tristan.
Dinda menggelengkan kepala tanda tak ada kepentingan lagi. Semuanya sudah jelas dalam jadwal yang di aturkan Daren untuknya.
"Kalau begitu giliranku."
Tristan tiba-tiba memeluknya, Dinda membeku, tegang dan bingung. Namun pelukan hangat itu seolah mengisyaratkan sesuatu.
"Jaga dirimu, semoga kita bisa jumpa lagi."
Dinda mengangguk.
"Pak Bos juga, saya akan selalu nungguin Pak bos datang di sini."
Tristan melerai pelukannya, sebelum pergi pemuda itu masih sempat menyentuh kening Dinda hingga membuatnya tak bisa berpaling. Tristan kembali ke mobil, dia melambaikan tangan dengan raut wajah ceria, senyumnya yang bahagia membuat Dinda justru melinangkan airmata.
"Bye, Dinda Kanya Putri."
"Bye, Tuan Tristan Bagaskara."