"Persahabatan adalah ikatan yang tak terpisahkan, hingga cinta datang dan menjadikannya sebuah pilihan."
Kisah ini berputar di sekitar dinamika yang rapuh antara dua sahabat karib yang datang dari kutub kehidupan yang berbeda.
Gabriella, gadis kaya raya dengan senyum semanis madu, hidup dalam istana marmer dan kemewahan yang tak terbatas. Namun, di balik sampul kehidupannya yang sempurna, ia mendambakan seseorang yang mencintainya tulus, bukan karena hartanya.
Aluna, gadis tangguh dengan semangat baja. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, berjuang keras membiayai kuliahnya dengan bekerja serabutan. Aluna melihat dunia dengan kejujuran yang polos.
Persahabatan antara Gabriella dan Aluna adalah keajaiban yang tak terduga
Namun, ketika cinta datang mengubah segalanya
Tanpa disadari, kedua hati sahabat ini jatuh pada pandangan yang sama.
Kisah ini adalah drama emosional tentang kelas sosial, pengorbanan, dan keputusan terberat di antara cinta pertama dan ikatan persahabatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JM. adhisty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BATASAN YANG TAK TERLIHAT
Hari ketiga di Rajawali
Ruang kuliah Pengantar Manajemen. Dosen terlambat masuk, memberikan jeda waktu tak terduga selama sepuluh menit. Suasana kelas yang tadinya tegang, kini riuh dengan bisikan mahasiswa.
Di barisan depan, Aluna dan Gabriella sedang menertawakan catatan Gabriella yang penuh dengan doodle hati saat sedang bosan.
"Aku tidak percaya kamu menggambar love sign saat bicara tentang pasar saham!" bisik Aluna, berusaha menahan tawa.
"Itu adalah caraku untuk membuat materi lebih menarik," balas Gabriella, menyenggol Aluna pelan. "Setidaknya aku bisa membuatmu tertawa lepas tanpa harus lari ke halte bus."
Tawa mereka menarik perhatian Big Five yang duduk di belakang. Jay, yang memang paling ceria, segera mendekat.
"Tunggu, tunggu," sela Jay. "Apa yang Ratu Gaby ajarkan pada gadis pintar ini? Membuang-buang waktu dengan menggambar?"
"Dia menunjukkan bahwa otaknya tidak hanya berisi rumus, Jay. Dia juga punya selera humor," bela Aluna, tersenyum pada Jay.
"Aku tidak percaya," kata Kevin, pura-pura terkejut. "Otak Aluna itu terlalu mahal untuk diisi dengan hal-hal remeh. Ini, Aluna," Kevin mengambil pulpennya dan memberikannya pada Aluna. "Ini pulpen edisi terbatas, warnanya senada dengan jaketmu. Sekarang, gunakan untuk menulis ringkasan tentang Supply-Demand."
Kevin bermaksud bercanda, tetapi Aluna mengambil pulpen itu dengan mata berbinar. "Terima kasih, Kevin. Aku akan menggunakannya untuk mencatat hal terpenting yang kudapat hari ini."
"Apa itu?" tanya Kevin.
Aluna menatap Kevin dengan tulus. "Berteman itu lebih penting daripada nilai," jawab Aluna, senyumnya meluluhkan rasa bersalah Kevin.
Kevin hanya terdiam, merasa kata-kata sederhana itu lebih menusuk daripada segala penghinaan yang pernah ia terima.
Axel tersenyum melihat interaksi itu. Ia duduk di sebelah Jhonatan, mengagumi cara Aluna meredam arogansi Kevin dengan kejujurannya.
"Dia memang berbeda, Gaby," bisik Axel kepada Gabriella, yang sedang memalingkan wajahnya ke arahnya. "Dia adalah orang yang kita butuhkan."
"Aku tahu," balas Gabriella, matanya berbinar. "Dia adalah teman terbaik yang pernah kumiliki."
Axel tersenyum. Bagi Axel, momen ini adalah konfirmasi bahwa Gabriella adalah orang yang baik dan layak dicintai. Ia menganggap Aluna sebagai sahabat yang membawa dampak positif pada Gaby. Perasaannya pada Aluna adalah kekaguman hangat yang ia salah artikan sebagai perhatian.
Sementara itu, Yoga duduk di sudut, jauh dari lingkaran tawa itu. Ia tetap diam dan tak tersentuh. Matanya mengamati Aluna, tawa renyahnya, dan cara ia menanggapi candaan Jay dan Kevin.
Di balik wajahnya yang beku, Yoga merasakan kehangatan dan kepuasan. Tawa Aluna adalah musik baginya. Ia merasa bangga karena gadis itu akhirnya bisa rileks dan menunjukkan dirinya yang sebenarnya di tengah lingkaran mereka.
Ketujuh orang itu, yang berasal dari dua dunia ekstrem, kini tertawa dan berbincang dengan lepas, melupakan status dan kekayaan, meskipun di sudut ruangan, Alexa mengawasi mereka dengan kebencian yang mendalam, bersumpah akan mengakhiri kebahagiaan tak terduga ini.
Sekarang Aluna tidak lagi sendirian.
Ia duduk di kursi depannya, tetapi kali ini, Gabriella duduk tepat di sebelahnya. Di barisan belakang mereka, tersebar Big Five—seolah-olah mereka adalah rombongan pendukung.
Aluna sudah mulai terbiasa dengan kehadiran mereka. Ia menyadari bahwa di balik kesombongan dan kemewahan mereka, ada rasa penasaran dan, anehnya, ketulusan yang ditawarkan oleh Gabriella dan perlindungan yang diberikan oleh Axel dan Yoga. Ketegangan di bahunya mulai mengendur.
Saat dosen masuk, Jay, yang duduk di belakang Aluna, dengan santai mencolek bahu gadis itu.
"Hei, Aluna. Aku penasaran," bisik Jay, berusaha menahan tawanya. "Apakah kamu sudah merasa terbiasa dengan udara mewah kami? Atau jaket denimmu masih merasa terintimidasi?"
Aluna menoleh, dan alih-alih tersinggung, ia tertawa kecil—tawa pertama yang benar-benar lepas di depan mereka. "Aku sudah berdiskusi dengan jaketku, Jay. Katanya, setidaknya dia tidak perlu dibersihkan dengan dry clean mahal setiap hari."
Tawa kecil itu menyebar. Gabriella tersenyum lebar, merasa senang melihat sahabatnya bahagia. Kevin bahkan tersenyum tipis, rasa bersalahnya mulai terobati dengan melihat Aluna tertawa. Axel, yang duduk agak jauh, mengangguk, senang bahwa suasana sudah kembali normal.
Di sudut ruangan, Yoga duduk, matanya mengawasi. Secara fisik, ia masih mempertahankan tembok es-nya; ia tidak ikut tertawa, tidak bicara, dan tidak pernah mendekat.
Namun, di dalam hatinya, Yoga merasakan kehangatan yang langka.
Di barisan tengah, Alexa duduk dengan dua temannya. Pandangannya terpaku pada tawa Aluna. Wajahnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat pena di tangannya.
"Lihat mereka," desis Alexa pada temannya, suaranya dipenuhi racun. "Gadis beasiswa itu pikir dia sudah menang? Dia hanya perlu beberapa kali tertawa untuk merayu seluruh geng itu."
Alexa membenci fakta bahwa Aluna mendapatkan perhatian dan perlindungan dari Big Five, yang bahkan tidak pernah melihat ke arahnya. Ia membenci bahwa Gabriella begitu setia pada Aluna. Ia membenci bahwa Aluna hanya bermodal kepintaran dan ketulusan, sementara ia harus berjuang dengan uangnya.
Namun, untuk saat ini, Alexa tidak bisa melakukan apa pun. Intervensi keras Yoga di kantin masih menghantuinya. Ia tahu, jika ia menyerang Aluna lagi, ia tidak hanya akan berhadapan dengan Axel dan Gabriella, tetapi juga dengan Yoga yang dingin dan menakutkan, yang telah menunjukkan bahwa ia serius dalam melindungi gadis beasiswa itu.
Alexa terpaksa menahan amarahnya, tetapi ia bersumpah dalam hati " Aku akan menemukan kelemahanmu, Aluna. Dan ketika aku menemukannya, tawa itu akan segera berakhir."
Hari ketiga menjadi momen manis di mana Aluna membuka diri, memperkuat ikatan persahabatan.
. .....
Ruang kuliah Pengantar Manajemen telah kosong. Kebersamaan di tengah kelas yang penuh tawa dan candaan barusan membuat suasana hati Aluna hangat, tetapi juga meningkatkan kecemasannya.
Ia harus segera pergi sebelum kehangatan itu berubah menjadi belas kasihan.
Gabriella segera merapikan tasnya dan menoleh pada Aluna dengan mata berbinar.
"Sempurna! Hari ini dosen terlalu banyak bicara. Aku butuh istirahat," kata Gabriella.
"Ayo ikut kami, Aluna! Kita ke Markas. Aku akan menunjukkan pemandangan terbaik kota dari rooftop Jay. Kita bisa belajar di sana, dan aku akan mengajarimu cara membuat smoothie terbaik di dunia."
Axel menghampiri, senyumnya santai. "Benar, Aluna. Kami tidak akan mengganggu. Kami punya ruang yang tenang di sana. Kamu bisa fokus belajar tugas. Aku janji, tidak ada lagi drama Kevin hari ini."
Aluna merasakan desakan di hatinya untuk menerima. Ide untuk menghabiskan sore yang santai bersama teman-teman barunya, terutama Axel, terasa sangat menggoda setelah hari yang melelahkan.
Namun, ia teringat pada Justin dan jadwal shift kerjanya di Kafetaria mewah itu. Ia tidak bisa melanggar janji dengan manajernya, atau mereka akan kekurangan uang malam ini.
Aluna menggeleng pelan, senyumnya dipaksakan. "Terima kasih banyak, Gaby, Axel. Kalian baik sekali."
Ia memeluk buku-bukunya erat. "Tapi aku tidak bisa. Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah ada urusan pribadi yang mendesak yang harus kuselesaikan sore ini juga. Aku sudah berjanji, dan ini tidak bisa ditunda."
Gabriella merengut. "Urusan mendesak apa? Kenapa urusanmu selalu mendesak? Apakah ada janji belajar di perpustakaan gelap yang kami tidak tahu?"
"Bukan," jawab Aluna, berusaha terdengar ringan. "Hanya urusan keluarga. Lain kali, ya? Aku janji besok akan menemuimu di perpustakaan."
Axel menyela, nadanya khawatir. "Kamu yakin tidak ada masalah, Aluna? Kami bisa membantumu jika itu masalah serius."
Aluna menggeleng tegas. "Tidak, Axel. Ini bukan masalah. Hanya tanggung jawab yang harus kutunaikan. Aku baik-baik saja."
Aluna tahu ia harus segera pergi. Ia berpamitan singkat pada Gabriella, Axel, dan mengangguk pada Jhonatan, Kevin, dan Jay. Ia menghindari tatapan Yoga, takut pria yang paling intuitif itu akan membaca kebohongan di matanya.
Aluna bergegas meninggalkan ruangan.
ia berjalan menjauh dari gedung utama menuju gerbang. Ia sengaja mengambil rute memutar, menuju gang sepi yang ia gunakan kemarin. Sesampainya di sana, ia membuka ranselnya, mengganti kemeja kuliahnya dengan kaus polo gelap—seragam kerjanya.
Aluna berdiri di gang sepi di belakang kampus, sudah berganti pakaian kerjanya yang sederhana. Ia baru saja selesai kuliah dan harus bergegas.
(Aluna menelepon Justin)
Aluna: "Halo, Dek? Kakak sudah selesai, tapi harus segera pergi sekarang."
Justin: "Halo, Kak. Cepat sekali? Kukira Kakak akan pulang seperti biasa."
Aluna: "Ada sedikit perubahan jadwal, Kakak harus kerja lebih awal. Dengarkan baik-baik, ya?"
Justin: "Iya, Kak." (Suara Justin terdengar lesu.)
Aluna: "Oke. Nanti sepulang sekolah, kamu jangan lupa beli nasi dan lauk yang layak. Jangan cuma makan mi instan lagi. Uangnya sudah Kakak taruh di toples dapur, ambil saja."
Justin: "Iya, Kak. Aku akan beli nasi goreng di ujung jalan."
Aluna: "Bagus. Dan, satu lagi, tolong bersihkan rumah kita sore ini, ya? Jangan biarkan piring-piring menumpuk. Kakak pulang larut malam sekali, dan besok pagi Kakak harus segera berangkat lagi."
Justin: "Siap, Kak. Aku akan menyapu, mengepel, dan mencuci piring. Kakak fokus saja di tempat kerja. Jangan khawatirkan rumah."
Aluna: (Aluna tersenyum tipis, merasa sedikit lega) "Kamu memang yang terbaik, Dek. Kakak mengandalkanmu, ya. Dan kamu, jangan terlalu banyak latihan gitar dulu, fokus istirahat. Kamu kelihatan lelah."
Justin: "Aku tidak apa-apa, Kak. Kakak juga jaga diri baik-baik di sana. Jangan sampai ada yang mengganggumu."
Aluna: "Tentu saja. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Kakak. Kakak tutup ya? Selamat belajar, Justin."
Justin: "Sampai nanti malam, Kak."
Aluna memutuskan panggilan, menghela napas, dan bergegas pergi menuju halte bus, membawa beban tanggung jawabnya.
Meskipun percakapan mereka terdengar biasa, di dalamnya terkandung beban yang dipikul Aluna sebagai pencari nafkah.
Aluna kembali menatap ke arah kampus Rajawali. Ia tahu, teman-teman barunya, Gabriella yang tulus, Axel yang hangat, dan Big Five yang kini menghormatinya, tidak akan pernah mengerti kehidupannya yang sesungguhnya.
Ia harus bekerja sebagai pelayan di kafe untuk membiayai hidup, dan tidak ada satu pun di antara mereka yang boleh tahu.
Rahasia ini adalah satu-satunya dinding yang ia miliki untuk menjaga harga diri dan persahabatan murni itu.