Sean Montgomery Anak tunggal dan pewaris satu-satunya dari pasangan Florence Montgomery dan mendiang James Montgomery yang terpaksa menikahi Ariana atas perintah ayahnya. Tiga tahun membina rumah tangga tidak juga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Sean ditambah Florence yang semakin menunjukkan ketidak sukaannya pada Ariana setelah kematian suaminya. Kehadiran sosok Clarissa dalam keluarga Montgomery semakin menguatkan tekat Florence untuk menyingkirkan Ariana yang dianggap tidak setara dan tidak layak menjadi anggota keluarga Montgomery. Bagaimana Ariana akan menemukan dirinya kembali setelah Sean sudah bulat menceraikannya? Di tengah badai itu Ariana menemukan dirinya sedang mengandung, namun bayi dalam kandungannya juga tidak membuat Sean menahannya untuk tidak pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Clarissa Oh Clarissa
Clarissa berjalan pelan dengan mantel hitam membungkus tubuhnya, rambut panjangnya disibakkan ke belakang dengan gerakan angkuh. Tumit sepatunya mengetuk lantai keras, seakan menandai siapa penguasa malam itu. Udara malam yang semakin menusuk tajam tidak mengurangi niatnya untuk memasuki gudang kayu yang sudah lama tak terpakai itu. Di sana, seorang pria kekar dengan tato menyembul di leher berdiri menunggunya. Dialah pembunuh bayaran yang beberapa waktu lalu gagal menuntaskan pekerjaannya.
Clarissa menatapnya seperti seorang ratu memandang budak. Bibirnya tersenyum tipis, “Kau sadar betapa aku sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk mendapatkan sebuah hasil akhir yaitu kegagalan?” suaranya meluncur pelan, namun penuh tekanan.
“Orang-orangku sudah melakukan yang terbaik.”
Clarissa mengibaskan tangan, seolah menepis alasan yang tak berarti. “Aku tidak butuh alasan, yang kubutuhkan adalah keberhasilan. Aku tidak akan menuntut atas kegagalanmu dengan satu syarat…”
Clarissa mendekatkan wajahnya dan berucap tajam. “Tutup mulutmu selamanya. Pergilah sejauh mungkin, jangan sampai Sean Montgomery menemukanmu. Kau tau kan apa yang terjadi jika sampai dia tahu? Kau pasti tidak akan selamat.”
“Tapi kemana aku harus pergi?”
“Terserah, aku tidak peduli. Aku tidak punya waktu banyak, aku harus segera pergi seka…”
Suara tepukan tangan yang pelan namun tegas terdengar dari balik kegelapan. Clarissa sontak menoleh. jantungnya berdegup kencang ketika melihat dua sosok berjalan keluar dari bayangan. Sinar lampu temaram perlahan menyingkap wajah mereka.
Sean Montgomery.
Di sisinya, Jonash berdiri dingin, seperti bayangan yang setia mengawal tuannya.
“Permainanmu terlalu berisik, Clarissa.” suara Sean terdengar datar, namun cukup untuk membelah keangkuhan Clarissa menjadi ketakutan.
“Sean?!” Clarissa melangkah mundur, matanya membesar. “K-kau… kalian menjebakku?!”
Sean menatap Clarissa tajam, “Aku sudah memperingatkanmu, Clarissa. Sekali kau mengusik apa yang menjadi milikku, kau tidak akan punya kesempatan kedua.”
“Sean! Jangan seperti ini padaku, ini kesalah pahaman” Clarissa mulai panik, suaranya meninggi. “Kau pikir aku melakukan ini untuk siapa? Untukku? Tidak, aku melakukan semua ini untuk kita berdua!”
Sean mengangkat tangannya pelan. Dua pria berbaju hitam langsung bergerak maju, meraih lengan Clarissa, menyeretnya meski ia memberontak habis-habisan.
“Lepaskan aku! Kalian tidak tahu siapa aku? Aku Clarissa putri daeri Lawrence! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini, Sean!” teriaknya histeris, namun suara itu hanya bergema kosong di gudang tua.
Sean tidak menoleh sedikit pun. Ia hanya memberi isyarat singkat dengan matanya. “Bawa dia ke markas.”
Jeritan Clarissa semakin nyaring ketika tubuhnya digiring keluar gudang, namun tak seorang pun berani menghentikannya, mereka tau diri sedang berhadapan dengan siapa. Suara langkah-langkah berat itu memudar, meninggalkan Sean dan Jonash bersama sang pembunuh bayaran yang kini pucat pasi.
Pria itu menunduk dengan gemetar, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Sean perlahan mendekat, sepatu kulitnya berderap pasti. Sorot matanya menusuk bagaikan es. “Kau beruntung karena jujur sebelum aku harus menyentuhmu.”
Ia berhenti satu langkah di depan si pria, tatapannya menembus hingga ke tulang.
“Dengarkan aku baik-baik. Sekali lagi aku mendengar kau mencoba menyentuh keluargaku, bukan hanya nyawamu, tapi seluruh garis keturunanmu akan hilang dari sejarah kota ini.”
Pria itu langsung jatuh berlutut, gemetar hebat. “S-saya bersumpah, Tuan Montgomery. Tidak akan pernah lagi. Saya bersumpah demi hidup saya…”
Sean menatapnya lama, lalu berbalik, seolah pria itu sudah tidak layak lagi menghabiskan satu detik pandangannya. “Pergi dan menghilang dari kota ini sebelum fajar!”
Pria itu langsung berlari, hampir tersungkur karena panik, lalu lenyap di balik pintu besi gudang.
Jonash menatap Sean dari samping, ia tahu bosnya tidak suka jika kata-kata tak penting keluar saat pikirannya masih mendidih.
Malam berikutnya, mobil hitam panjang memasuki halaman Mansion Montgomery, rumah yang dulu berdiri gagah sebagai simbol kekuasaan James Montgomery. Florence duduk di kursi utama ruang tamu yang megah dengan piama satin hitam miliknya. Segelas wine merah berkilau di tangannya. Tatapannya langsung dipenuhi amarah begitu melihat Sean melangkah masuk.
“Sean.” suaranya dingin. “Untuk apa kau datang kemari malam-malam begini?”
Sean tidak menjawab. Ia berdiri tegak, tatapannya menyapu seluruh ruangan. Potret besar James Montgomery menggantung di dinding, menatap turun ke arah mereka berdua.
“Rumah ini,” kata Sean akhirnya dengan suaranya berat. “Adalah warisan Papa padaku.”
Florence mengangkat dagunya, senyum sinis menghiasi bibirnya. “Kau tega, Sean? Pada ibumu sendiri? Hanya gara-gara perempuan rendahan itu, kau tega menginjakku?”
Sean melangkah maju, matanya dingin tak berperasaan. “Aku hanya menegakkan apa yang sudah seharusnya. Aku tidak akan mengusirmu, Mama. Kau tetap bisa tinggal di sini tapi kau harus tahu kedudukanmu. Ini rumahku, bukan milikmu lagi. Jadi berhati-hatilah melakukan sesuatu di dalam rumahku.”
Florence membanting gelasnya ke meja, suara pecahan kristal memecah keheningan.
“Kau berani berkata begitu pada ibumu?!”
Sean mendekat, berdiri hanya satu meter darinya. Tatapannya tak bergeming.
“Aku belajar dari siapa, Mama? Kau pikir aku tega? Aku hanya meniru apa yang kau ajarkan sejak aku kecil. Menginjak siapa pun yang menghalangi, tidak peduli siapa mereka. Bahkan istri dan darah daging sendiri. Dulu aku bodoh, tapi sekarang tidak lagi, Mama.”
Florence mengatur napas yang tidak beraturan, “Jadi semua yang kau lakukan ini untuknya? Untuk wanita yang sudah kau ceraikan, Sean?”
Sean menatap lurus, “Ya, ini semua untuknya. Bagaimana pun caranya aku akan membawanya lagi dalam hidupku dengan atau tanpa persetujuan Mama.”
“Sampai kapan pun Mama tidak akan pernah setuju, Sean!”
Sean menoleh sekilas ke potret James Montgomery di dinding, lalu kembali menatap ibunya.
“Kau tidak akan pernah berubah. Maka jangan harap aku akan tunduk lagi, bahkan jika aku harus memutuskan hubunganku denganmu.”
Florence menggenggam erat lengan kursinya, wajahnya merah padam oleh amarah.
Sean berbalik, melangkah keluar tanpa menoleh. Suara pintu besar terbuka, lalu tertutup kembali, meninggalkan Florence yang gemetar di kursinya.
Di balik ketenangannya Sean tahu satu hal, perangnya dengan ibunya baru saja dimulai.
Markas bawah tanah itu pengap, bau besi karat bercampur dengan darah lama yang mengering. Lampu redup berayun di langit-langit, menerangi sosok Clarissa yang terikat di kursi besi, wajahnya penuh luka, rambut berantakan. Begitu pintu besi terbuka, langkah berat Sean bergema di dalam ruangan.
“Sean…!” Clarissa langsung meronta, lalu jatuh berlutut, menyeret tubuhnya hingga mencapai kakinya. Ia bersujud, mencium sepatu kulit itu dengan suara memohon, “Ampuni aku… jangan lakukan ini padaku. Aku mencintaimu, Sean. Aku akan melakukan apa saja, tolong jangan buang aku seperti sampah!”
Sean menatapnya dari atas setajam belati, tak ada secuil pun rasa iba. Dengan satu gerakan kasar, ia menghempaskan Clarissa menjauh, tubuh wanita itu terbanting ke lantai dingin yang berdebu.
Suara Sean tenang, nyaris tanpa emosi. “Kau akan tetap hidup, Clarissa. Hidup di tempat baru yang sudah kusiapkan.”
Clarissa menatapnya dengan air mata bercucuran. “Tempat baru…? Sean, tolong… aku berjanji tidak akan melawanmu lagi…”
Sean berjongkok, jarak wajah mereka hanya sejengkal. Bibirnya melengkung samar, menyeringai dingin. “Tenang saja. Kau tidak akan merasa panas di sana. Bukankah kau selalu mengeluh tidak suka matahari membuat kulitmu hitam?”
Ia berdiri, melangkah menuju pintu besi. Tepat sebelum keluar Sean menoleh sekali lagi, suaranya nyaris seperti bisikan neraka.
“Di sana sangat dingin, Clarissa. Dingin sampai bisa mengawetkan jasadmu.”
Pintu besi menutup keras, meninggalkan Clarissa yang terisak merenungi nasibnya.
ayo gegas,cak cek sat set..Kejar apa yg pengen km dapatkan.
Jadilah pinter biar Ariana Luluh.
Ada Ethan yg akan menjadi penghubung,rendahkan egomu.
nikmati penyesalanmu 😁
biarkan sean merasakan sakit seperti apa yg kau rasakan dulu.😏