Selama lima tahun pernikahan, Asha dan Fajar memiliki hubungan yang harmonis, saling mencintai dan saling mengerti satu sama lain.
Pernikahan mereka mulai retak, anaknya yang berumur satu tahun meninggal tanpa sebab.
Ujian dan cobaan rumah tangga Asha dan Fajar tidak hanya dari keluarga tapi juga gangguan gangguan makhluk halus. Di tambah saat Asha keguguran anak ke dua yang lagi lagi tanpa sebab.
Apakah mereka bisa menemukan jalan kembali ke titik surga untuk mempertahankan rumah tangga dan cinta mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ema Virda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#7
Netra Asha terbuka lebar, dia masih merasakan jantungnya berdetak dan masih merasakan jari jari dan tubuhnya bisa di gerakkan. Pandangan nya yang tadi kabur, lama lama terlihat sangat jelas. Tempat dia berbaring terasa dingin dan datar. Suara umi dan Abi mulai terdengar, dan telinganya juga mulai mendengarkan suara orang lain.
Namun, ada rasa hangat di telapak tangannya saat dia terjatuh dalam mimpi. Ada sosok yang menarik nya menuju cahaya putih, siapa dia ? " Raihan, Raihan, Raihan."
Asha bergumam lirih dan bola netra hitamnya bergerak ke kanan dan kekiri, mencari Raihan.
"Alhamdulillah, ya Allah. Asha," suara Umi terdengar dengan suara tangisan yang sudah pecah. Dia memeluk anaknya begitu erat tak seperti biasanya, ada rasa takut kehilangan.
" Alhamdulillah, makhluk itu tidak berhasil mengambil anakmu."
" Terimakasih Kiai Ali Bashari, " ucap Abi dengan berjabat tangan pada guru besarnya.
" Aku sarankan, jika Asha seperti ini lagi. Dia harus ke pondok dan kita melakukan ruwetan. Aku merasa ada orang lain yang menyimpan dendam dengannya."
" Apa pak Kiai bisa melihat orang yang tidak menyukai anak saya. Hingga rumah tangganya seperti ini dan ... Raihan cucu saya dan anak yang masih di kandungannya. Sudah tidak ada semua Kiai, " pinta Umi dengan tangisan, agar Kiai Ali bisa membantu keluarganya.
" Itu semua rahasia Allah. Aku hanya bisa melihat dengan samar."
" Siapa Kiai ? Ya Allah. Astaghfirullah," kata Umi dengan memegang lengan Abi yang masih duduk bergeming mendengarkan penuturan guru besarnya.
" Seorang Pria, mungkin pernah di kehidupan Asha dulu. Dan di pertemukan saat sudah berbeda takdir jodoh."
" Pasti dia orangnya ! " Langsung nama itu terucap oleh Abi yang sedang mengepal tangannya, sorot netra tajam dan nada suara di tekan.
" Abi, jangan suudzon dulu. Istighfar, " ucap istrinya yang mengelus lengan suaminya untuk bersabar.
" Tapi yang paling utama, ini ..." Kiai Ali mengeluarkan bungkusan kecil berwarna putih yang di ikat kedua ujungnya dan juga di tengah, kain putih itu menyerupai pocong dengan bau kemenyan yang menyengat.
" Lebih baik Asha sekarang di bawa ke tempat lain. Jangan di rumah sakit, karena ini tempat tidak bagus untuk keadaan Asha saat ini."
" Iya Kiai." Abi mengangguk setuju dengan saran guru besarnya, lalu menatap istrinya. " Kita bersiap siap. Abi mau urus administrasi rumah sakit dulu."
Mereka berdua bergegas mengatur semua yang harus di urus. Kiai Ali Basri berdiri dari duduk silanya lalu menuju ke kursi di samping Asha berbaring.
Dia masih merasakan energi negatif di sekitar Asha, dia menemukan bungkusan putih itu di bawah ranjangnya. Pasti ada seseorang yang memang sengaja menaruhnya di situ atau berpura pura menjatuhkan barang ?
Beberapa perawat membawa Asha dengan kursi roda. Untuk pergi meninggalkan rumah sakit. Hanya kerudung segi empat yang menutupi rambutnya tanpa pengait di bawah dagu. Memakai daster berwarna merah dengan motif bunga besar. Dengan pandangan yang terlihat kosong. Pikiran dan angan Asha tertuju pada anaknya yang berumur satu tahun yang dia lihat di mimpinya saat itu.
DI TAHUN, saat dia dan Fajar mulai dekat, tiga bulan setelah perjalanan mereka ke Surabaya. Fajar menuju ke rumahnya dengan impian masa depan untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Wajah berseri dan harapan yang tinggi, Asha menemani dan duduk di samping Fajar untuk berbicara kepada kedua orang tuanya.
" Saya datang untuk melamar Asha. Semoga Abi dan Umi merestui hubungan kami berdua."
" Alhamdulillah," jawab Umi dan Abi bersamaan.
Abi terdiam sebentar, lalu, " Begini. Kami menerima niat baik nak Fajar untuk melamar Asha. Tapi ada syarat yang ingin saya ajukan kepada nak Fajar."
" A--pa ... soal mas kawin atau ... biaya pernikahan, Abi? Kalau soal itu tidak perlu kuatir, insyaallah tabungan saya cukup untuk biayanya ?" tanya Fajar gugup.
" Bukan, bukan itu nak Fajar. Begini, saya sebagai Abinya tidak mau anak saya di madu atau di poligami. Dan yang kedua, apabila nak Fajar sudah tidak mencintai anak saya lagi. Serahkan kepada saya tanpa ada luka sedikitpun."
" Abi !" Asha menyela, karena mendengar syarat yang di ajukan.
Fajar memegang lengan Asha yang menyela pembicaraan agar diam sebentar. " Siap Abi. Saya tidak akan poligami dan tidak akan menyakiti Asha sedikitpun dengan luka walaupun itu setitik saja."
" Saya pegang janji nak Fajar. Saya yakin, nak Fajar bisa menjadi imam dalam rumah tangga."
Wajah mereka berubah berseri dengan senyum yang ceria dan bahagia. " Alhamdulillah," jawab Fajar, Asha dan Umi yang serentak mengucap syukur.
Mendengar persetujuan dari kedua orang tua Asha. Satu jam kemudian, fajar berpamitan pulang dengan niat untuk menyampaikan kabar kepada ibunya. Karena fajar belum resmi memperkenalkan Asha kepada keluarga. Di hatinya tiba tiba sedikit ada rasa was was, bagaimana cara agar berbicara kepada ibunya tanpa ada pertengkaran.
" Alhamdulillah ya Mas. Abi merestui hubungan kita."
" Iya, Mas pamit pulang dulu ya. Hari Sabtu malam, mas jemput."
" Iya. Aku bawa apa ya Mas untuk ketemu sama Ibu ?"
Fajar terdiam dan berpikir. " Ibu suka martabak asin, nanti kita beli dulu sebelum berangkat."
" Iya. Alhamdulillah, semoga Ibumu setuju ya Mas. Karena kita baru empat bulan dekat."
Fajar menghela napas sebentar lalu memengang bahu Asha, " Ibu pasti merestui hubungan kita. Apabila, hari ini tidak bisa, masih ada besok, esok hari ataupun seterusnya," pungkasnya dengan tersenyum. Yang di sambut dengan senyum juga oleh Asha.
" Mas pulang dulu ya. Assalamualaikum."
" Waalaikumsalam. Hati hati ya."
Fajar kemudian memacu motornya dan berangkat pulang. Ada perasaan bahagia dan ada perasaan cemas. Namun, di dalam pikirannya sudah tersimpan cara dia akan mendapatkan restu dari ibunya.
Di desa Wringin Putih, keluarga Fajar sangat terpandang karena Almarhum Bapaknya adalah mantan kepala desa, memiliki kebun buah naga dan lahan sawah untuk menanam bawang merah dan juga padi, yang di garap oleh sebagian penduduk desanya. Walaupun Bapaknya sudah Almarhum namun, nama baiknya masih tersimpan di ingatan para penduduk.
Itulah yang membuat Sriati selalu menjaga citra baik keluarganya. Apabila anak anaknya menikah, dia harus tahu dan menyelidiki bibit, bebet dan bobotnya. Bibit artinya asal usul atau garis keturunan. Bebet artinya status sosial ekonomi atau lingkungan pergaulan. Sedangkan bobot artinya kualitas diri, pendidikan atau kepribadian.
Walaupun dia seorang janda mantan kepala desa, penampilannya tak luput dari mode zaman. Setiap hari di rumah, dia memakai daster atau baby doll dengan celana pendek. Kadang kala dia membeli sayur di pasar atau mengikuti acara penting di desa dengan memakai pakaian gamis penuh dengan payet atau broklat, dan tak lupa cincin dan gelang yang berwarna emas terpasang di tangan dan jari jarinya. Tanpa perlu repot-repot melukis alis atau mengoles gicu. Bibir dan alisnya sudah di sulam seperti tatu yang menempel permanen.
Tapi dia adalah wanita yang di segani oleh seluruh penduduk desa. Tak hanya warisan yang ditinggalkan oleh suaminya tapi dia juga membantu ekonomi penduduk desa dengan memberikan sumbangan atau bantuan bagi yang memerlukan tanpa riba, karena dia ingin menjaga nama baik keluarganya agar terlihat ringan tangan seperti yang dilakukan Almarhum suaminya dulu.
Fajar yang sudah berganti pakaian melihat Sriati duduk di depan televisi menonton sinetron kesukaannya. Dia pun berusaha mengambil hati ibunya dengan dduk di sebelah dan menaruh kepala di pangkuannya.
" Ibu nonton apa ko seru. Sampai tidak kelihatan Fajar pulang."
" Yo nonton Iki. Sinetron Menantu Pembawa Sial."
" Ibu Iki senengnya nonton sinetron kaya gitu."
" Ya tidak apa apa loh Jar. Daripada ibu tidak ngapa ngapain di rumah. Ko dirimu maido, toh !"
" Yo ora Maido Bu. Iki drama ora mendidik loh."